Monday, March 9, 2009

Mengapa Mereka memilih Golput ?

Salah satu sebab mengapa banyak para pemilih mempertimbangkan untuk tidak menggunakan hak pilihnya pada Pemilu Legislatif 9 April 2009 yang akan datang bahkan juga dalam Pemilu Presiden berikutnya, adalah didasari kekecewaan terhadap kinerja para anggota legislatif dan para pejabat pemerintah selama ini. Bukan saja karena mereka gagal mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat, tetapi juga karena perilaku mereka.

Lihat saja anggota-anggota DPR-RI di Senayan. Pada waktu sidang ruang sidang nyaris kosong. Yang sidang banyak yang nampak tidak serius. Hanya membaca koran, tertidur, menelpon dan sebagainya. Ejekan "4 D” (datang, duduk, diam, duit) sudah sering memjadi pembicaraan umum. Ditambah lagi dengan tertangkapnya sederetan anggota DPR karena tuduhan korupsi dan berbuat amoral. Padahal mereka telah diberi penghasilan sangat besar.

Ketika dagangan para pedagang tradisinonal diobrak-abrik, rakyat kecil berhimpit-himpitan mengantri sembako dan BLT, tak ada orang-orang yang menamakan diri “wakil rakyat” itu datang mendengar aspirasi mereka atau membicarakannya secara serius dalam sidang DPR. Terakhir ada anggota DPR seperti tidak mempunyai tata krama dalam berbicara. Direktur Utama Pertamina, seorang ibu dan wanita yang terhormat, dengan kasar didampratnya sebagai “belum cukup umur” alias tidak pantas untuk jabatan itu. Padahal diangkatnya dalam jabatan itu bukan atas kehendaknya apalagi minta-minta. Seharusnya pernyataan oknum anggota DPR itu dipertanyakan kepada pihak yang mengangkatnya. Bahwa tujuannya ingin membongkar praktek-praktek “permainan” dalam pengelolaan perusahaan negara itu, tidaklah lantas membenarkan cara yang tidak etis itu. Mengherankan tidak ada protes dari para tokoh perempuan atas pelecehan tersebut, justru ketika saat ini dikampanyekan untuk memberikan kesempatan yang lebih besar kepada kaum perempuan untuk berperan.

Lalu dalam kampanye, berbagai janji yang diobral ditambah pemancangan gambar di segala pojok jalan bak etalasi barang, malah membuat orang menjadi muak. Partai-partai yang selama ini mengusung para anggota DPR yang mengecewakan itu sama saja. Meskipun anggota-anggota DPR sering disebut atau menyebut diri sebagai “wakil rakyat”, namun dalam prakteknya sesungguhnya mereka lebih tepat disebut “wakil parpol”.

Hubungan fungsional Rakyat – Parpol – DPR seperti terputus. Pada saat-saat rakyat mengharapkan perhatian, Parpol kurang tanggap atau kurang peduli menyuarakannya melalui wakilnya di DPR. Tetapi ketika ruang-ruang sidang nyaris kosong, Pengurus Parpol seperti tidak peduli. Padahal mereka mempunyai kekuatan untuk menertibkan wakil-wakilnya yang tidak disiplin di DPR. Mereka berhak merecall yang bersangkutan.

Agaknya Pengurus Parpol sudah merasa cukup menyerahkan tanggung jawan kontrol itu kepada Badan Kehormatan DPR yang ternyata juga kurang berfungsi efektif. Tetapi ketika Pemilu legislatif makin dekat, sontak hubungan itu mendadak menjadi manis. Caleg-caleg dan pengurus-pengurus Parpol berlomba-lomba ke pasar, gubuk-gubuk, sawah, sekolah-sekolah setengah ambruk dengan membawa seribu satu janji.

Menggelikan ! Makanya banyak kalangan calon pemilih kini berasumsi : daripada memilih orang-orang dan parpol yang diperkirakan akhirnya juga akan mengecewakan, lebih baik tidak memilih sama sekali.

Pemilu Presiden

Hal yang sama juga dapat membayangi peleksanaan pemilihan Presiden sesudah pemilihan anggota legisltaif. Diantara tokoh-tokoh yang telah disebut-sebut sebagian besar sudah dikenal umum, karena sudah pernah menduduki posisi penting dalam republik ini dan mereka meninggalkan citra masing-masing yang plus-minus. SBY, meski dikenal hati-hati dan cermat, tetap bersih, mendukung pemberantasan korupsi, namun ia terkesan lamban. JK, meski berhasil memprakarsai penyelesaian berbagai konflik di Tanah Air, namun ia dinilai gagal dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pada awal pemerintahan SBY-JK, tersebar dalam massmedia ada semacam kesepakatan “pembagian kerja” antara Presiden dan Wakil Presiden. Yang havy-nya ekonomi-kesra menjadi tanggung jawab Wakil Presiden. Maka kalau memang benar demikian, dapatlah dimaklumi kalau kekecewaan atas kegagalan peningkatan kesejahteraan rakyat ini ditujukan kepada JK sebagai Wakil Presiden.

Kinerja pemerintahan Megawati Sukarnoputri, tidak jauh berbeda dengan JK. Sekarang ada komitmen untuk lebih memperhatikan kesejahteraan golongan ekonomi lemah dalam bentuk mewajibkan para caleg PDIP menandatangani kontrak politik. Tetapi ada citra yang mengganjal, bahwa tokoh ini tidak mencerminkan citra seorang negarawan. Persoalan pribadi terbawa-bawa dalam urusan kenegaraan. Diundang menghadiri upacara Hari Kemerdekaan di Istana tidak mau hadir. Amien Rais, yang dikenal sebagai tokoh reformasi, dengan sifat dan pemikirannya yang tanpa tedeng aling-aling, banyak yang mengkhawatirkan dapat menjadi seperti Khadafi atau Ahmadineja dari Iran yang akan melakukan reformasi secara radikal, tidak gradual. Bahwa ia juga mengaku pernah menerima titipan “dana” dari pihak yang kemudian bermasalah tetapi tidak mengembalikannya kepada negera, telah memberi kesan yang kurang elegan.

Sedang tokoh purnawirawan militer seperti Wiranto dan Prabowo Subianto, meskipun dalam gagasan mereka cukup baik, tetapi kegagalan mereka dalam mencegah dan menghentikan segera aksi kerusuhan besar yang melanda Jakarta dan sejumlah kota-kota lainnya tahun 1998 tak pernah terlupakan.

Kalau dalam pengamanan Jakarta saja mereka gagal, bagaimana dapat dipercayakan pengamanan seluruh Nusantara ? Belum lagi kasus hilangnya sejumlah aktivis mahasiswa selepas peristiwa itu. Meskipun proses hukum menyatakan mereka tidak terlibat, tetapi secara moral mereka tak dapat lepas tangan. Sutiyoso, sebagai mantan Gubernur DKI Jakarta, tidak meninggalkan karya yang mengesankan. Proyek monorel yang dirancang pada masanya tetap terbengkalai. Demikian juga proyek busway yang selalu dibangga-banggakan, ternyata hingga saat inipun urusannya belum tuntas. Belum lagi insiden yang pernah terjadi dengan aparat keamanan Australia menyangkut tewasnya sejumlah wartawan Australia di Timor Timur.

Akbar Tanjung, meski berhasil menyelamatkan kelangsungan hidup Golkar dari tuntutan pembubaran pada masa reformasi, tetapi kasus hukum yang menyangkut sebuah perusahaan tetap meninggalkan tanda tanya. Memang ia bebas dari tuntutan hukum, tetapi pengakuan “menggeletakkan begitu saja selembar cek berjumlah besar di atas meja” sungguh aneh.

Sri Sultan Hamengku Buwono X adalah seorang tokoh yang belum pernah menduduki posisi jabatan kenegaraan di tingkat Nasional sehingga sulit memberi penilaian atas kinerjanya. Tetapi gagasan-gagasannya untuk menjadikan negeri ini sebagai Negara maritim yang kuat dan rakyatnya menjadi tuan di negeri sendiri merupakan angin segar. Hanya satu pertanyaan, tidakkah feodalisme akan bangkit kembali bila dia memimpin negeri ini ? Karena semua keturunan raja-raja dari seluruh Indonesia telah mengelilingi dia. ***

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *