Saturday, February 13, 2021

JEJAK MENGIKUT KRISTUS : (4) MENJAUH DARI KRISTUS, MASUK RUMAH SAKIT

M

ulai bekerja dan kuliah di Jakarta, kegiatan ibadahku jadi berkurang. Kalau selama sekolah di SMP dan SMA di Poso aku setiap ibadah minggu hampir tak pernah kulewatkan, maka di Jakarta menjadi terbilang jarang. Aku memang mendaftarkan diri sebagai warga jemaat di GPIB Ebenhaezer Jalan Kramat VII Jakarta karena memang dekat dari Jalan Paseban Jakarta Pusat, tempat tinggal kami karyawan bujangan Harian Pelopor, perusahaan suratkabar  yang dipimpin Bp.JK. Tumakaka. Biar terbilang dekat, namun aku jarang bisa ikut ibadah, termasuk Ibadah Minggu. Padahal sebenarnya ada juga kerinduan ingin ikut aktif, seperti ikut Paduan Suara pemuda.

Waktu kerja malam hari dari sore sampai pagi lalu sambung kuliah pagi atau praktikum kimia dan biologi sampai sore, membuat waktu istrahat tidur sangat kurang. Sejak Tingkat Persiapan, Drs. Abdul Mu’in asisten dosen Biokogi kami di Fakultas Farmasi Universitas Pancasila Jalan Borobudur Jakarta, memang sering-sering memboyong kami mengikuti kuliah di ruang kuliah  Microbiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia  Jalan Cikini. Kelak beliau terkenal sebagai ahli forensik di FKUI.

Hari Minggu sebagai hari libur. Saat itulah waktu yang tersedia untuk tidur istrahat panjang  seharian. Ketika umat sedang ibadah di gereja, pada jam-jam itu  aku malah  mungkin masih tertidur pulas. Dan berbarengan dengan itu kondisi kesehatanku pun terasa makin menurun. Sampai akhirnya aku benar-benar sakit. Semula aku mengira ini hanya sakit biasa. Tetapi  kemudian , aku sadar  barangkali ini adalah bagian dari cara Tuhan untuk memproses ku setelah aku cenderung mulai menjauh dari Dia.

Kakak kandungku anggota TNI dari Devisi Siliwangi Sukabumi meminta saudara sepupu kami yang tengah mengikuti pendidikan Calon Perwira Polisi di Sukabumi  membantu agar aku bisa dirawat di rumahsakit. Kakak sendiri  ketika itu sedang dikonsinyir bersama pasukannya di Bandung. Dipersiapkan untuk  berangkat ke Pakanbaru,  garis depan perang dingin berhadapan dengan  pasukan Inggeris dan Malaysia di Singapura. Ketika itu Indonesia dan Malaysia memang sedang berkonfrontasi.

Setengah memaksa polisi, salah satu putra kakak tertua ibuku ini membawaku ke Rumahsakit Fatmawati Cilandak. Ketika itu Jakarta nampak sedang terbakar. Para demonstran anti komunis rupanya  masih marah. Mereka melakukan aksi pembakaran gedung-gedung bekas kantor PKI setelah partai yang gagal melakukan pemberontakan pada akhir September 1965 itu dibubarkan.

Entah berapa lama aku dirawat di sana. Mungkin dua bulan. Tidak pernah lihat kalender. Di luar dugaan, penyakitku ternyata menurut hasil pemeriksaan laboratorium, cukup berat. Aku mengira hanya malaria yang sering kualami di masa SD dahulu kambuh lagi. Ternyata ada turberkulosenya. Bukan itu saja. Bagian dalam tubuhku telah parah digerogoti Typhus. Typhus  Abdominalis yang cukup berbahaya. Pantas saja perutku selalu sakit. Kala ke  belakang, hanya darah yang keluar. Demam tinggi disusul suhu badan entah berapa derajat dan sakit kepala. Heran, aku sering bermandi keringat. Berapa kali aku harus pindah-pindah   tempat tidur karena kasurku seketika basah kuyup lagi.

Aku harus menjalani diet berat. Setiap hari hanya diberi jus pepaya dan semangkok kecil seperti bubur susu. Dan itupun terkadang tak kusentuh sama sekali karena memang tak ada nafsu makan. Makin lama tubuhku makin menyusut. Sampai suatu hari  kulihat lengan tanganku seperti tinggal tulang berbalut kulit. Kondisi kesehatanku seperti ini tak pernah kukabarkan kepada keluarga di kampung bahkan sengaja kurahasiakan. Sekali dua ada famili di Jakarta datang mengunjungiku. Kepada mereka kuminta untuk tak mengabarkannya ke sana. Aku tak ingin ibu, orangtuaku yang tinggal satu-satunya,  jadi sedih berkepanjangan pada masa tuanya karena memikirkanku.***

 

Friday, February 12, 2021

JEJAK SEBAGAI PENGIKUT KRISTUS :(3) PANDANGAN DUALISTIS TERHADAP ISLAM

Berbagai perubahan situasi yang terjadi kemudian, ikut mengubah sikap keagamaanku. Berita-berita kekejaman gerombolan Kahar Muzakar dari Sulawesi Selatan dalam memperlakukan orang-orang Nasrani di daerah yang baru mereka kuasai begitu berpengaruh. Ditambah lagi dengan sikap gerombolan ini ketika mulai muncul pula di kampung kami Uluanso. Penampilan mereka dengan rambut panjang terkesan sangar, menyeramkan. Mereka memaksa ayah, yang ketika itu sebagai mandor atau Wakil Kepala Kampung, untuk mengumpulkan bahan makanan : beras, ayam, garam dan lain-lain untuk diangkut pulang. Mereka juga selalu minta disuguhi minuman air kelapa muda sehingga disana-sini jelas terdengar dari rumah kelapa-kelapa muda ramai berjatuhan. Rumah kami memang terletak tepat di tikungan jalan masuk dari arah Sulawesi Selatan, sehingga  keluarga kami dapat melihat jelas dari atas setiap orang atau rombongan yang lewat jalan samping rumah kami, sebuah rumah panggung besar terbuat dari papan.

Perilaku gerombolan yang namanya membawa-bawa agama Islam itu sekejap mengubah cara pandang warga kampung kami dan sekitarnya terhadap Islam kenjadi kurang baik. Putra sulung kakak tertua ibu yang menjadi guru di Nuha memilih berhenti karena sering diganggu gerombolan kemudian masuk tentara. Bahkan kakak tertua kami – yang ex. KNIL, pernah diambil dan konon nyaris  digere (dipenggal) karena dicurigai jadi mata-mata. Untung di sana ada kerabat yang sudah memeluk Islam yang berani menjamin tuduhan terhadap kemanakannya itu tidak benar dan memohon bisa dilepaskan.

Guru Mandake sering diganggu, menyebabkan ia minta sekolah berikut perabot meja-meja panjang dengan bangku-bangkunya diboyong pindah ke kampung Kumpi yang sedikit lebih aman. Jaraknya sekitar empat kilometer dari Uluanso membuat kami para murid, dari murid kelas satu sampai tiga  menjadi makin susah. Pemuda-pemudanya memilih merantau. Ada yang kelak jadi polisi, tentara dan guru.

Seiring dengan itu, warga demi warga, keluarga demi keluarga, berangsur mengungsi ke kampung-kampung lain sampai terjadi pengungsian massal pada pertengahan tahun limapuluhan. Para pengungsi asal Uluanso ini ditempatkan di ujung selatan Beteleme, ibukota Kecamatan Lembo. Sedangkan warga Bahono asal Kumpi ditempatkan di ujung utara.

Meski sudah di pengungsian, gangguan gerombolan belum juga berhenti. Bahkan kakak kandung ibu, Pamanda terkasih Samaila Lagasi bersama kakak sepupu terkasih, Tinia Lapoliwa pernah disandera gerombolan dan diancam akan dilenyapkan. Hanya suatu mujizat yang terjadi malam hari membuat mereka berhasil lolos. Ketika itu mereka sedang mencari sisa-sisa hasil tanaman di bekas kebun mereka secara sembunyi-sembunyi. Tiba-tiba dijebak oleh gerombolan yang menyamar satuan TNI karena seragam mereka yang lengkap.

Tidak itu saja. Kota Beteleme dua kali berhasil disatroni gerombolan TII. Pertama kali mereka hanya menjarah toko-toko. Tapi kedua kalinya, mereka berhasil menerobos benteng Uluanso-Beteleme masuk dan menjarah lalu membumihanguskan bangunan gereja, sekolah, pertokoan dan rumah-rumah penduduk. Bahkan jembatan sungai Laa nyaris terputus karena dibakar.

 Perlakuan pihak gerombolan sedemikian, membuat kesan terhadap Islam sampai pada titik terrendah. Perilaku gerombolan yang penuh kekerasan, membuat kecintaan akan ajaran Kristen yang mengajarkan cinta kasih semakin kuat. Tak ada warga yang memeluk agama lain selain Kristen. Meski pernah batal mengikuti pendidikan lanjutan agama Kristen di Tentena, keinginan untuk lebih mendalami agama ini tetap tak berkurang. Malah terus bertambah, lebih-lebih ketika mata pelajaran agama kami di SMA Negeri Poso dipimpin Ibu Pdt.Agustin Lumentut yang ketika itu juga adalah Gembala Jemaat Kristen Poso Kota di Jalan Minahasa.

Pengasuhan beliau kepada kami, siswa Kristen yang bejumah sekitar 50 orang memberikan keuntungan ganda. Kumpulan mata pelajarannya sama dengan mata pelajaran katekisasi yang biasa dilakukan di gereja-gereja, sehingga kami tak perlu lagi mengikuti katekisasi di gereja asal. Mengkuti pendidikan katekisasi adalah  syarat untuk dapat diteguhkan sebagai warga sidi jemaat yang dianggap dewasa. Menjelang kelulusan SMA, kami semua diikutkan pada peneguhan sidi jemaat di Gereja Peniel Lage Poso, yang dipimpin Bp.Pendeta Sinauru. Gedung gereja inilah yang menjadi korban pembakaran pertama dalam kerusuhan Poso dahulu yang kemudian merambat ke mana-mana.

Tamat SMA dan sudah menjadi warga sidi Jemaat, aku berangkat ke kantor Synode GKST di Tentena untuk menjajagi kemungkinan mengikuti sekolah pendeta. Tetapi di Tentena belum ada STT (Sekolah Tinggi Theologia). Adanya masih di Jakarta. Majelis Synode hanya bisa memberikan surat rekomendasi ke STT Jakarta. Maka ketika ke Jakarta, aku menghadap ke STT Jalan Proklamasi. Tetapi menurut ketentuan di masa itu, untuk dapat diterima sebagai mahasiswa utusan gereja pengusul, seseorang sudah harus lulus Tingkat Persiapan atau masuk Tngkat II. Karena terhalang keterbatasan kemampuan untuk menanggung sendiri biaya mengikuti pendidikan awal itu, maka niat masuk STT pun gagal.

Kesan negatif terhadap agama Islam yang dipengaruhi sikap kebrutalan gerombolan TII di Uluanso dan Kecamatan Lembo Beteleme dan sekitarnya ketika tiba di Jakarta tetap tak berobah. Baru berubah ketika mulai bekerja pada sebuah surat kabar harian, yang para wartawan, kontributor dan karyawannya campur aduk dari segala etnis dan agama yang berbeda. Keturunan Arab, Padang,  Jawa, Aceh, Ambon, Bali, Batak, Timor dan Sunda. Kebanyakan beragama Islam dan sebagian kecil agama lain. Rata-rata mereka mahasiswa, tokoh pers  dan  budayawan-budayawan terkenal dan juga ada beberapa ekonom. Ada nama Emil Salim di sana, Ada Mar’ie Muhamad, Nono Anwar Makarim, Zulharman Said, Drs. SK.Trimurti, Goenawan Mohammad, Wiratmo Sukito, Mochtar Lubis, Taufiq Ismail Rosihan Anwar, Salim Said, Fikri Jufri, Ismed Hadad, Satyagraha Hoerip,  dan banyak lagi.

Dalam keragaman ini ternyata semua bisa bekerjasama dengan baik dan terasa adanya persahabatan. Bahkan aku sendiri dari pekerja paling bawah sebagai korektor, dipromosikan naik menjadi wartawan, lalu menjadi Redaktur Pelaksana, mengepalai periklanan, sampai dipercaya menjadi Pemimpin Perusahaan. Padahal Pemumpin umumnya seorang keturunan Arab, pemimpin redaksinya asal Padang yang kedua-duanya tentu taat  menjalankan ajaran agama mereka.

Kesimpulan pada akhirnya, adalah kekerasan yang membawa-bawa nama agama yang terjadi daerah asalku dan juga di daerah-daerah lainnya dahulu, bukan disebabkan agamanya tetapi perilaku sebagian para penganutnya. Semua agama mengajarkan kebaikan, tetapi penganutnya bisa memiliki pemahaman yang berbeda-beda. Dan memang ada yang mengatakan kaum gerombolan TII di Suawesi dahulu dipengaruhi faham aliran Wahabi yang sangat lekat dengan tradisi kekerasan dan oleh sebagian besar umat Muslim sendiri di negeri inipun ditentang. ***

 

 

Thursday, February 11, 2021

JEJAK SEBAGAI PENGIKUT KRISTUS :(2) PERTAMA MENGENAL ALKITAB


D

alam lingkungan keluarga berlatar belakang adat tradisional ini, aku sama sekali tak pernah mendapatkan pelajaran agama. Tak pernah mendengar ajaran tentang Yesus atau Alkitab. Memang pernah bersama kakak-kakaku membuka-buka sebuah buku dengan kulit tebal dan isinya ada gambar-gambar berwarna. Rupanya  buku itu berisi kisah-kisah  Alkitab Perjanjian Lama dan berjudul “Toetoeloedo Mia nse’elu” . Terjemahan bebasnya, “Ceritera Orang-orang Jaman Dahulu kala”.  Ada gambar seperti pelangi di sana dan dibawahnya ada sederetan tahta. Di tengah-tengah tahtanya lebih besar yang diduduki seseorang yang memakai mahkota. Nampak juga gua besar yang dinding-dindingnya dihiasi gambar-gambar. Belakangan baru kukenal itu adalah katakombe, tempat penyimpanan jenasah-jenasah jaman dahulu.

Suatu ketika aku ikut seorang kakak sepupu ke ke kebun mereka. Minggu pagi kami berangkat menuju kampung Uluanso dengan menunggang seekor kerbau. Aku duduk di belakang. Karena kami harus duduk rapat, kalambi  atau ransel rotan  milik kakak sepupu ini dipakaikan di punggungku. Ketika menyeberang kali kecil, kerbau yang kami tunggangi tergelincir di sebuah batu licin sehingga terjatuh. Kami basah kuyup. Demikian juga kalambi dipunggungku. Sampai di kampung, kakak sepupu ini dimarahi ibunya karena “Wunta Tutulu”nya basah. Tetapi kakak sepupu ini menyalahkanku sehingga akupun ikut dipelototi ibunya. Beliau adalah  isteri kemanakan ibuku. Wunta Tutulu, yang dalam pengertian harfiahnya berarti Buku Ceritera, adalah Kitah Suci, Alkitab.

Pengenalan kedua pada Alkitab, ketika semua warga kampung Uluanso sudah dalam pengungsian di bagian selatan kampung Beteleme. Ketika sedang belajar bersama di rumah teman sepupuku yang lain, dari laci bukunya kutemukan sebuah buku tebal dengan kulit warna hitam. Judulnya, “DANDI WO’UHU” tertulis dengan warna kuning keemasan. Dandi Wo’ohu, dari bahasa Mori berarti Perjanjian Baru. Dan itu memang buku Alkitab Perjanjian Baru dalam bahasa Mori. Saat itulah kali pertama aku membuka-buka Alkitab dan membaca beberapa ayat. Karena di rumah aku belum pernah melihat apalagi membaca Alkitab. Padahal ketika itu aku sudah duduk di kelas 5 SD Sekolah Kristen !. Di sekolah, baik  ketika masih di Uluanso Tua maupun di SR 6 Tahun di Tinompo lalu di SD Beteleme tak pernah diajari mata pelajaran agama Kristen ataupun ceritera-ceritera agama. Ini aneh. Waktu di Ulu’anso Tua, guru kami memang giat sekali melatih dan mengajari kami lagu-lagu Nyanyian Rohani yang sudah dalam bahasa Indonesia. Bahkan hampir semua lagu dari buku kidung rohani berisi 100 lagu itu dapat kami nyanyikan tanpa teks. Tetapi entah mengapa kisah-kisah di Alkitab tak pernah diceriterakan.

Di SR GKST Tinompo ketika itu malah ada mata pelajaran mendongeng. Guru kami ada yang  sering menceriterakan dongeng menyeramkan. Bahkan kami murid-murid kadang kala didorong juga ikut mendongeng di depan kelas. Memang menjelang akhir minggu, kami semua murid-murid dari kelas satu sampai kelas enam, dikumpulkan di dua ruangan kelas paling tengah. Semua mengarah ke pintu terbuka yang menghubungkan kedua kelas. Disitu berdiri salah seorang guru memimpin ibadah. Mulai dari menyanyikan  lagu puji-pujian dari kitab Nyanyian Rohani , membaca Kitab Suci, khotbah singkat dan berdoa.

Anehnya lagi, di sini pula untuk pertama kalinya aku mulai mengenal ajaran Islam. Bahkan sampai bisa menghafal kalimat shahadat. Awalnya, ada satu keluarga suku Bugis pindah ke kampung Tinompo. Rumah baru keluarga ini pas berhadapan dengan sekoah kami. Satu-satunya sekolah di Tinompo dan kampung-kampung sekitarnya hanya SR Kristen 6 Tahun ini. Maka kedua anak laki-laki keluarga muslim inipun diberi dispensasi boleh melanjutkan sekolah mereka bersama kami. Yang sulung sudah naik kelas tiga dan bergabung di kelas kami. Meskipun kami teman baik, kami pun terkadang berselisih bahkan pernah sekali berkelahi.

Suatu hari, ia membaca sebuah buku kecil yang sudah tua dan tak bersampul lagi. Aku tertarik dan minta dipinjamkan sebentar. Ketika membaca sepintas, aku menemukan ada kisah perang. Perang Uhud dan Perang Badar. Aku makin tertarik karena memang aku suka dengan ceritera-ceritera perang dengan kisah-kisah pahlawannya yang perkasa. Karena itu aku minta dipinjamkan untuk beberapa hari. Rupanya buku kecil ini buku pelajaran agama Islam. Selama hari-hari itu  aku mempelajari isi buku ini. Dasar-dasar agama Islam, kelima rukun Islam, para tokoh-tokohnya sampai-sampai kalimat shahadah dan Alfatihanya. Bahkan tahun kelahiran dan meninggal tokoh penganjur agama besar inipun tak pernah kulupakan. Sementara di kampung kami, baik di Uluanso Tua maupun Uluanso di pengungsian, ketika itu pihak gereja belum pernah membuka pelayanan khusus untuk anak-anak seperti Sekolah Minggu. Ibadah minggu hanya diikuti oleh orang-orang dewasa dan remaja. Sedang untuk anak-anak kecil tidak ada. Namun mereka boleh ikut orangtua. Seingatku, hanya beberapa kali aku ikut beribadah dengan orangtua. Yang paling kuingat, karena sangat berkesan, ketika bersama ayah  mengikuti ibadah minggu yang dipimpin Guru Jumat yang adalah kemanakan ayah sendiri.

Mengapa sangat berkesan, karena ketika sedang berkhotbah, dari rumah kemanakan ayah ini terdengar jelas tangisan  meratap isterinya sebagai tanda putri kedua mereka yang sedang sakit keras baru saja menghembuskan napas yang penghabisan. Rumah mereka memang pas di belakang gereja. Yang kukagumi, adalah ketabahan dari kakak sepupu ini. Meski mendengar ratap raungan nyaring isterinya yang diikuti suara ibu-ibu lainnya, tetap saja beliau melanjutkan khotbahnya bahkan memimpin ibadah sampai selasai. Seperti tidak terjadi apa-apa. Malahan, jemaat yang nampak gelisah dan saling berpandangan.

Ketika masuk SMP, baru saat itulah aku mulai mengikuti layanan pendidikan agama. Setiap minggu kami anak-anak remaja bergabung dengan anak-anak dari kampung sekitar Beteleme  diharuskan mengikuti pelajaran agama Kristen (katekisasi) di Beteleme, dipimpin gembala Klasis. Kebetulan saat itu Ketua Klasisnya kak Laisima dari Uluanso. Sudah diprogramkan, dua lulusan dengan niai tertinggi  dari tiap kampung akan diutus mengikuti pendidikan agama lanjutan di pusat pendidikan Kristen Sinode GKST di Tentena. Setelah tamat akan ditahbiskan menjadi Guru Jemaat di kampung asalnya. Aku termasuk saah satu yang terpilih.  Sedangkan lulusan dengan nilai tertinggi Nely, putri sulung dari  Guru Jemaat Uluanso yang anaknya meninggal ketika sedang berkhotbah seperti diceriterakan di atas.

Tetapi sebelum penetapan itu keluar, aku sudah mempunyai kesepakatan dengan kakak perempuanku yang tinggal di Poso untuk pindah menyelesaikan pendidikan SMP yang tinggal setahun lagi di Poso. Maka akhirnya aku digantikan oleh Ale Ladou peserta urutan berikutnya. Di satu sisi, sering muncul pertanyaan menggelisahkan di hati kecilku, apakah keputusanku ini bukan suatu dosa pengingkaran atas rencana dan panggilan Tuhan seperti yang dilakukan  Nabi Yunus ??

         Bagaimana peran para orangtua dalam pendidikan agama di masa itu ? Ceritera-ceritera sejarah suku Bahono yang baru terungkap kemudian menyatakan, sosialisasi agama Kristen di kala itu memang baru saja dimulai.

Ketika masyarakat Bahono masih di bawah kendali hukum adat, pada mulanya Ue Lagasi, kepala suku yang juga suami nenekku dari pihak ibu, menolak dan melarang warganya mengikuti agama Kristen. Itu adalah rentetan dari peristiwa semasa orang Bahono masih berdiam di benteng pertahahan Pa’ano. Pihak Belanda yang ketika itu baru saja memenangkan perang melawan Raja Mori, Marunduh, bermaksud menemui kepala Suku Bahono untuk pembicaraan damai. Tetapi ketika mendekati benteng, pasukan Belanda melepaskan tembakan sehingga terjadi kontak senjata.  Posisi laskar Bahono di atas benteng lebih baik. Mereka berhasil memukul mundur musuh dan sejak itu mereka tak muncul-muncul lagi. Setelah Belanda menjamin tak ada lagi perang suku, akhirnya suku Bahono bersedia turun gunung lalu membangun kampung baru di Lintumewure, tidak jauh dari kampung Nuha. Sampai saat itu Ue Lagasi belum mengijinkan warga Bahono masuk Kristen dan melarang anak-anak mereka masuk sekolah. Alasannya nanti mereka diperdaya Belanda dan dibawa ke negeri mereka. ***

 

 

 

JEJAK SEBAGAI PENGIKUT KRISTUS : (1) DIBAWAH BAYANG-BAYANG AGAMA LAHUMOA

Sampai usia kelas dua SR (SD) di Tanah Mori tempat kelahiranku, aku tidak begitu paham tentang agama. Tetapi ada yang sering disebut-sebut keluargaku, “moagama”. Munurut Woenta Pebahoa (surat pernandian), aku lahir 3 April 1944 di Oeloeanso Onder afdeling Kolonodale Central Celebes. 

Ayah dan ibu serta kakak-kakakku setiap Sabtu malam pergi ‘moagama”di gereja yang juga digunakan sebagai sekolah pada hari-hari biasa. Belakangan baru kutahu kalau  moagama itu berarti sebagai ibadah persiapan memasuki Ibadah Minggu besoknya.

Agama itu rupanya menyangkut kepercayaan. Kepercayaan dan ibadat kepada Penguasa Tertinggi yang tak terlihat. Yang dalam agama Kristen adalah Allah, pencipta langit dan bumi beserta segala isinya.

Namun di kalangan suku Bahono saat itu masih sering juga disebut-sebut Lahumoa. Dewa penguasa misterius yang konon berdiam di suatu gua pegunungan angker yang tak terhampiri karena diselimuti hutan rimbah di bagian selatan Tanah Bahono. Padahal, atas pengaruh kakekku Ue Lagasi yang Kepala Suku, seluruh warga kampung Uluanso baru saja mengikuti babtis massal di sungai Uluanso.

Menyebut nama Lahumoa, orang bisa merinding. Karena semua orang takut akan kuasanya. Ia dipercaya mampu memberi keberuntungan, tetapi juga musibah bagi mereka yang melakukan pelanggaran aturan-aturan berperilaku baik. Ia juga mampu memberi kesembuhan bagi yang sakit melalui ramuan-ramuan minuman disertai ucapan mantera-mantera. Bahkan konon, orang mati di hutanpun dapat dituntun pulang sendiri ke rumah dengan mantera. Dengan syarat jangan ada yang menegurnya di jalan.

Disamping dewa Lahumoa menurut ceritera-ceritera rakyat Bahono tempo dulu, ada pula mahluk yang sering disebut Kalamboro. Wujud Kalamboro sama seperti manusia. Tetapi bertubuh raksasa, dapat muncul dan menghilang tiba-tiba. Kurang jelas, apa kerja Kalamboro ini dan bagaimana hubungannya dengan dewa Lahumoa.

Selain itu ada lagi mahluk-mahluk pengiring dewa Lahumoa yang disebut Rani. Konon mereka sering muncul dalam wujud gadis jelita di saat malam bulan penuh, purnama terang. Menyanyi diatas pohon dan bisa terbang. Biasanya mereka muncul di atas tangga para penyadap pohon aren. Para anak muda diingatkan agar jangan sampai tergoda atau coba-coba menggoda mereka sebab bisa dibawa terbang dan tak kembali lagi.

Ada lagi yang disebut Onitu. Onitu adalah arwah atau roh dari orang yang sudah meninggal. Ada yang baik dan ada pula yang jahat. Adakalanya mereka menampakkan diri menolong orang lalu menghilang. Atau berbicara melalui seseorang yang masih hidup. Yang ditakuti adalah yang jahat. Mereka suka menyesatkan orang. Alam sadar seseorang diubah lalu dibawa ke suatu tempat yang begitu indah dan ramai. Ayah saya sendiri pernah mengalaminya dan sakit sesudah merambah hutan pohon lengaru untuk dibuat ladang. Seorang anak famili juga pernah hilang dua hari ditemukan duduk  dibawa pohon di sebuah hutan dalam kondisi lemah. Setelah  membaik ia menceriterakan diajak seseorang ke suatu tempat yang indah. Menemukan orang-orang hilang seperti ini biasanya dilakukan dengan pertolongan dukun.

Critera-ceritera mengenai dewa Lahumoa ini pertama-tama kudengar dari ibuku sendiri. Lalu bertambah dengan  ceritera-ceritera seram dari mulut ke mulut. Ketika itu aku mendengar saja. Tetapi kenyataannya, ayah sendiri nampaknya terkadang melakukan sesuatu yang berkaitan dengan kepercayaan itu. Meskipun beliau bukan dukun, namun ia kerap melakukan pengobatan dengan mantera-manteranya. Aku sendiri kalau sakit kerap diobati beliau. Ia memilih beberapa butir beras yang masih utuh tak terpotong, mengunyanya sampai halus lalu disembur-semburkannya di sepanjang punggungku sambil membaca mantera. Kemudian ia memasukan sekeping benda seperti mata uang kecil dalam mulutnya kemudian memasukannya ke dalam botol warna putih. Juga sambil membaca mantera. Mulut botol kemudian ditutup dengan secarik kain putih. Aku disuruhnya untuk minum tiga kali sehari dengan menghadap ke arah matahari terbenam.

Bukan itu saja. Ayah, juga masih menurut ceritera ibu, kerap pergi memancing  wiku, yaitu ikan moa besar di kali. Hanya  dengan membawa lipan sebagai umpan, tombak  di tangan dan membaca mantera. Dengan cara itu, binatang-binatang air itu akan berdatangan sendiri. Dan ayah tinggal memilih yang disukainya dengan menggunakan tombak besi kecil bermata tiga yang masing-masing memiliki dua kait. Konon, ketika mantera-mantera itu dibacakan, harus dipastikan tak seorang wanitapn sedang mandi di hilir. Sebab kalau tidak akan termakan mantera dan ia akan mengikuti sampai ke rumah.

Pernah juga seorang ibu datang menangis ke rumah meminta bantuan ayah untuk menenangkan anak laki-lakinya yang masih berusia sekitar lima tahun. Anak itu seperti dikuasai roh halus. Ayah terus pergi dan ketika menghampiri anak itu, ia melarikan diri sehingga ayah harus mengejarnya. Menyeberang sungai Laa yang ketika itu mulai banjir karena hujan. Untunglah anak itu segera dapat dikuasainya sebelum memasuki hutan pegunungan kearah Sosoninggi.

Setiap memulai pemotongan padi, agaknya ayah dan ibu terlebih dahulu melakukan ritual di satu tempat di mana pemanenan akan dimuai. Rupanya pemilihan tempat itu tidak boleh sembarangan. Pernah suatu ketika ritual itu mereka ulangi di rempat lain. Karena kata ibu, mereka memanen seperti berjalan cepat, tetapi hasilnya tak kelihatan. Aku minta ijin ikut, ingin tahu seperti apa ritual itu, Tetapi ibu tak mengijinkan.

Selain dari hidup keseharian keluarga kami, pengaruh kuat kepercayaan pada dewa Lahmoa pada masa transisi ke agama Kristen itu terasa  juga dalam kehidupan keseluruhan masyarakat Bahono. Terjadinya peristiwa pencurian atau monako hampir tak pernah terdengar. Bahkan kalau ada orang menggeletakkan barang berharga untuk sementara di pinggir jalan – dan di atasnya ada “lewe mata”, maka tak akan seorangpun berani menyentuh apalagi mengambilnya. Lewe mata atau daun muda, adalah sepotong ujung ranting tanaman yang masih segar. Semua orang masa itu percaya, barang yang disertai lewe mata berada dalam lindungan dewa Lahumoa dan ada penunggunya. Bila ada yang bukan pemiliknya berani mengambilnya, maka tinggal tunggu saja, ia akan mendapat musibah.

Sama halnya dengan kepercayaan pada ombo. Ombo adalah semacam ramuan yang ditaruh dalam botol kecil kemudian digantung pada pohon buah-buahan. Biasanya pada pohon jambu air. Diyakini, orang yang berani memetik dan memakan buah pohon yang ada ombonya tak lama kemudian akan sakit perut. Ususnya akan membusuk. Umumnya anak-anak tahu pantangan ini sehingga tak kan berani menyentuh buah itu sekalipun nampak sangat menggiurkan.

Tak heran kalau di kampung kami, Uluanso dan Kumpi tempat pemukiman orang Bahono di masa itu sangat tenteram dan damai. Jarang terdengar ada tindak kriminal. Paling banter, kasus perselisihan rumah. Dan ada pengadilan adat yang akan menyelesaikannya. Setiap perbuatan tak menyenangkan akan sanksinya. Ucapan tak sopan kepada orang lain, apalagi terhadap orang tua atau yang dihormati ada sanksinya. Umumnya berupa denda. Seperti kain pelekat, hewan ternak atau rumpun tananam tahunan. Belum ada denda berupa uang. Memukul dengan tangan atau menendang ada sanksinya masing-masing. Aku tahu karena ayahku termasuk wakil ketua adat. Beliau juga sering disapa “Mandoro Mota’u”, artinya Mandor Sepuh. Dalam susunan pemerintahan ketika itu, pimpinan pemerintagan kampung adalah Kepala Kampung. Sebelum jaman menjajahan, masyarakat Bahono dipimpin seorang kepala Suku yang disebut Petewawo, artinya penghulu. Kepala Suku terakhir masyarakast Bahono adalah Ue Lagasi. Dan ibuku adalah puteri satu-satunya dan bungsu dari ketiga bersaudara.   Dalam susunan pemerintahan baru itu ayah ditunjuk menjadi Mandor mendampingi Ue Malotu Kelo tokoh adat berpengaruh sebagai Kepala Kampung. Beliau tersebut terakhir ini kelak menjadi Ketua Adat dengan ayah sebagai wakilnya.

Dengan kuatnya tradisi adat ini, maka di masa itu di lingkungan suku Bahono tak pernah ada yang namanya polisi, apalagi tentara. TNI baru ada setelah mulai ada gangguan-gangguan gerombolan bersenjata yang datang dari Sulawesi Selatan di awal tahun 50-an. Dokter atau mantri kesehatanpun tak pernah ada. Semua warga mengandalkan pengobatan tradisional. Masyarakat Bahono sangat paham segala jenis tumbuhan yang berkhasiat untuk kesahatan. ***


Contact Form

Name

Email *

Message *