Monday, October 26, 2020

TATA BAHASA MORI BAHONO YANG UNIK (PENUTUP)

 PENULIS

 Saminasa ( Sam ) Lapoliwa lahir di Ulu’anso, Morowali, Sulawesi Tengah  tahun 1944. Lulus Sekolah Rakyat GKST Beteleme tahun 1959, SMP Negeri II Poso tahun 1961 dan SMA Negeri Poso Bagian B/Pasti Alam tahun  1964. Sempat kuliah di Fakultas Farmasi Universitas Pancasila dan Perguruan Tinggi Publisistik Jakartai. Menyelesaikan pendidikan  sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Terbuka Jakarta Jurusan Administrasi Negara, selesai tahun 1992.

Sambil kuliah, bekerja di berbagai suratkabar, diantaranya Harian Kami,  Harian Empat Lima pimpinan H.Adam Malik, Wakil Presiden ketika itu dan menjadi kontributor Majalah  Tempo, Widyapura, Kotapraja,  Oikoumene-PGI, Media Jaya dan Cinta Ibukota. Karena seringnya terjadi pemberangusan media masa oleh penguasa sampai tahun 90-an, terpaksa beralih profesi ke PT. Enam-Enam sebagai Manager  Sixty Six Advertising. Tahun 1982 kembali ke bidang pers , terakhir sebagai Pemimpin Perusahaan pada koran Berita Minggu & Film.

Tahun 1983 menjadi pegawai Departemen  Dalam Negeri (PNS) dan dipekerjakan  di Inspektorat Wilayah Propinsi DKI Jakarta  sampai pensiun tahun 2000. Terakhir sebagai  petugas Auditor Bidang Sosial Politik dan Aparatur di Inspektorat Wilayah Kotamadya Jakarta Pusat.

Di bidang organisasi, terakhir sebagai Sekretaris Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) Sub Unit Itwilkodya Jakarta Pusat. Di lingkungan gerejani, sebagai Presbyter GPIB Marturia Jakarta kemudian di GPIB Zebaoth Bogor.

Setelah pensiun memanfaatkan waktu menulis beberapa buku kecil antara lain :

1.Teratai Bahono Berkembang ( karya bersama kak Marthen Latarima Lapoliwa), 

2.Petualang-Petualang Metropolitan (ceritera liputan jurnalistik), 

3. Dalam Perjalanan Hidup Kulihat KasihNya( biografi)

4.Nurhayati (novel, dari  biografi tambah imaginasi).

5.Langkah Praktis Bagi Wartawan Pemula

6.Kunci Praktis Membuat Usaha Berhasil (Tinjauan dari sudut management audit),

7. Kamus Bahasa Mori Bahono, 

8. Tata Bahasa Mori Bahono 

9. Ketika Doggy Mendengar Suara Azan ( Kumpulan ceritera hewan-hewan kesayangan kami )

10.Kumpulan Tema-tema Alkitab (guna memudahkan menemukan perikop tertentu)   

Tulisan-tulisan lepas lainnya dapat diikuti di http://Wita-mori.blogspot.com.                       

                                                                 ***

 


TATA BAHASA MORI BAHONO YANG UNIK (3-4)

 KALIMAT  NEGATIF DAN KALIMAT TANYA


TATA BAHASA MORI BAHONO YANG UNIK ( JENIS KALIMAT 1-2)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

TATA BAHASA MORI BAHONO YANG UNIK (LELUHUR)

 Terjemahan

 Leluhur Orang Bahono

 

A

sal  orang-orang  Mori Bahono saat ini, seperti  kita dengar dari percakapan orang tua-tua dahulu, asal-mulanya dari kisah   seorang anak muda bernama Enge Melari.

 Enge Melari mempunyai sebuah kapal air. Orang kekar  ini banyak  ilmunya. Sering merantau dengan kapal di laut bersama teman-temannya, merantau ke tanah yang jauh dari kampungnya. Dialah yang menjadi pemimpin mereka.

