Tuesday, August 6, 2019

MENGHADAPI SIDANG MPR


Tak lama lagi para anggota MPR yang terdiri dari anggota DPR-RI dan DPD-RI terpilih akan dilantik dan mulai bersidang. Selain melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih akan meninjau kembali konstitusi atau UUD 1945 apakah  akan tetap dipertahankan seperti sekarang, ataukah perlu dilakukan amandemen lagi.
Yang Lebih Penting
Tugas melantik Presiden / Wakil Presiden sudah merupakan tugas protokoler rutin. Tapi lain halnya dengan mengubah dan menetapkan konstitusi.
Dalam kaitan ini, figur-figur pimpinan di MPR menjadi demikian penting.  Pasal 2 dan 3 UUD 45  serta undang-undang pelaksanaannya –   UU  No. 17 / 2014 tentang MD3 (MPR,DPR.DPD dan DPRD) telah mengatur tata cara pemilihan pimpinan MPR. Namun sidang MPR baru bisa saja memakai tata cara lain bila mereka menghendakinya melalui peraturan tata tertibnya.
Dalam ayat (3) pasal 2 UUD 1945 disebutkan, keputusan MPR ditetapkan dengan suara terbanyak. Nah, dalam hal ini pimpinan MPR harus mampu mengatur strategi agar MPR dapat menghasilkan keputusan-keputusan yang terbaik bagi  masa depan bangsa ini.
Ada banyak hal yang mungkin dapat diagendakan sebagai materi sidang. Terutama yang menyangkut permasaalahan hangat selama kurun waktu yang lalu – terkait dengan pasal-pasal pada konstitusi (UUD 1945) atau undang-undang pelaksanaannya  , antara lain :
1.     Tentang GBHN
     Apakah Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang pernah diberlakukan sebelum pemilihan calon Presiden/Wakil Presiden secara langsung  perlu diberlakukan lagi ?.
     Dahulu, GBHN didasarkan pada Keputusan Sidang Umum MPR. Mengatur Rencana pembangunan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Rencana Jangka pendek mencakup satu masa bakti Presiden/Wakil Presiden selama lima tahun (REPELITA). Pelaksanaannya menjadi tugas Presiden/Wakil Presiden yang kemudian pada masa akhir pemerintahannya harus dipertanggunjawabkan kepada MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
     Jadi dengan menghidupkan kembali GBHN, Presiden/Wakil Presiden tidak akan sebebas seperti sekarang lagi mengembangkan gagasan dan kreativitasnya. Dan ini akan terasa benar pada saat kampanye pencalonan. Paling-paling para pasangan calon hanya akan beradu gagasan dalam cara mencapai tujuan yang ditetapkan dalam GBHN.
     Menurut penulis, GBHN tak perlu dihidupkan lagi karena akan merupakan langkah mundur yang meniadakan hasil reformasi, Kalau hanya masalah kurang serasinya program pemerintah Pusat dan Daerah seperti banyak dikemukakan, sebetulnya konstitusi, yaitu UUD 1945 beserta segala peraturan undang-undang pelaksanaannya sudah memadai sebagai penyearah pembangunan. Baik di tingkat pusat, Daerah maupun di tiap sektor. Semua harus  mengarah kepada satu tujuan, yaitu mencapai masyakat adil dan makmur. Dengan konstitusi saja cukup fleksibel. Hanya undang-undang pelaksanaan dan peraturan ikutannya saja yang perlu disempurnakan.
2.       Tentang  Pilpres.
    Pasal 222  UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu  sebagai aturan pelaksanaan  UUD  1945 pasal 22 E   menyatakan pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 2Oo/o (dua puluh persen) darijumlah kursi DPR atau memperoLeh 25o/o (dua puluh lima persen)dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
    Masalah ini selalu  menimbulkan perdebatan memanas di DPR dan masyarakat karena dianggap membatasi peluang partai-partai kecil mengajukan pasangan calonnya. Apakah masalah ini memerlukan penyelesaian di MPR dengan mengamandemen pasal 22E UUD , atau tetap membiarkan penyelesaiannya oleh DPR melalui pengusulan UU Pemilu berikutnya ?
3.     Masalah masa calon Presiden/Wakil Presiden petahana. Sering dipermasalahkan karena berpotensi dapat menyalahgunakan kekuasaan dan fasilitas negara dalam kampanye untuk melanggengkan kekuasaannya.
    Adalah Prof. Salim Said yang kerap mengusulkan - agar masa bakti Presiden/Wakil Presiden diubah dari 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk hanya satu kali masa jsbatan (psl 7 UUD 1945 ) menjadi satu kali masa bakti saja dengan perpanjangan menjadi 7 (tujuh) tahun. Menurutnya  ini akan menghilangkan kekisruhan yang sama setiap kali Pilpres atau Pilkada.
4.     KPK
Beberapa waktu yang lalu, sederet politisi begitu agresif di berbagai forum menginginkan agar KPK dibubarkan atau minimal diberi pembatasan dalam  tugas dan  fungsinya dengan berbagai alasan..
      Namun setelah melihat prestasi KPK selama ini, kebanyakan warga bangsa malah mengapresiasi kinerja KPK. Bahkan ada yang mengusulkan agar eksestensi KPK yang kini didasarkan pada UU No. 30/ 2002 rlebih dimantapkan dan diperkuat lagi dengan memasukannya dalam konstitusi. Apalagi akhir-akhir ini para pimpinan dan penyidik KPK beserta keluarga mereka  sering mengalami intimidasi bahkan ancaman kekerasan dari pihak-pihak yang merasa terganggu dalam kegiatan jahat mereka.
 4   .Penguatan Komisi Yudisia (KY).
Fakta menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada lembaga Pengadilan masih sangat rendah.  Terutama karena banyak koruptor hanya divonis minimal dan sejumlah hakim kena OTT (Operasi Tangkap Tangan) oleh KPK  karena menerima suap.
    Tanggung jawab pengawasan hakim diatur pada pasal 24 B UUD 1945 dan dirinci lebih  lanjut dalam UU No. 22 /2004 tentang Komisi Yudisial. Meski dasar pembentukannya konstitusi, namun dalam UU No.22/2004 ini, tugas, fungsi dan wewenangnya sangat tidak memadai.  Tupoksinya hanya mengusulkan pengangkatan hakim agung ke DPR dan menegakkan kehormatan dan keluhuran, martabat serta menjaga perilaku hakim.
        Kewenangan penindakannyapun hanya terbatas pada rekomendasi penjatuhan hukuman kepada Presiden melalui  Mahkamah Agung (MA) dan / atau Mahkamah Konstitusi (MK).
Agaknya, konstitusi perlu memberi kewenangan penuh kepada KY dalam penindakan. Tidak hanya memeriksa dan menyampaikan rekomendasi kepada Presiden tetapi dapat langsung menjatuhkan hukuman yang langsung mengikat. Sama  dengan keputusan MK.
5.         Mencegah penggantian  ideologi negara.
       Telah banyak kasus penangkapan orang-orang dari kelompok teroris yang ingin mengganti ideologi negara Pancasila dengan ideologi lain  berdasarkan pemahaman agama mereka sendiri.  Mereka melakukan pengeboman bunuh diri di beberapa rumah ibadah, pos-pos polisi dan warga asing.
       Selain mereka yang menyatakan secara terang-terangan menolak Pancasila, terdapat pula pihak-pihak yang hanya tersirat penolakan mereka dari ucapan-ucapan atau perilaku mereka. Baik dari segelintir politisi, ormas,  maupun tokoh agama.
      Karena itu dalam pemilihan pimpinan MPR nanti, para anggota MPR harus hati-hati. Tidak memilih orang yang enggan menerima Pancasila. Juga tidak memilih tokoh yang pernah berkolaborasi dengan organisasi atau kelompok yang diragukan ke pancasila-annya.***

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *