Wednesday, March 25, 2009

TIP MENANGKAL UNDIAN BERHADIAH PALSU

Mungkin Anda pernah menemui sebuah produk kemasan kecil di halaman rumah Anda yang dilemparkan oleh seseorang yang tak dikenal. Kalau dibuka didalamnya ditemui sebuah kupon undian kecil dari kertas, tanpa atau disertai sebuah kartu logam kecil. Di situ penerimanya diiming-iming akan menerima hadiah langsung satu unit mobil baru. Kertas Undian itu berlogo PT.Unilever Tbk dan mencantumkan pula sejumlah stasion TV sebagai co-sponsor yaitu SCTV, TVone, RCTI dan Antv.

Tidak tanggung-tanggung di bawahnya tercantum nama lengkap dan jabatan serta tanda tangan dan stempel Direktur Jendral Pajak Departemen Keuangan RI, Notaris, pejabat Kepolisian Metropolitan Jakarta, malahan pada nama General Manager PT.Unilever Indonesia Tbk terpampang fotonya. Untuk meyakinkan penerimanya kertas undian itu memakai nomor seakan-akan benar-benar legal,ada alamat dan nomor telepon dan fax perusahaan dan nomor PIN undian dan kutipan nomor Surat-surat Keputusan Dep.Dalam Negeri, Dep.Sosial dan Pemda DKI Jakarta. Ada pula stempel ASLI, anjuran untuk merahasiakan nomor PIN dan lucunya juga peringatan supaya hati-hati dengan penipuan !

Bagi penulis, jelas ini penipuan sehingga tidak begitu memperhatikannya. Penipu memperingatkan penipuan ! Tetapi kasihan dengan orang-orang tak berpendidikan baik, mereka yang lugu dan mudah ditipu dengan iming-iming hadiah besar ini. Keluarha penulis sendiri sudah tiga kali menemukan lemparan produk berisi undian berhadiah ini. Kakak penulis pernah menelpon dari Sulawesi Tengah menanyakan kebenaran undian berhadiah ini. Demikian juga seorang tokoh masyarakat tetangga kami di Bogor.

Seorang pembantu anak kami menceriterakan pengalaman pahit orangtuanya yang telah habis-habisan menjual harta milik mereka termasuk seluruh hasil panen mereka sebesar Rp 15 juta kemudian mentransfernya sebagai biaya pengiriman hadiah. Ternyata hanya tipuan belaka dan tak dapat ditelusuri.

Tip untuk menangkal Bagaimana untuk menangkal penipuan canggih ini ? Perlu diketahui ciri-ciri dari para pelaku penipuan ini. Karena canggih menggunakan teknologi maju, memahami psikologi dengan trik-trik untuk mengelabui orang, maka jelas dibelakangnya mereka adalah bukan sembarang orang.

Mereka melakukan operasi mereka di wilayah-wilayah pedesaan atau pemukiman penduduk yang berpendidikan rendah dan masih lugu sehingga mudah dijadikan korban. Untuk menghindari penangkapan bila penipuan mereka ketahuan, mereka selalu menghindar kontak langsung. Itulah sebabnya maka mereka selalu hanya melemparkan saja produk yang berisi undian berhadiah palsu itu ke halaman rumah-rumah penduduk.

Satu tip untuk dapat memastikan apakah suatu undian berhadiah legal atau palsu, adalah mengecek kebenaran nomor-nomor telepon perusahaan yang tercantum dalam undian kepada ke Bagian penerangan telepon PT.Telkom (nomor 108). Jangan cepat percaya nomor telepon yang tercantum pada logo perusahaan itu ataupun nomor HP yang diminta untuk dihubungi. Nomor-nomor itu adalah yang digunakan oleh para pelaku.

Aneh tak diusut tuntas. Yang aneh, pejabat-pejabat dan instansi maupun perusahaan-perusahaan yang digunakan para penipu sebagai sarana untuk melakukan kejahatannya tenang-tenang saja, tidak melakukan upaya sungguh-sungguh untuk mengusutnya hingga tuntas. Padahal secara logika praktek penipuan ini sangat merugikan nama baik mereka, di samping sangat merugikan masyarakat awam.

Bila kepada pihak-pihak yang bersangkutan ditanyakan, mereka cukup menjawab itu penipuan. Padahal nomor-nomor telepon dan HP mereka tercantum. Dengan teknologi canggih sekarang mestinya pengguna-pengguna telepon ini dapat dilacak dan ditangkap. Apakah di sini memang ada permainan pemasaran yang tak wajar ? Mau berpromosi tetapi enggan keluar uang ?

Tuesday, March 24, 2009

JANJI DALAM KAMPANYE AGAR DIIKAT SECARA HUKUM

Sudah menjadi kebiasaan dalam kampanye untuk menduduki suatu kedudukan, baik dalam organisasi, maupun jabatan politik seperti legislatif dan eksekutif mulai dari tingkat Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota.

Namun sering kali para konstituent merasa dikecewakan, karena ternyata janji-janji yang demikian meyakinkan ditawarkan pada saat kampanye terbukti tidak dilaksanakan ketika sang calon terpilih menduduki jabatan yang diincarnya. Lihat saja banyaknya anggota DPR yang sering mangkir dalam sidang. Ada Bupati yang didemonstrasi karena janjinya untuk mengangkat para calon PNS bila terpilih ternyata mengingkari janjinya.Parapendukung yang dikecewakan itu tak dapat berbuat lebih jauh, sebab kalau tidak akan berhadapan dengan aparat keamanan. Sedang sang penjabat tak dapat digugat secara hukum karena tak ada ikatan hukum.

Oleh karena itu perlu dipikirkan adanya ketentuan hukum, entah Undang-undang atau Peraturan Pemerintah, yang mewajibkan calon penjabat publik mengikatkan janji kampanenya secara hukum, baik dengan pernyataan diatas kertas bermetari cukup, ataupun dengan sumpah/janji khusus.

Pernyataan yang memuat rincian janji itu , haruslah menjadi program ketika menjabat kerjanya,- yang akan menjadi acuan bagi dirinya sendiri maupun orang-orang yang membantunya. Sumpah/janji yang telah menjadi program dan bersifat mengikat secara hukum itu, dipajang besar-besar di ruang kerja sang penjabat, sehingga tak pernah lepas dari perhatiannya dan setiap saat pula mengadakan evaluasi.

Setiap orang, baik atasannya, lembaga pengawasan bahkan masyarakat akan selalu dapat menilai kinerjanya. Apabila janji-janji yang telah menjadi program itu tidak dilaksanakan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, ia harus mundur atau dituntut secara hukum. Dalam ketentuan hukum itu agar memuat pula peluang pemberhentian antar waktu serta prosedur dan syarat-syaratnya. Dengan demikian, tak akan terjadi lagi, seseorang yang saat kampanye mengumbar janji tetapi ketika menjabat lupa atau membuang janji-janjinya dan tidak memperdulikan lagi para pendukungnya pada jabatan itu.

Legislatif
Dari pengamatan pada waktu-waktu yang lalu hingga saat ini, para anggota legislatif yang duduk di DPR patut menjadi perhatian khusus, karena :
Di satu pihak :
(a). mereka secara formal menyandang kedudukan yang terhormat sebagai wakil rakyat;
(b). mereka diberi negara penghasilan yang luar biasa besarnya dibandingkan dengan penghasilan sebagian besar rakyat yang masih miskin dan seharusnya mereka perjuangkan nasibnya.
Di lain pihak :
(a). Terbukti banyak anggota yang melakukan korupsi, atau menerima penghasilan secara tak wajar (sponsor, gratifikasi,dll);
(b). Terbukti banyak yang melalaikan kewajibannya mengikuti acara-acara persidangan secara penuh, yang berakibat menghambat tugas-tugas legislasi pembuatan undang-undang yang mengatur tata laksana negara.
(c). Melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak efisien, seperti perjalanan-perjalanan "study banding" yang kurang perlu dengan memboroskan uang negara.
(d). DPR/DPRD sebagailembaga perwakilan rakyat,seharusnya sebagai tempat pengaduan dan penyampaian aspirasi rakyat. Tetapi kenyataannya lembaga "wakil rakyat" itu selama ini lebih banyak menutup pintu. Bahkan pagar-pagar dan pintu gerbang DPR di Senayan makin dipertinggi dan diperkokoh bak pagar penjara.

Khusus untuk calon-calon anggota legislatif, selain janji kampanye yang diikat secara hukum dalam programnya, agaknya perlu pula ditambahkan janji untuk tidak mengulangi kesalahan yang telah dilakukan para pendahulu mereka di atas, - yang selama ini memberi citra negatif kepada lembaga terhormat itu.

Sangat disayangkan menjelang pemilihan anggota baru badan legislatif ini, tidak pernah ada data dan statistik yang menunjukkan tingkat pelanggatan setiap anggota DPR/D atau fraksi partai politik yang selama ini paling tinggi mangkir dalam persidangan. Adakah rekapitulasi daftar hadir anggota DPR/D pada setiap persidangan ? Dan kalau ada, beranikah Sekretariat Jenderal DPR dan massmedia mengumumkannya ?

Data ini akan sangat berguna bagi para pemilih, untuk hanya memilih kembali orang yang benar-benar berdedikasi dan tidak memilih lagi orang-orang atau partai politik yang terbukti tidak berdedikasi, tetapi tanpa malu-malu masih mau ikut mencalonkan diri.

Sunday, March 22, 2009

SAATNYA KOPERASI DIBERI PERANAN SESUAI KONSTITUSI

Undang-Undang Dasar 1945 dengan sangat tegas menyatakan perekonomian negara disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan. Selanjutnya disebutkan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selanjutnya dalam ayat (4) yang merupakan hasil amandemen keempat, ada digariskan “berwawasan lingkungan dan kemandirian”.

Bila kita kita cermati secara saksama maksud yang terkanung dalam amanat Konstitusi di atas, dari sekian senis bentuk kegiatan ekonomi (liberal, kapitalis, merkantilis dan Koperasi), maka yang paling sejiwa dengan gagasan itu adalah koperasi. Bukan pertimbangan mudah bagi Proklamator Bung Hatta -yang notabene mendapat pendidikan ekonomi di negara liberal-kapitalis – merumuskan gagasan di atas dalam konstitusi, justru masih dalam situasi perang. Sudah tentu Bung Hatta telah mencermati dengan sungguh-sungguh sifat dan budaya asli bangsa Indonesia yang berjiwa gotong-royong.

Realitas sekarang
Tapi kebijakan yang dijalankan oleh Negara (Pemeriuntah-pemerintah bersama Parlemen) dan yang kita alami hingga sekarang, adalah sangat kontradiktif dengan bunyi amanat Konstitusi di atas. Orang yang awam sekalipun, dapat melihat paradoks-paradoks tersebut dari fakta-fakta beberapa contoh saja :

1. Kapitalistik :
Yang menguasai cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak adalah kaum kapitalis, bukan rakyat banyak. Baik kapitalis asing maupun kapitalis lokal. Ada lembaga ekonomi khusus yang dibentuk Pemerintah seperti BULOG dan Pertamina, tetapi operasionalnya cenderung kapitalistis juga. Lihatlah pengelolaan BBM, listrik, gas. Pendistribusiannya yang diserahkan kepada kapitalis-kapitalis sering dipermain-mainkan sehingga rakyat sulit mendapatkan kebutuhan yang menguasai hajat hidup orang banyak itu.

2.Liberalistis :
Kaum ekonomi kuat menggencet kaum ekonomi lemah, bahkan tak segan-segan mengekspolitasi sumber-smber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak. Baik melalui kekuatan persaingannya, maupun melalui cara-cara yang tidak wajar seperti memperalat lembaga peradilan atau oknum birokrat. Contohnya : lokasi tempat berusaha pedagang-pedagang kecil, digusur untuk pembangunan mall milik kongklomerat. Bahkan lokasi sekolah, pemukiman dan kegiatan sosial digusur, tanpa para korban berdaya mendapatkan keadilan.

Pokoknya, dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya, mendapat untung yang sebasar-besarnya. Tak peduli dampak sosial dan kerugian pihak lain. Yang penting untung sendiri. Liberalisme dan individualisme memang bagaikan dua muka dalam satu mata uang yang tak dapat dipisahkan. Ini paradoks dengan amanat konstitusi : usaha bersama dan kekeluargaan.

3. Penjajahan ekonomi :
Perekonomian yang kapitalistis dan liberalistis di atas, mengakibatkan negeri kita terikat pada ketergantungan pada sistim perekonomian kapitalis internasional. Pasar modal dunia goncang rupiah kita ikut goncang. Pasar minyak dunia goncang, kita ikut goncang. Produksi beras, kedele, susu di negara produsen asing gagal, kita ikut goncang. Bahkan perusahaan-perusahaan komunikasi yang dijual lalu didominasi asing, kini semau-maunya mengenakan tarip kelewat mahal dibandingkan di banyak negara. Di manakah kemandirian ekonomi seperti diamanatkan UUD 1945 ?

Kondisi seperti ini tak boleh dibiarkan berkelanjutan. Bukan saja karena tidak sesuai dengan konstitusi tetapi juga makin menghambat kemajuan bahkan makin menyengsarakan kehidupan sebagian besar rakyat. Kondisi demikian akan makin meningkatkan ketegangan sosial, keamaman dan ketertiban umum. Untunglah organisasi-organisasi berfaham komunis masih terlarang di Indonesia. Kalau tidak, kondisi ini akan dimanfaatkan untuk menarik simpati sebagian besar rakyat ke pihaknya.

Karena itu perlulah dilakukan koreksi total dengan kembali ke jiwa konstitusi 1945 dalam penataan perekonomian nasional – yang menekankan peranan lembaga koperasi ! Tapi mengapa badan-badan usaha koperasi hingga sekarang tak mampu berkembang ? Memang dalam jumlah cukup besar, tetapi kontribusi dan peranannya dalam perekonomian nyata sungguh menyedihkan.

Realitas yang nyata adalah :
(a). Banyak koperasi yang tinggal nama.
(b). Kebanyakan yang masih bertahan koperasi karyawan. Itupun kebanyakan karena instruksi atasan yang menhendaki tetap dipertahankan dan defacto seperti unit kedinasan. Jadi sesungguhnya bukan karena dorongan kebutuhan dan hidupnya sebagian besar karena dukungan fasilitas kedinasan. Pengelolanya belum profesional.
(c). Omzetnya relatif kecil dan dukungannya secara ekonomi kepada para anggota kurang berarti.
(d). Para pengurusnya seperti ogah-ogahan, kurang bersungguh-sungguh memajukan koperasi. Mungkin karena manfaat ekonomi yang didapatkan tidak seimbang. Mereka lebih bergairah bekerja di badan ekonomi yang lain, seperti di PT, BUMN/BUMD, atau wiraswasta. Di mana gerangan pangkal sebabnya ?

Alternatif yang memenuhi prasyarat ini adalah koperasi konsumsi. Dalam koperasi konsumsi, koperasi menyediakan barang kebutuhan anggota dengan mutu, harga dan pasokan yang terjamin. Pengawasan terhadap kepengurusan koperasi dilakukan anggota melalui Badan Pengawas dan bila perlu dapat meminta diadakannya Rapat Anggota untuk memintakan pertanggung-jawaban Pengurus bila ada gejala-gejala penyimpangan dalam pengelolaan koperasi. Anggota juga dapat mengajukan pendapat dan saran kepada Pengurus diminta atau tidak diminta. Andaikata minyak tanah bersubsidi didistribusikan melalui Koperasi melalui jalur organ koperasi pula (Koperasi Primer - Pusat Koperasi - Induk Koperasi ), maka anggota akan terus-menerus mengawasinya.

Pendirian, pengelolaan maupun pengawasan koperasi, prinsipnya : dari anggota, untuk anggota dan oleh anggota. Semua pendistribusian dilakukan dengan kupon dengan jatah, harga dan jadwal yang sudah ditentukan. Baik kepada anggota maupun penyalurannya dari Pertamina ke Induk Koperasi, dari Induk Koperasi ke Pusat Koperasi, dan dari Pusat Koperasi Primer. Dengan demikian tak akan terjadi penyimpangan, baik dalam jumlah pasokan, penyimpangan penerima maupun jadwal. Sebab bila terjadi, yang dirugikan termasuk diri sendiri karena menyangkut juga kebutuhannya. Lagi pula akan segera diketahui dan dipertanyakan oleh anggota lain yang dirugikan. Lain dengan kondisi sekarang dengan menggunakan jalur distribusi perusahaan swasta atau agen yang rawan penyimpangan dan sulit dikontrol. Bila distribusi kurang lancar, para distributor/agen tidak ada ruginya karena mereka bukan pemakai langsung, hanya pencari untung. Malah sebaliknya, karena lemahnya pengawasan, mereka dapat mempermainkan penyaluran dan pengenaan harga melalui pengecer.

Apabila koperasi diberi kesempatan menjadi penyalur utama bahan kebutuhan pokok khusus rakyat yang sering menghilang (gas, pupuk ), maka akan sangat menggairahkan kembali kehidupan perkoperasian. Apa yang dapat dibanggakan dari koperasi di Indonesia saat ini.

Meskipun menurut statistik jumlahnya dapat membuat orang menepuk dada, namun rata-rata koperasi kita mati suri, hidup segan mati tak mau. Banyak yang aktivitasnya tidak lebih dari sebagai pembantu loket pembayaran rekening listrik atau telepon. Bila masyarakat diberi tahu bahwa dengan menjadi anggota Koperasi, mereka akan dapat memperoleh bahan kebutuhan pokok ini dengan teratur, cukup dan dengan harga yang wajar, maka mereka akan beduyun-duyun mendaftarkan diri menjadi anggota.

Pelaksanaan gagasan ini dapat dilakukan bertahap dengan menggunakan koperasi-koperasi konsumsi pedesaan atau kelurahan yang sudah ada. Kemajuan usaha koperasi akan sekaligus juga memberi peluang kepada para alumnus-alumnus pendidikan koperasi untuk lebih berperan.

Masalahnya kini tinggal kemauan politik pihak-pihak yang berwenang memutuskan untuk memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada koperasi menyalurkan kebutuhan pokok rakyat. Pendistribusian semua kebutuhan pokok rakyat yang disubsidi Pemerintah sebaiknya diserahkan kepada koperasi. Dan setiap penerima barang yang disubsidi Pemerintah itu hanyalah yang telah menjadi anggota koperasi.

Dengan demikian peluang bagi para spekulan mengambil kesempatan melakukan penimbunan dengan memborong persediaan barang kebutuhan pokok yang mulai langka di pasar kemudian menjualnya dengan harga mahal, makin diperkecil. Operasi pasar yang dilakukan hanya insidentil, terbatas di beberapa tempat tertentu, terbukti tidak efektif menurunkan harga. Lebih-lebih apabila harganya juga relatif mahal, hampir sama dengan harga pasar.

Penurunan harga menurut mekanisme pasar hanya akan efektif apabila suatu produk mampu membanjiri pasaran. Dengan demikian, apabila persediaan terbatas, maka tak ada jalan lain pendistribusian kebutuhan pokok esensil itu harus diatur melalui campur tangan pemerintah untuk melindungi rakyat.

Bukankah konstitusi memerintahkan agar bumi dan air dan segala sesuatu yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat ? Mahkamah Konstitusi (MK) sudah saatnya mulai menyoroti semua perundang-undangan bidang perekonomian. Yang tidak sejiwa dengan konstitusi agar dibatalkan.***

Monday, March 9, 2009

Mengapa Mereka memilih Golput ?

Salah satu sebab mengapa banyak para pemilih mempertimbangkan untuk tidak menggunakan hak pilihnya pada Pemilu Legislatif 9 April 2009 yang akan datang bahkan juga dalam Pemilu Presiden berikutnya, adalah didasari kekecewaan terhadap kinerja para anggota legislatif dan para pejabat pemerintah selama ini. Bukan saja karena mereka gagal mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat, tetapi juga karena perilaku mereka.

Lihat saja anggota-anggota DPR-RI di Senayan. Pada waktu sidang ruang sidang nyaris kosong. Yang sidang banyak yang nampak tidak serius. Hanya membaca koran, tertidur, menelpon dan sebagainya. Ejekan "4 D” (datang, duduk, diam, duit) sudah sering memjadi pembicaraan umum. Ditambah lagi dengan tertangkapnya sederetan anggota DPR karena tuduhan korupsi dan berbuat amoral. Padahal mereka telah diberi penghasilan sangat besar.

Ketika dagangan para pedagang tradisinonal diobrak-abrik, rakyat kecil berhimpit-himpitan mengantri sembako dan BLT, tak ada orang-orang yang menamakan diri “wakil rakyat” itu datang mendengar aspirasi mereka atau membicarakannya secara serius dalam sidang DPR. Terakhir ada anggota DPR seperti tidak mempunyai tata krama dalam berbicara. Direktur Utama Pertamina, seorang ibu dan wanita yang terhormat, dengan kasar didampratnya sebagai “belum cukup umur” alias tidak pantas untuk jabatan itu. Padahal diangkatnya dalam jabatan itu bukan atas kehendaknya apalagi minta-minta. Seharusnya pernyataan oknum anggota DPR itu dipertanyakan kepada pihak yang mengangkatnya. Bahwa tujuannya ingin membongkar praktek-praktek “permainan” dalam pengelolaan perusahaan negara itu, tidaklah lantas membenarkan cara yang tidak etis itu. Mengherankan tidak ada protes dari para tokoh perempuan atas pelecehan tersebut, justru ketika saat ini dikampanyekan untuk memberikan kesempatan yang lebih besar kepada kaum perempuan untuk berperan.

Lalu dalam kampanye, berbagai janji yang diobral ditambah pemancangan gambar di segala pojok jalan bak etalasi barang, malah membuat orang menjadi muak. Partai-partai yang selama ini mengusung para anggota DPR yang mengecewakan itu sama saja. Meskipun anggota-anggota DPR sering disebut atau menyebut diri sebagai “wakil rakyat”, namun dalam prakteknya sesungguhnya mereka lebih tepat disebut “wakil parpol”.

Hubungan fungsional Rakyat – Parpol – DPR seperti terputus. Pada saat-saat rakyat mengharapkan perhatian, Parpol kurang tanggap atau kurang peduli menyuarakannya melalui wakilnya di DPR. Tetapi ketika ruang-ruang sidang nyaris kosong, Pengurus Parpol seperti tidak peduli. Padahal mereka mempunyai kekuatan untuk menertibkan wakil-wakilnya yang tidak disiplin di DPR. Mereka berhak merecall yang bersangkutan.

Agaknya Pengurus Parpol sudah merasa cukup menyerahkan tanggung jawan kontrol itu kepada Badan Kehormatan DPR yang ternyata juga kurang berfungsi efektif. Tetapi ketika Pemilu legislatif makin dekat, sontak hubungan itu mendadak menjadi manis. Caleg-caleg dan pengurus-pengurus Parpol berlomba-lomba ke pasar, gubuk-gubuk, sawah, sekolah-sekolah setengah ambruk dengan membawa seribu satu janji.

Menggelikan ! Makanya banyak kalangan calon pemilih kini berasumsi : daripada memilih orang-orang dan parpol yang diperkirakan akhirnya juga akan mengecewakan, lebih baik tidak memilih sama sekali.

Pemilu Presiden

Hal yang sama juga dapat membayangi peleksanaan pemilihan Presiden sesudah pemilihan anggota legisltaif. Diantara tokoh-tokoh yang telah disebut-sebut sebagian besar sudah dikenal umum, karena sudah pernah menduduki posisi penting dalam republik ini dan mereka meninggalkan citra masing-masing yang plus-minus. SBY, meski dikenal hati-hati dan cermat, tetap bersih, mendukung pemberantasan korupsi, namun ia terkesan lamban. JK, meski berhasil memprakarsai penyelesaian berbagai konflik di Tanah Air, namun ia dinilai gagal dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pada awal pemerintahan SBY-JK, tersebar dalam massmedia ada semacam kesepakatan “pembagian kerja” antara Presiden dan Wakil Presiden. Yang havy-nya ekonomi-kesra menjadi tanggung jawab Wakil Presiden. Maka kalau memang benar demikian, dapatlah dimaklumi kalau kekecewaan atas kegagalan peningkatan kesejahteraan rakyat ini ditujukan kepada JK sebagai Wakil Presiden.

Kinerja pemerintahan Megawati Sukarnoputri, tidak jauh berbeda dengan JK. Sekarang ada komitmen untuk lebih memperhatikan kesejahteraan golongan ekonomi lemah dalam bentuk mewajibkan para caleg PDIP menandatangani kontrak politik. Tetapi ada citra yang mengganjal, bahwa tokoh ini tidak mencerminkan citra seorang negarawan. Persoalan pribadi terbawa-bawa dalam urusan kenegaraan. Diundang menghadiri upacara Hari Kemerdekaan di Istana tidak mau hadir. Amien Rais, yang dikenal sebagai tokoh reformasi, dengan sifat dan pemikirannya yang tanpa tedeng aling-aling, banyak yang mengkhawatirkan dapat menjadi seperti Khadafi atau Ahmadineja dari Iran yang akan melakukan reformasi secara radikal, tidak gradual. Bahwa ia juga mengaku pernah menerima titipan “dana” dari pihak yang kemudian bermasalah tetapi tidak mengembalikannya kepada negera, telah memberi kesan yang kurang elegan.

Sedang tokoh purnawirawan militer seperti Wiranto dan Prabowo Subianto, meskipun dalam gagasan mereka cukup baik, tetapi kegagalan mereka dalam mencegah dan menghentikan segera aksi kerusuhan besar yang melanda Jakarta dan sejumlah kota-kota lainnya tahun 1998 tak pernah terlupakan.

Kalau dalam pengamanan Jakarta saja mereka gagal, bagaimana dapat dipercayakan pengamanan seluruh Nusantara ? Belum lagi kasus hilangnya sejumlah aktivis mahasiswa selepas peristiwa itu. Meskipun proses hukum menyatakan mereka tidak terlibat, tetapi secara moral mereka tak dapat lepas tangan. Sutiyoso, sebagai mantan Gubernur DKI Jakarta, tidak meninggalkan karya yang mengesankan. Proyek monorel yang dirancang pada masanya tetap terbengkalai. Demikian juga proyek busway yang selalu dibangga-banggakan, ternyata hingga saat inipun urusannya belum tuntas. Belum lagi insiden yang pernah terjadi dengan aparat keamanan Australia menyangkut tewasnya sejumlah wartawan Australia di Timor Timur.

Akbar Tanjung, meski berhasil menyelamatkan kelangsungan hidup Golkar dari tuntutan pembubaran pada masa reformasi, tetapi kasus hukum yang menyangkut sebuah perusahaan tetap meninggalkan tanda tanya. Memang ia bebas dari tuntutan hukum, tetapi pengakuan “menggeletakkan begitu saja selembar cek berjumlah besar di atas meja” sungguh aneh.

Sri Sultan Hamengku Buwono X adalah seorang tokoh yang belum pernah menduduki posisi jabatan kenegaraan di tingkat Nasional sehingga sulit memberi penilaian atas kinerjanya. Tetapi gagasan-gagasannya untuk menjadikan negeri ini sebagai Negara maritim yang kuat dan rakyatnya menjadi tuan di negeri sendiri merupakan angin segar. Hanya satu pertanyaan, tidakkah feodalisme akan bangkit kembali bila dia memimpin negeri ini ? Karena semua keturunan raja-raja dari seluruh Indonesia telah mengelilingi dia. ***

Contact Form

Name

Email *

Message *