Thursday, February 11, 2021

JEJAK SEBAGAI PENGIKUT KRISTUS :(2) PERTAMA MENGENAL ALKITAB


D

alam lingkungan keluarga berlatar belakang adat tradisional ini, aku sama sekali tak pernah mendapatkan pelajaran agama. Tak pernah mendengar ajaran tentang Yesus atau Alkitab. Memang pernah bersama kakak-kakaku membuka-buka sebuah buku dengan kulit tebal dan isinya ada gambar-gambar berwarna. Rupanya  buku itu berisi kisah-kisah  Alkitab Perjanjian Lama dan berjudul “Toetoeloedo Mia nse’elu” . Terjemahan bebasnya, “Ceritera Orang-orang Jaman Dahulu kala”.  Ada gambar seperti pelangi di sana dan dibawahnya ada sederetan tahta. Di tengah-tengah tahtanya lebih besar yang diduduki seseorang yang memakai mahkota. Nampak juga gua besar yang dinding-dindingnya dihiasi gambar-gambar. Belakangan baru kukenal itu adalah katakombe, tempat penyimpanan jenasah-jenasah jaman dahulu.

Suatu ketika aku ikut seorang kakak sepupu ke ke kebun mereka. Minggu pagi kami berangkat menuju kampung Uluanso dengan menunggang seekor kerbau. Aku duduk di belakang. Karena kami harus duduk rapat, kalambi  atau ransel rotan  milik kakak sepupu ini dipakaikan di punggungku. Ketika menyeberang kali kecil, kerbau yang kami tunggangi tergelincir di sebuah batu licin sehingga terjatuh. Kami basah kuyup. Demikian juga kalambi dipunggungku. Sampai di kampung, kakak sepupu ini dimarahi ibunya karena “Wunta Tutulu”nya basah. Tetapi kakak sepupu ini menyalahkanku sehingga akupun ikut dipelototi ibunya. Beliau adalah  isteri kemanakan ibuku. Wunta Tutulu, yang dalam pengertian harfiahnya berarti Buku Ceritera, adalah Kitah Suci, Alkitab.

Pengenalan kedua pada Alkitab, ketika semua warga kampung Uluanso sudah dalam pengungsian di bagian selatan kampung Beteleme. Ketika sedang belajar bersama di rumah teman sepupuku yang lain, dari laci bukunya kutemukan sebuah buku tebal dengan kulit warna hitam. Judulnya, “DANDI WO’UHU” tertulis dengan warna kuning keemasan. Dandi Wo’ohu, dari bahasa Mori berarti Perjanjian Baru. Dan itu memang buku Alkitab Perjanjian Baru dalam bahasa Mori. Saat itulah kali pertama aku membuka-buka Alkitab dan membaca beberapa ayat. Karena di rumah aku belum pernah melihat apalagi membaca Alkitab. Padahal ketika itu aku sudah duduk di kelas 5 SD Sekolah Kristen !. Di sekolah, baik  ketika masih di Uluanso Tua maupun di SR 6 Tahun di Tinompo lalu di SD Beteleme tak pernah diajari mata pelajaran agama Kristen ataupun ceritera-ceritera agama. Ini aneh. Waktu di Ulu’anso Tua, guru kami memang giat sekali melatih dan mengajari kami lagu-lagu Nyanyian Rohani yang sudah dalam bahasa Indonesia. Bahkan hampir semua lagu dari buku kidung rohani berisi 100 lagu itu dapat kami nyanyikan tanpa teks. Tetapi entah mengapa kisah-kisah di Alkitab tak pernah diceriterakan.

Di SR GKST Tinompo ketika itu malah ada mata pelajaran mendongeng. Guru kami ada yang  sering menceriterakan dongeng menyeramkan. Bahkan kami murid-murid kadang kala didorong juga ikut mendongeng di depan kelas. Memang menjelang akhir minggu, kami semua murid-murid dari kelas satu sampai kelas enam, dikumpulkan di dua ruangan kelas paling tengah. Semua mengarah ke pintu terbuka yang menghubungkan kedua kelas. Disitu berdiri salah seorang guru memimpin ibadah. Mulai dari menyanyikan  lagu puji-pujian dari kitab Nyanyian Rohani , membaca Kitab Suci, khotbah singkat dan berdoa.

Anehnya lagi, di sini pula untuk pertama kalinya aku mulai mengenal ajaran Islam. Bahkan sampai bisa menghafal kalimat shahadat. Awalnya, ada satu keluarga suku Bugis pindah ke kampung Tinompo. Rumah baru keluarga ini pas berhadapan dengan sekoah kami. Satu-satunya sekolah di Tinompo dan kampung-kampung sekitarnya hanya SR Kristen 6 Tahun ini. Maka kedua anak laki-laki keluarga muslim inipun diberi dispensasi boleh melanjutkan sekolah mereka bersama kami. Yang sulung sudah naik kelas tiga dan bergabung di kelas kami. Meskipun kami teman baik, kami pun terkadang berselisih bahkan pernah sekali berkelahi.

Suatu hari, ia membaca sebuah buku kecil yang sudah tua dan tak bersampul lagi. Aku tertarik dan minta dipinjamkan sebentar. Ketika membaca sepintas, aku menemukan ada kisah perang. Perang Uhud dan Perang Badar. Aku makin tertarik karena memang aku suka dengan ceritera-ceritera perang dengan kisah-kisah pahlawannya yang perkasa. Karena itu aku minta dipinjamkan untuk beberapa hari. Rupanya buku kecil ini buku pelajaran agama Islam. Selama hari-hari itu  aku mempelajari isi buku ini. Dasar-dasar agama Islam, kelima rukun Islam, para tokoh-tokohnya sampai-sampai kalimat shahadah dan Alfatihanya. Bahkan tahun kelahiran dan meninggal tokoh penganjur agama besar inipun tak pernah kulupakan. Sementara di kampung kami, baik di Uluanso Tua maupun Uluanso di pengungsian, ketika itu pihak gereja belum pernah membuka pelayanan khusus untuk anak-anak seperti Sekolah Minggu. Ibadah minggu hanya diikuti oleh orang-orang dewasa dan remaja. Sedang untuk anak-anak kecil tidak ada. Namun mereka boleh ikut orangtua. Seingatku, hanya beberapa kali aku ikut beribadah dengan orangtua. Yang paling kuingat, karena sangat berkesan, ketika bersama ayah  mengikuti ibadah minggu yang dipimpin Guru Jumat yang adalah kemanakan ayah sendiri.

Mengapa sangat berkesan, karena ketika sedang berkhotbah, dari rumah kemanakan ayah ini terdengar jelas tangisan  meratap isterinya sebagai tanda putri kedua mereka yang sedang sakit keras baru saja menghembuskan napas yang penghabisan. Rumah mereka memang pas di belakang gereja. Yang kukagumi, adalah ketabahan dari kakak sepupu ini. Meski mendengar ratap raungan nyaring isterinya yang diikuti suara ibu-ibu lainnya, tetap saja beliau melanjutkan khotbahnya bahkan memimpin ibadah sampai selasai. Seperti tidak terjadi apa-apa. Malahan, jemaat yang nampak gelisah dan saling berpandangan.

Ketika masuk SMP, baru saat itulah aku mulai mengikuti layanan pendidikan agama. Setiap minggu kami anak-anak remaja bergabung dengan anak-anak dari kampung sekitar Beteleme  diharuskan mengikuti pelajaran agama Kristen (katekisasi) di Beteleme, dipimpin gembala Klasis. Kebetulan saat itu Ketua Klasisnya kak Laisima dari Uluanso. Sudah diprogramkan, dua lulusan dengan niai tertinggi  dari tiap kampung akan diutus mengikuti pendidikan agama lanjutan di pusat pendidikan Kristen Sinode GKST di Tentena. Setelah tamat akan ditahbiskan menjadi Guru Jemaat di kampung asalnya. Aku termasuk saah satu yang terpilih.  Sedangkan lulusan dengan nilai tertinggi Nely, putri sulung dari  Guru Jemaat Uluanso yang anaknya meninggal ketika sedang berkhotbah seperti diceriterakan di atas.

Tetapi sebelum penetapan itu keluar, aku sudah mempunyai kesepakatan dengan kakak perempuanku yang tinggal di Poso untuk pindah menyelesaikan pendidikan SMP yang tinggal setahun lagi di Poso. Maka akhirnya aku digantikan oleh Ale Ladou peserta urutan berikutnya. Di satu sisi, sering muncul pertanyaan menggelisahkan di hati kecilku, apakah keputusanku ini bukan suatu dosa pengingkaran atas rencana dan panggilan Tuhan seperti yang dilakukan  Nabi Yunus ??

         Bagaimana peran para orangtua dalam pendidikan agama di masa itu ? Ceritera-ceritera sejarah suku Bahono yang baru terungkap kemudian menyatakan, sosialisasi agama Kristen di kala itu memang baru saja dimulai.

Ketika masyarakat Bahono masih di bawah kendali hukum adat, pada mulanya Ue Lagasi, kepala suku yang juga suami nenekku dari pihak ibu, menolak dan melarang warganya mengikuti agama Kristen. Itu adalah rentetan dari peristiwa semasa orang Bahono masih berdiam di benteng pertahahan Pa’ano. Pihak Belanda yang ketika itu baru saja memenangkan perang melawan Raja Mori, Marunduh, bermaksud menemui kepala Suku Bahono untuk pembicaraan damai. Tetapi ketika mendekati benteng, pasukan Belanda melepaskan tembakan sehingga terjadi kontak senjata.  Posisi laskar Bahono di atas benteng lebih baik. Mereka berhasil memukul mundur musuh dan sejak itu mereka tak muncul-muncul lagi. Setelah Belanda menjamin tak ada lagi perang suku, akhirnya suku Bahono bersedia turun gunung lalu membangun kampung baru di Lintumewure, tidak jauh dari kampung Nuha. Sampai saat itu Ue Lagasi belum mengijinkan warga Bahono masuk Kristen dan melarang anak-anak mereka masuk sekolah. Alasannya nanti mereka diperdaya Belanda dan dibawa ke negeri mereka. ***

 

 

 

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *