Thursday, February 11, 2021

JEJAK SEBAGAI PENGIKUT KRISTUS : (1) DIBAWAH BAYANG-BAYANG AGAMA LAHUMOA

Sampai usia kelas dua SR (SD) di Tanah Mori tempat kelahiranku, aku tidak begitu paham tentang agama. Tetapi ada yang sering disebut-sebut keluargaku, “moagama”. Munurut Woenta Pebahoa (surat pernandian), aku lahir 3 April 1944 di Oeloeanso Onder afdeling Kolonodale Central Celebes. 

Ayah dan ibu serta kakak-kakakku setiap Sabtu malam pergi ‘moagama”di gereja yang juga digunakan sebagai sekolah pada hari-hari biasa. Belakangan baru kutahu kalau  moagama itu berarti sebagai ibadah persiapan memasuki Ibadah Minggu besoknya.

Agama itu rupanya menyangkut kepercayaan. Kepercayaan dan ibadat kepada Penguasa Tertinggi yang tak terlihat. Yang dalam agama Kristen adalah Allah, pencipta langit dan bumi beserta segala isinya.

Namun di kalangan suku Bahono saat itu masih sering juga disebut-sebut Lahumoa. Dewa penguasa misterius yang konon berdiam di suatu gua pegunungan angker yang tak terhampiri karena diselimuti hutan rimbah di bagian selatan Tanah Bahono. Padahal, atas pengaruh kakekku Ue Lagasi yang Kepala Suku, seluruh warga kampung Uluanso baru saja mengikuti babtis massal di sungai Uluanso.

Menyebut nama Lahumoa, orang bisa merinding. Karena semua orang takut akan kuasanya. Ia dipercaya mampu memberi keberuntungan, tetapi juga musibah bagi mereka yang melakukan pelanggaran aturan-aturan berperilaku baik. Ia juga mampu memberi kesembuhan bagi yang sakit melalui ramuan-ramuan minuman disertai ucapan mantera-mantera. Bahkan konon, orang mati di hutanpun dapat dituntun pulang sendiri ke rumah dengan mantera. Dengan syarat jangan ada yang menegurnya di jalan.

Disamping dewa Lahumoa menurut ceritera-ceritera rakyat Bahono tempo dulu, ada pula mahluk yang sering disebut Kalamboro. Wujud Kalamboro sama seperti manusia. Tetapi bertubuh raksasa, dapat muncul dan menghilang tiba-tiba. Kurang jelas, apa kerja Kalamboro ini dan bagaimana hubungannya dengan dewa Lahumoa.

Selain itu ada lagi mahluk-mahluk pengiring dewa Lahumoa yang disebut Rani. Konon mereka sering muncul dalam wujud gadis jelita di saat malam bulan penuh, purnama terang. Menyanyi diatas pohon dan bisa terbang. Biasanya mereka muncul di atas tangga para penyadap pohon aren. Para anak muda diingatkan agar jangan sampai tergoda atau coba-coba menggoda mereka sebab bisa dibawa terbang dan tak kembali lagi.

Ada lagi yang disebut Onitu. Onitu adalah arwah atau roh dari orang yang sudah meninggal. Ada yang baik dan ada pula yang jahat. Adakalanya mereka menampakkan diri menolong orang lalu menghilang. Atau berbicara melalui seseorang yang masih hidup. Yang ditakuti adalah yang jahat. Mereka suka menyesatkan orang. Alam sadar seseorang diubah lalu dibawa ke suatu tempat yang begitu indah dan ramai. Ayah saya sendiri pernah mengalaminya dan sakit sesudah merambah hutan pohon lengaru untuk dibuat ladang. Seorang anak famili juga pernah hilang dua hari ditemukan duduk  dibawa pohon di sebuah hutan dalam kondisi lemah. Setelah  membaik ia menceriterakan diajak seseorang ke suatu tempat yang indah. Menemukan orang-orang hilang seperti ini biasanya dilakukan dengan pertolongan dukun.

Critera-ceritera mengenai dewa Lahumoa ini pertama-tama kudengar dari ibuku sendiri. Lalu bertambah dengan  ceritera-ceritera seram dari mulut ke mulut. Ketika itu aku mendengar saja. Tetapi kenyataannya, ayah sendiri nampaknya terkadang melakukan sesuatu yang berkaitan dengan kepercayaan itu. Meskipun beliau bukan dukun, namun ia kerap melakukan pengobatan dengan mantera-manteranya. Aku sendiri kalau sakit kerap diobati beliau. Ia memilih beberapa butir beras yang masih utuh tak terpotong, mengunyanya sampai halus lalu disembur-semburkannya di sepanjang punggungku sambil membaca mantera. Kemudian ia memasukan sekeping benda seperti mata uang kecil dalam mulutnya kemudian memasukannya ke dalam botol warna putih. Juga sambil membaca mantera. Mulut botol kemudian ditutup dengan secarik kain putih. Aku disuruhnya untuk minum tiga kali sehari dengan menghadap ke arah matahari terbenam.

Bukan itu saja. Ayah, juga masih menurut ceritera ibu, kerap pergi memancing  wiku, yaitu ikan moa besar di kali. Hanya  dengan membawa lipan sebagai umpan, tombak  di tangan dan membaca mantera. Dengan cara itu, binatang-binatang air itu akan berdatangan sendiri. Dan ayah tinggal memilih yang disukainya dengan menggunakan tombak besi kecil bermata tiga yang masing-masing memiliki dua kait. Konon, ketika mantera-mantera itu dibacakan, harus dipastikan tak seorang wanitapn sedang mandi di hilir. Sebab kalau tidak akan termakan mantera dan ia akan mengikuti sampai ke rumah.

Pernah juga seorang ibu datang menangis ke rumah meminta bantuan ayah untuk menenangkan anak laki-lakinya yang masih berusia sekitar lima tahun. Anak itu seperti dikuasai roh halus. Ayah terus pergi dan ketika menghampiri anak itu, ia melarikan diri sehingga ayah harus mengejarnya. Menyeberang sungai Laa yang ketika itu mulai banjir karena hujan. Untunglah anak itu segera dapat dikuasainya sebelum memasuki hutan pegunungan kearah Sosoninggi.

Setiap memulai pemotongan padi, agaknya ayah dan ibu terlebih dahulu melakukan ritual di satu tempat di mana pemanenan akan dimuai. Rupanya pemilihan tempat itu tidak boleh sembarangan. Pernah suatu ketika ritual itu mereka ulangi di rempat lain. Karena kata ibu, mereka memanen seperti berjalan cepat, tetapi hasilnya tak kelihatan. Aku minta ijin ikut, ingin tahu seperti apa ritual itu, Tetapi ibu tak mengijinkan.

Selain dari hidup keseharian keluarga kami, pengaruh kuat kepercayaan pada dewa Lahmoa pada masa transisi ke agama Kristen itu terasa  juga dalam kehidupan keseluruhan masyarakat Bahono. Terjadinya peristiwa pencurian atau monako hampir tak pernah terdengar. Bahkan kalau ada orang menggeletakkan barang berharga untuk sementara di pinggir jalan – dan di atasnya ada “lewe mata”, maka tak akan seorangpun berani menyentuh apalagi mengambilnya. Lewe mata atau daun muda, adalah sepotong ujung ranting tanaman yang masih segar. Semua orang masa itu percaya, barang yang disertai lewe mata berada dalam lindungan dewa Lahumoa dan ada penunggunya. Bila ada yang bukan pemiliknya berani mengambilnya, maka tinggal tunggu saja, ia akan mendapat musibah.

Sama halnya dengan kepercayaan pada ombo. Ombo adalah semacam ramuan yang ditaruh dalam botol kecil kemudian digantung pada pohon buah-buahan. Biasanya pada pohon jambu air. Diyakini, orang yang berani memetik dan memakan buah pohon yang ada ombonya tak lama kemudian akan sakit perut. Ususnya akan membusuk. Umumnya anak-anak tahu pantangan ini sehingga tak kan berani menyentuh buah itu sekalipun nampak sangat menggiurkan.

Tak heran kalau di kampung kami, Uluanso dan Kumpi tempat pemukiman orang Bahono di masa itu sangat tenteram dan damai. Jarang terdengar ada tindak kriminal. Paling banter, kasus perselisihan rumah. Dan ada pengadilan adat yang akan menyelesaikannya. Setiap perbuatan tak menyenangkan akan sanksinya. Ucapan tak sopan kepada orang lain, apalagi terhadap orang tua atau yang dihormati ada sanksinya. Umumnya berupa denda. Seperti kain pelekat, hewan ternak atau rumpun tananam tahunan. Belum ada denda berupa uang. Memukul dengan tangan atau menendang ada sanksinya masing-masing. Aku tahu karena ayahku termasuk wakil ketua adat. Beliau juga sering disapa “Mandoro Mota’u”, artinya Mandor Sepuh. Dalam susunan pemerintahan ketika itu, pimpinan pemerintagan kampung adalah Kepala Kampung. Sebelum jaman menjajahan, masyarakat Bahono dipimpin seorang kepala Suku yang disebut Petewawo, artinya penghulu. Kepala Suku terakhir masyarakast Bahono adalah Ue Lagasi. Dan ibuku adalah puteri satu-satunya dan bungsu dari ketiga bersaudara.   Dalam susunan pemerintahan baru itu ayah ditunjuk menjadi Mandor mendampingi Ue Malotu Kelo tokoh adat berpengaruh sebagai Kepala Kampung. Beliau tersebut terakhir ini kelak menjadi Ketua Adat dengan ayah sebagai wakilnya.

Dengan kuatnya tradisi adat ini, maka di masa itu di lingkungan suku Bahono tak pernah ada yang namanya polisi, apalagi tentara. TNI baru ada setelah mulai ada gangguan-gangguan gerombolan bersenjata yang datang dari Sulawesi Selatan di awal tahun 50-an. Dokter atau mantri kesehatanpun tak pernah ada. Semua warga mengandalkan pengobatan tradisional. Masyarakat Bahono sangat paham segala jenis tumbuhan yang berkhasiat untuk kesahatan. ***


No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *