Saturday, February 13, 2021

JEJAK MENGIKUT KRISTUS : (4) MENJAUH DARI KRISTUS, MASUK RUMAH SAKIT

M

ulai bekerja dan kuliah di Jakarta, kegiatan ibadahku jadi berkurang. Kalau selama sekolah di SMP dan SMA di Poso aku setiap ibadah minggu hampir tak pernah kulewatkan, maka di Jakarta menjadi terbilang jarang. Aku memang mendaftarkan diri sebagai warga jemaat di GPIB Ebenhaezer Jalan Kramat VII Jakarta karena memang dekat dari Jalan Paseban Jakarta Pusat, tempat tinggal kami karyawan bujangan Harian Pelopor, perusahaan suratkabar  yang dipimpin Bp.JK. Tumakaka. Biar terbilang dekat, namun aku jarang bisa ikut ibadah, termasuk Ibadah Minggu. Padahal sebenarnya ada juga kerinduan ingin ikut aktif, seperti ikut Paduan Suara pemuda.

Waktu kerja malam hari dari sore sampai pagi lalu sambung kuliah pagi atau praktikum kimia dan biologi sampai sore, membuat waktu istrahat tidur sangat kurang. Sejak Tingkat Persiapan, Drs. Abdul Mu’in asisten dosen Biokogi kami di Fakultas Farmasi Universitas Pancasila Jalan Borobudur Jakarta, memang sering-sering memboyong kami mengikuti kuliah di ruang kuliah  Microbiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia  Jalan Cikini. Kelak beliau terkenal sebagai ahli forensik di FKUI.

Hari Minggu sebagai hari libur. Saat itulah waktu yang tersedia untuk tidur istrahat panjang  seharian. Ketika umat sedang ibadah di gereja, pada jam-jam itu  aku malah  mungkin masih tertidur pulas. Dan berbarengan dengan itu kondisi kesehatanku pun terasa makin menurun. Sampai akhirnya aku benar-benar sakit. Semula aku mengira ini hanya sakit biasa. Tetapi  kemudian , aku sadar  barangkali ini adalah bagian dari cara Tuhan untuk memproses ku setelah aku cenderung mulai menjauh dari Dia.

Kakak kandungku anggota TNI dari Devisi Siliwangi Sukabumi meminta saudara sepupu kami yang tengah mengikuti pendidikan Calon Perwira Polisi di Sukabumi  membantu agar aku bisa dirawat di rumahsakit. Kakak sendiri  ketika itu sedang dikonsinyir bersama pasukannya di Bandung. Dipersiapkan untuk  berangkat ke Pakanbaru,  garis depan perang dingin berhadapan dengan  pasukan Inggeris dan Malaysia di Singapura. Ketika itu Indonesia dan Malaysia memang sedang berkonfrontasi.

Setengah memaksa polisi, salah satu putra kakak tertua ibuku ini membawaku ke Rumahsakit Fatmawati Cilandak. Ketika itu Jakarta nampak sedang terbakar. Para demonstran anti komunis rupanya  masih marah. Mereka melakukan aksi pembakaran gedung-gedung bekas kantor PKI setelah partai yang gagal melakukan pemberontakan pada akhir September 1965 itu dibubarkan.

Entah berapa lama aku dirawat di sana. Mungkin dua bulan. Tidak pernah lihat kalender. Di luar dugaan, penyakitku ternyata menurut hasil pemeriksaan laboratorium, cukup berat. Aku mengira hanya malaria yang sering kualami di masa SD dahulu kambuh lagi. Ternyata ada turberkulosenya. Bukan itu saja. Bagian dalam tubuhku telah parah digerogoti Typhus. Typhus  Abdominalis yang cukup berbahaya. Pantas saja perutku selalu sakit. Kala ke  belakang, hanya darah yang keluar. Demam tinggi disusul suhu badan entah berapa derajat dan sakit kepala. Heran, aku sering bermandi keringat. Berapa kali aku harus pindah-pindah   tempat tidur karena kasurku seketika basah kuyup lagi.

Aku harus menjalani diet berat. Setiap hari hanya diberi jus pepaya dan semangkok kecil seperti bubur susu. Dan itupun terkadang tak kusentuh sama sekali karena memang tak ada nafsu makan. Makin lama tubuhku makin menyusut. Sampai suatu hari  kulihat lengan tanganku seperti tinggal tulang berbalut kulit. Kondisi kesehatanku seperti ini tak pernah kukabarkan kepada keluarga di kampung bahkan sengaja kurahasiakan. Sekali dua ada famili di Jakarta datang mengunjungiku. Kepada mereka kuminta untuk tak mengabarkannya ke sana. Aku tak ingin ibu, orangtuaku yang tinggal satu-satunya,  jadi sedih berkepanjangan pada masa tuanya karena memikirkanku.***

 

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *