Tuesday, August 27, 2019

ETIKA LELUHUR BAHONO MENGHIDANGKAN MAKANAN.


Jaman dahulu, para leluhur suku Mori Bahono di Morowali Utara sekarang, mempunyai etika khusus dalam cara menghidangkan makanan bagi tetamu mereka.

Sinori
Untuk makan siang saat berkumpul gotong-royong (merae)  menanam padi (benih) di ladang selalu dihidangkan nasi sinori, yaitu nasi yang dimasak di ruas bambu muda, yang sekilas seperti lemang. Tetapi sebenarnya isinya nasi dari beras biasa yang dimasukkan dalam dua lembar daun sagu yang saling mengapit berhadapan. Sesudah dimasukan dalam ruas bambu dan ditambahkan air, dipanggang seperti orang memanggang bambu lemang.
Setiap tamu nanti akan dibagikan masing-masing sebatang untuk dibuka sendiri ditambah lauk-pauk berikut minumannya. 

Nasi bungkus daun Mokahi
           Hidangan ini khusus di rumah duka bila ada warga yang meninggal dunia. Sudah menjadi  tradisi warga Bahono selalu bergotongroyong dalam banyak hal. Baik menanam padi, memanen, mengangkut padi  dari kebun ke lumbung, membangun rumah, pernikahan dan apalagi dalam kedukaan.
Dulu ibu-ibu bergotong-royong menumbuk padi dan menyiapkan makanan sedang kaum pria menyiapkan peti jenazah dan acara-acara keagamaan lainnya sampai ke pemakaman serta acara ritual lainnya.
Hidangan makanan dikemas sederhana, dibungkus dengan daun mokahi, sejenis daun tanaman perdu yang banyak tumbuh di bekas ladang. Daunnya berbentuk hati mirip daun talas, tetapi muka belakangnya terasa kasar. Memakainya harus dibalik. Bagian punggungnya jadi di dalam sedang bagian atasnya jadi di luar. Biasanya nasi dibungkus selagi    masih panas. Meski daunnya terasa kasar namun  waktu dibuka nasinya terasa harum.

Winalu
Winalu adalah hidangan nasi yang dikemas menggunakan daun mo’iki, sejenis daun mirip daun kunyit, hanya agak licin dan tak berbau. Beras sekitar satu sendok makan dibungkus agak memanjang dengan daun tersebut, digabung dengan dua-tiga bungkus lainnya, kemudian dimasukan dalam ruas bambu muda basah yang agak besar. Dalam satu ruas  bambu biasanya terdiri dari tiga tingkat. Setelah diisi air kemudian dipanggang dengan  berdiri miring berderet dengan ruas bambu lainnya.
Sesudah matang dan didinginkan nasi winalu kemudian diikat, tiga atau empat bungkus seikat ditambah sebungkus lauk tinula, yaitu lauk daging yang juga dimasak dalam bambu. Untuk tempat minumnya disediakan suke, yaitu tempat minum yang terbuat dari bambu basah. Bagian belakang ujung atasnya dikerat kulitnya agar tidak tajam.
Konsumsi seperti ini biasanya dihidangkan dalam pesta, seperti pesta padungku(pengucapan syukur), pesta tahun baru dan pesta kawin. Dalam pesta padungku atau tahun baru, tiap keluarga membawa sendiri makanannya. Sedangkan untuk undangan yang dari luar, disediakan dengan meruru atau patungan.
Setiap warga Bahono wajib tahu etika tersebut sehingga tidak sampai terjadi ada yang keliru menghidangkan makanan untuk orang berduka di saat pesta atau sebaliknya.***


Latar Belakang Klaim Air Terjun Lemo-Lemo


Kegusaran orang Mori-Bahono atas klaim air terjun Lemo-lemo yang berlokasi di wilayah tanah leluhur mereka oleh orang-orang dari luar  dapat dimengerti.

Masalahnya, karena Desa Uluanso (tua) dan Kumpi (tua) tempat asal mula-mula orang Mori Bahono telah hilang dari peta bumi setelah ditinggal mengungsi oleh penduduknya pada dekade tahun 1950-an karena gangguan gerombolan Kahar Muzakar dari Sulawesi Selatan.

Sejarahnya dimulai ketika orang  Bahono di Uluanso yang terletak di garis depan tida wita (perbatasan) dengan Sulawesi Selatan, mengungsi dan mendirikan kampung Uluanso Baru di ujung selatan ibukota Kecamatan Lembo, Beteleme. Kemudian orang Bahono Kumpi yang bermukim di garis depan kedua, menyusul saudara-saudara mereka mengungsi dan mendirikan perkampungan baru di Lahumbala, ujung utara Beteleme. Selama pengungsian tersebut Kepala Kampung mereka sampai tewas ditombak gerombolan.
Ketika Beteleme juga terancam, bahkan kemudian dibumi hanguskan gerombolan, orang Bahono Uluanso mengungsi lagi ke arah barat menjadi Uluanso Mora sekarang. Sedangkan orang Bahono Kumpi mengungsi lebih jauh ke arah kota Kolonodale antara Desa Tinompo dan Korompeeli.

Setelah ditinggal begitu lama, kampung tua Uluanso dan Kumpi tua menjadi hutan semak belukar. Tapi sesudah keamanan dipulihkan kembali, di awal tahun 2000-an mulai disusun rencana untuk membangun kembali perkampungan Uluanso dan Kumpi tua. Dibentuklah “Panitia Pembangunan Perkampungan Sintuwu Bahono” yang terdiri dari 20 (duapuluh) orang tokoh suku Bahono. Bahkan Komite Pengarahnya didaulat Bapak JK. Tumakaka sebagai ketuanya. Almarhum adalah keturunan Raja Mori Marunduh yang gigih dan akhirnya gugur dalam pertempuran melawan pasukan khusus Marsose Belanda di Benteng Wulanderi. Almarhum JK.Tumakaka pernah menjadi Menteri/Sekjen Front Nasional di jaman Bung Karno serta salah satu penggagas Sekretariat bersama /Sekber Golongan Karya yang kini menjelma menjadi Partai Golkar.

Beliau lahir di Uluanso ketika ayahnya menjadi guru di sana dan beliau sering menyatakan kebanggaannya sebagai warga Uluanso. Makanya orang Uluanso sangat menghormati beliau, demikian pulau ayahnya, Guru Lamale, yang sangat berjasa mendidik warga Bahono. Beberapa murid beliau kelak menjadi doktor bahkan dekan dan profesor di beberapa perguruan tinggi di Jakarta.

Berbarengan dengan itu diaktifkan kembali lembaga Pemangku Adat, dibangun Rumah Adat dan dibentuk Koperasi Serba Usaha (KSU) Sintuwu Bahono. Namun sayang, segala prakarsa ini agaknya berjalan lamban. Pembangunan kembali perkampungan belum terwujud. Dan ketika tanah-tanah adat mulai diserobot orang, dan ketika air terjun Lemo-Lemo (Po’ahaa ?) diklaim orang sebagai milik mereka, baru terkejut dan bereaksi.

Mungkin dasar mereka yang mengklaim itu adalah Undang-Undang No.12 Tahun 2013 tentang pembentukan Kabupaten Morowali Utara. Desa terdepan di garis perbatasan dengan Sulawesi Selatan sekarang menurut UU ini adalah Desa Dolupo Karya yang mencakup tanah-tanah adat suku Bahono. Desa Dolupo Karya termasuk Kecamatan Lembo Raya yang beribukota di Petumbea. Sedangkan Desa Uluanso dan Kumpi sekarang, dimasukkan ke wilayah Kecamatan Lembo bersama Desa Beteleme, Korempeeli, Tinompo, Korowalelo, Tingkea’o, Wara’a, Mora, Lemboroma, Korowou, Lembobaru, Wawopada dan Korobonde.

        Berarti orang Bahono  kini terpisah dari tanah dan harta waris leluhur mereka di bumi Tanah Bahono atau Ture’a. Peristiwa  tindakan sewenang-wenang seperti  perlakuan pemerintah kolonial Belanda kini terulang lagi di abad 21 ini. Dahulu, orang Bahono tidak termasuk Kerajaan Mori sekalipun Kepala Suku Bahono telah lama bersahabat dengan Raja Mori. Sama-sama memusuhi penjajah Belanda.

  Ketika Kerajaan Mori kalah perang dengan Belanda, Belanda melalui keputusannya membagi-bagi wilayah taklukan mereka semau-maunya dengan menetapkan batas wilayah adminsitasi pemerintahan mereka tanpa memperhatikan tradisi dan adat-istiadat penduduk tiap daerah.

Orang Bahono yang semula berkampung di Lintumewure, yang termasuk wilayah Sulawesi Selatan sekarang, dipisahkan dari tanah tanah-tanah kebun dan peternakan mereka yang meliputi wilayah Bahono hingga ke Wita Motaha-Pasori. Lintumewure dimasukkan ke wilayah Petor Malili dengan wakilnya Andi Halu, raja Bugis di Tole-Tole. Sedangkan kawasan pertanian  dan peternakan warga Bahono dimasukkan ke Kerajaan Mori dengan tapal batas patok beton tida wita sekarang.

Dengan garis batas baru ini,  Raja Mori tidak mengijinkan lagi orang Bahono memasuki wilayahnya sekalipun untuk mengambil hasil bumi mereka  kecuali kalau mereka masuk bergabung dalam kerajaan Mori. Atas kesepakatan semua pemuka adat, maka warga Bahono kemudian memutuskan bergabung ke Kerajaan Mori. Setelah diusir dari Lintumewure, mereka mendirikan perkampungan baru. Sebagian memilih di pinggir Sungai Laa, memanjang dan  memotong Sungai Ulu’anso. Sedangkan sebagian lagi memilih membangun kampung Kumpi di tepi Sungai Po’ahaa tidak jauh dari Uluanso.

Menjadi tanda tanya, apakah ketika pembahasan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2013 ini dahulu, tak ada wakil dari Suku Mori Bahono yang diajak, atau kalaupun ada, apakah orang itu cukup paham dengan  sejarah suku Bahono ?

Sebagai solusi, disarankan agar pembangunan kembali Kampung Bahono dan Kampung Kumpi dipercepat realisasinya agar keduanya dapat muncul kembali di peta bumi dan diakui lalu langkah berikutnya adalah memperjuangkan revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2013 dengan memasukan kampung Uluanso dan Kumpi dalam wilayah Kecamatan Lembo Raya.

Konsekwesinya Warga Bahono Uluanso Mora dan  Kumpi sekarang harus memilih pindah balik seluruhnya atau sebagian ke Uluanso dan Kumpi Tua yang tanah leluhur. Bila ada yang bertahan, mungkin nama kedua kampung yang sekarang dapat dimusyawarahkan perubahan namanya. Pemerintah Daerah Kabupaten  beserta DPRDnya pun tak boleh berdiam diri atas hal ini sebelum masalahnya berkembang menjadi ketegangan sosial. ***

Contact Form

Name

Email *

Message *