Suatu hari ada ombak besar yang mengerikan dan angin kencang. Kapal mereka terhempas ke suatu batu besar di pinggir laut. Dinding kapal pecah. Karena tak bisa diperbaiki lagi, Ue Enge Melari memutuskan untuk meninggalkan kapal itu lalu mereka masuk  ke hutan dan belantara, mendaki gunung, menuruni lembah, menyeberangi sungai kecil an sungai besar. Sampai akhirnya mereka sampai ke bawah sebuah pohon besar. Disitulah mereka beristrahat.

Ue Engemelari menarik pedangnya dan menebas pohon besar  tempatnya menyandarkan diri itu. Ia terkejut karena ada air merah tumpah seperti darah. Karena itu pohon itu mereka namakan pohon Ture’a.

    Karena tanah itu mereka lihat bagus, tanaman-tanaman, pohon, sagu, pinang, rotan an banyak lagi yang lain, semuanya hijau subur.   Banyak babi hutan, rusa, ikan di sungai kecil dan sungai besar. Di Semak-semak banyak ayam hutan. Maka itulah U Engemelari menyatukan hati mereka, mereka akan tinggal menetap di situ saja. Mereka akan berkebun, berburu dan memukul sagu untuk makanan mereka..

       Di tanah itu sudah ada penduduk asli. Raja mereka baik hati juga. Begitu juga rakyatnya. Ue Engemelari ma wali-walino mo’alo isterinya inso ana irowai di tanah itu, sampai mereka menjadi orang banyak dan membangun kampung baru.

Dahulu, kampung itu mereka namakan Ture’a karena adanya pohon Ture’a itu.  Tapi karena di situ banyak juga air di kali-kali kecil dan sungai besar yang selalu membasahi tanah itu, sering pula mereka di sebut Orang Bahono. Orang berdiam di tanah basah.***

Tata Bahasa.

Dalam pelajaran tentang Kata Depan telah diuraikan perubahan-perubahan  kata tempat yang di pengaruhi oleh  kata depan yang mendahuluinya.                                                                                                                                                                     I wiwi ntahi  -  di pinggir laut.

 Kata  depan wiwi diikuti kata keterangan  tahi yang diawali huruf  t. Maka  di depan tahi ditambah kan  huruf  n  sehingga menjadi  ntahi.

 Contoh :

a  ngkorono. – di sungai  .Jadi bukan  a korono.  Manu-manu me’eka ang keu.- Burung bertengger di pohon. Ang keu, bukan  a keu.

Hal sama juga terlihat pada kata  tongang kura – tengah semak-semak.  ; Tongang keu - antara pohon-pohon.                                                 

 

 

 

           

 

 

 

 

 

TATA BAHASA MORI BAHONO YANG UNIK (MIAN SE'ELU)



 

Sunday, October 18, 2020

TATA BAHASA BAHONO YANG UNIK (8-10)

 


TATA BAHASA MORI BAHONO YANG UNIK (5-7 )


TATA BAHASA BAHONO YANG UNIK (11-15)


TANGGAP MENDENGAR SUARA RAKYAT

Kalau ada yang berpikir barangkali pengeluaran Undang-Undang  Cipta Kerja (UCK) sekarang sebagai upaya mengalihkan perhatian rakyat dari pro kontra KAMI beberapa waktu yang lalu – mungkin ada benarnya. Nyatanya, gaung sepak-terjang KAMI saat ini nyaris tersingkir oleh hiruk-pikuk gelombang protes UCK di mana-mana. Kalau itu benar, maka itu ada beberapa alasan. Narasi-narasi dari pihak KAMI umumnya lebih mendasar, umum dan menyangkut kredibiltas Pemerintah. Sedangkan narasi mengenai UCK lebih bersifat spesifik. Spesifik mengenai ketenagakerjaan saja. Bila saja Presiden mengeluarkan Perpu yang  mefasilitasi tuntutan kaum buruh, mungkin gelombang protes akan segera berhenti.

Pada awal dideklarasikan, tanggapan atas pembentukan KAMI yang sekarang macam-macam. Ada yang menganggap hanya merupakan kumpulan sebagian orang-orang yang gagal ketika diberi kedudukan dalam jabatan-jabatan penting pada masa lalu. Mereka yang merasa tak dianggap oleh penguasa sekarang atau mereka yang merasa ruang gerak mereka dalam aktivitasnya semakin terbatas oleh berbagai kebijaksanaan pemerintahan sekarang. Singkatnya, mereka merasa banyak ketidakadilan. Mereka merasa  semua jalur untuk menyampaikan unek-unek mereka seperti tertutup. Kalaupun ada, dirasakan hanya sekedar basa-basi. Ditampung tapi tidak ditindaklanjuti. Alias ditampung untuk disimpan atau dibuang.

Maka satu-satunya cara yang masih dimungkinkan oleh konstitusi adalah melalui unjuk rasa atau demonstrasi. Namun sayang, demonstrasi ini dalam banyak kejadian, sering sulit dikendalikan. Terjadi aksi anarkis dan brutal yang mengakibatkan banyak kerusakan fasilitas umum, terjadi penjarahan, korban luka-luka,  bahkan korban jiwa.

Dalam kasus yang demikian, aparat keamanan di lapangan terpaksa mengambil tindakan tegas dan keras. Dalam batas-batas tertentu, mereka mungkin masih dapat mengendalikan dan menguasai keadaan. Tapi ada situasi – di mana aparat keamanan akan sampai pada batas pasif. Mereka menolak   ofensif lagi untuk menghindari banyaknya korban anggota atau sesama bangsa sendiri. Bahkan bisa saja mereka menarik diri. Ingatkah ketika pada kerusuhan tahun 1998 semua anggota polisi menarik dari dari jalan-jalan di Jakarta kembali ke markas mereka masing-masing ? Yang mengakibatkan Jakarta terbakar dan terjadi penjarahan besar-besaran ?

Kalau sudah begini, hanya selangkah lagi terjadinya revolusi. Dimana semua aturan hukum dan ketertiban seperti tidak berlaku. Untuk mencegah agar ini tidak terjadi, maka jurang ketidakadilan harus benar-benar dihilangkan. Aspirasi setiap warga masyarakat atau golongan agar dirampung dan ditindaklanjuti sebagaimana mestinya. Pamer kekayaan tidak lagi ditonjol-tonjolkan di mata rakyat miskin yang tambah tertekan oleh pandemi covid 19 saat ini. Perlakuan istimewa dalam pelayanan sosial, praktek pelaksanaan hukum kepada kalangan tertentu tidak terjadi lagi. Bila semua ini dibiarkan dan terus bertambah secara akumulatif, maka kita tinggal menunggu datangnya gerakan massa dalam eskalasi besar yang tak akan terbendung. Dan kita dapat mengira-ngirakan siapa yang akan menjadi sasaran mereka. Kaum oligarki dan para oknum kongkalingkong mereka yang diindikasikan banyak bercokol di berbagai lembaga negara. Bukankah mereka yang selama ini sering disebut-sebut sebagai biang keladi kesemrawutan di negeri ini ?

Pemerintah termasuk partai berkuasa saat ini mesti waspada. Dukungan besar kepada Jokowi dan posisi mayoritas besar partai penguasa di DPR sekarang, perlu dipertanyakan kembali. Benarkah tetap seperti yang dibayangkan ? Sampai pertengahan tahun 1965, Bungkarno masih didukung seluruh rakyat tanpa reserve. Tapi tahun 1966 tumbang. Tahun 1971 hasil pemilu nyaris 100 % rakyat mendukung Suharto melalui Golkar. Tapi sesudah kerusuhan 1998, ketua MPR yang juga Ketua Umum Golkar itu sendiri yang meminta agar Suharto berhenti. Setelah itu sejumlah tokoh nasional dan tokoh agama ke Istana meminta hal serupa, supaya lengser. Upaya Suharto kemudian untuk membentuk kabinet baru berulang kali gagal. Karena tak seorangpun lagi yang mau ikut. Termasuk menteri kesayangannya sebelumnya. Satu-satunya pilihan yang konstitusional, ya mundur. Jangan sampai hal serupa terjadi pada Jokowi. ***

 

Contact Form

Name

Email *

Message *