Friday, August 23, 2019

Kasus Penistaan Agama : MUSYAWARAH DEMI PERDAMAIAN


     Kasus penistaan agama menyangkut salib Kristen oleh ustad Abdul Somad (UAS) yang viral dalam suasana perayaan hari ulang tahun kemerdekaan RI beberapa waktu lalu syukur mulai berangsur reda.

Menyikapi kasus ini memang memerlukan kehati-hatian karena tergolong masalah sensitif. Untuk solusi kasus ini terdapat banyak pendapat. Tapi dapat digolongkan dalam dua kelompok.

Pertama, yang menganjurkan  agar diselesaikan secara musyawarah atau kekeluargaan sebagai warga bangsa dengan saling memaafkan. Kedua, diselesaikan secara hukum. Dan untuk ini beberapa orang dan kelompok organisasi keagamaan telah mengajukan  pengaduan resmi ke pihak Kepolisian.

Untuk anjuran pertama, pada umumnya umat Kristen bersedia memaafkan sesuai perintah Yesus untuk selalu mengampuni kesalahan orang lain dan karena itu bersedia untuk penyelesaian secara damai dan kekeluargaan. Namun sebagian lagi menyatakan, sekalipun mereka memaafkan, mereka berpendapat kasusnya perlu diselesaikan secara hukum.

Kedua anjuran di atas dua-duanya ada segi positifnya maupun segi kekurangannya. Segi positif yang pertama, akan menghindarkan bekepanjangannya kasus ini yang bisa mengganggu hubungan baik antar pemeluk agama bahkan ketenteraman masyarakat pada umumnya. Segi kekurangannya, tidak terwujud adanya kepastian hukum di mana keadilan dan kebenaran ditegakkan. UAS menyatakan tidak bersasalah sehingga tak perlu meminta maaf. Bahkan tidak, bila ucapannya itu menyinggung perasaan umat Kristiani. Tetapi sebagian besar umat Kristiani menganggap ucapan-ucapan serta peragaan UAS itu sebagai penistaan agama. Dalam kasus demikian, seyogyanya pengadilanlah yang menentukan UAS bersalah atau tidak.

Segi positif dari anjuran kedua, adalah adanya kepastian hukum seperti dikemukakan di atas. Apakah yang diucapkan UAS itu suatu kesalahan atau tidak. Sebab kalau tidak, banyak kemungkinan nanti akan diulangi lagi, mungkin oleh orang lain. Kalau dinyatakan salah, bisa menjadi peringatan untuk yang lain agar tidak mengulangi hal yang sama. Tambahan pula,  diselesaikannya secara hukum kasus UAS ini,  tidak akan menimbulkan kesan, bahwa peradilan terhadap penistaan agama di Indonesia hanya berlaku terhadap pelaku dari golongan agama minoritas. Tetapi bila pelaku dari pemeluk agama mayoritas terhadap agama minoritas tak perlu dibawa ke pengadilan. Apalagi telah sejumlah tokoh agama minoritas yang dipenjarakan dengan tuduhan penistaan agama.

Penulis sendiri berpendapat, idealnya diselesaikan di pengadilan, tetapi dengan syarat benar-benar pengadilan yang bebas dari tekanan dan intimidasi, sehingga benar-benar para hakim dapat memberikan keputusan yang adil dan benar menurut hukum. Dalam forum pengadilan itulah para pengadu dan para saksi ahli dari kalangan agama yang merasa dinista berkesempatan memberi kesaksian akan makna sakral salib itu secara terbuka sehingga  harus dihormati.

     Tapi dari pengalaman yang lalu-lalu, nampaknya kondisi ideal demikian sulit terwujud. Mau menegakkan keadilan ditengah-tengah ketidakadilan adalah kesia-siaan. Karena itu pihak-pihak yang telah mengadukan UAS  ke Kepolisian sebaiknya menarik kembali pengaduannya dan biarlah kasusnya diselesaikan secara damai di forum komunikasi lintas agama. Bukan karena tuntutan atau permintaan pihak lain, tetapi atas kemauan sendiri. Umat Kristen telah diperintahkan : “Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang !” (Roma 12 :18).

Dalam Forum Komunikasi Antar Agama, diharapkan setidak-tidaknya dapat   disepakati pula apa yang dianjurkan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia agar para tokoh agama lebih berhati-hati dalam berdakwa, membawa damai dan sejuk. Himbauan Wakil Presiden ini patut diperhatikan, khususnya bagi  para tokoh atau pemeluk agama yang baru beralih agama. Ini rentan, karena ada kebiasaan, mereka diminta atau atas dorongan hati sendiri membuat kesaksian sebab-musabab ia beralih agama.

Ada yang karena ketertarikannya atas ajaran suatu agama lain, ada karena suatu pengalaman pribadi yang luar biasa berupa penglihatan, tapi ada pula setelah membanding-bandingkan ajaran agamanya dengan agama lain. Menceriterakan ketidakpahaman atau ketidaksetujuannya atas ajaran agamanya yang lama, sah-sah saja. Tetapi janganlah berlebihan sampai terkesan sebagai penghinaan. Tetap menghormati ajaran agamanya yang lama serta pemeluknya sekalipun sudah ditinggalkannya. Sebab mungkin di kalangan pendengar, sekalipun dalam kalangan sendiri, ada yang berpikiran moderat. Karena tidak setuju dengan cara kesaksian itu, ia membawanya ke forum terbuka sehingga menjadi masalah.***




No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *