Friday, February 12, 2021

JEJAK SEBAGAI PENGIKUT KRISTUS :(3) PANDANGAN DUALISTIS TERHADAP ISLAM

Berbagai perubahan situasi yang terjadi kemudian, ikut mengubah sikap keagamaanku. Berita-berita kekejaman gerombolan Kahar Muzakar dari Sulawesi Selatan dalam memperlakukan orang-orang Nasrani di daerah yang baru mereka kuasai begitu berpengaruh. Ditambah lagi dengan sikap gerombolan ini ketika mulai muncul pula di kampung kami Uluanso. Penampilan mereka dengan rambut panjang terkesan sangar, menyeramkan. Mereka memaksa ayah, yang ketika itu sebagai mandor atau Wakil Kepala Kampung, untuk mengumpulkan bahan makanan : beras, ayam, garam dan lain-lain untuk diangkut pulang. Mereka juga selalu minta disuguhi minuman air kelapa muda sehingga disana-sini jelas terdengar dari rumah kelapa-kelapa muda ramai berjatuhan. Rumah kami memang terletak tepat di tikungan jalan masuk dari arah Sulawesi Selatan, sehingga  keluarga kami dapat melihat jelas dari atas setiap orang atau rombongan yang lewat jalan samping rumah kami, sebuah rumah panggung besar terbuat dari papan.

Perilaku gerombolan yang namanya membawa-bawa agama Islam itu sekejap mengubah cara pandang warga kampung kami dan sekitarnya terhadap Islam kenjadi kurang baik. Putra sulung kakak tertua ibu yang menjadi guru di Nuha memilih berhenti karena sering diganggu gerombolan kemudian masuk tentara. Bahkan kakak tertua kami – yang ex. KNIL, pernah diambil dan konon nyaris  digere (dipenggal) karena dicurigai jadi mata-mata. Untung di sana ada kerabat yang sudah memeluk Islam yang berani menjamin tuduhan terhadap kemanakannya itu tidak benar dan memohon bisa dilepaskan.

Guru Mandake sering diganggu, menyebabkan ia minta sekolah berikut perabot meja-meja panjang dengan bangku-bangkunya diboyong pindah ke kampung Kumpi yang sedikit lebih aman. Jaraknya sekitar empat kilometer dari Uluanso membuat kami para murid, dari murid kelas satu sampai tiga  menjadi makin susah. Pemuda-pemudanya memilih merantau. Ada yang kelak jadi polisi, tentara dan guru.

Seiring dengan itu, warga demi warga, keluarga demi keluarga, berangsur mengungsi ke kampung-kampung lain sampai terjadi pengungsian massal pada pertengahan tahun limapuluhan. Para pengungsi asal Uluanso ini ditempatkan di ujung selatan Beteleme, ibukota Kecamatan Lembo. Sedangkan warga Bahono asal Kumpi ditempatkan di ujung utara.

Meski sudah di pengungsian, gangguan gerombolan belum juga berhenti. Bahkan kakak kandung ibu, Pamanda terkasih Samaila Lagasi bersama kakak sepupu terkasih, Tinia Lapoliwa pernah disandera gerombolan dan diancam akan dilenyapkan. Hanya suatu mujizat yang terjadi malam hari membuat mereka berhasil lolos. Ketika itu mereka sedang mencari sisa-sisa hasil tanaman di bekas kebun mereka secara sembunyi-sembunyi. Tiba-tiba dijebak oleh gerombolan yang menyamar satuan TNI karena seragam mereka yang lengkap.

Tidak itu saja. Kota Beteleme dua kali berhasil disatroni gerombolan TII. Pertama kali mereka hanya menjarah toko-toko. Tapi kedua kalinya, mereka berhasil menerobos benteng Uluanso-Beteleme masuk dan menjarah lalu membumihanguskan bangunan gereja, sekolah, pertokoan dan rumah-rumah penduduk. Bahkan jembatan sungai Laa nyaris terputus karena dibakar.

 Perlakuan pihak gerombolan sedemikian, membuat kesan terhadap Islam sampai pada titik terrendah. Perilaku gerombolan yang penuh kekerasan, membuat kecintaan akan ajaran Kristen yang mengajarkan cinta kasih semakin kuat. Tak ada warga yang memeluk agama lain selain Kristen. Meski pernah batal mengikuti pendidikan lanjutan agama Kristen di Tentena, keinginan untuk lebih mendalami agama ini tetap tak berkurang. Malah terus bertambah, lebih-lebih ketika mata pelajaran agama kami di SMA Negeri Poso dipimpin Ibu Pdt.Agustin Lumentut yang ketika itu juga adalah Gembala Jemaat Kristen Poso Kota di Jalan Minahasa.

Pengasuhan beliau kepada kami, siswa Kristen yang bejumah sekitar 50 orang memberikan keuntungan ganda. Kumpulan mata pelajarannya sama dengan mata pelajaran katekisasi yang biasa dilakukan di gereja-gereja, sehingga kami tak perlu lagi mengikuti katekisasi di gereja asal. Mengkuti pendidikan katekisasi adalah  syarat untuk dapat diteguhkan sebagai warga sidi jemaat yang dianggap dewasa. Menjelang kelulusan SMA, kami semua diikutkan pada peneguhan sidi jemaat di Gereja Peniel Lage Poso, yang dipimpin Bp.Pendeta Sinauru. Gedung gereja inilah yang menjadi korban pembakaran pertama dalam kerusuhan Poso dahulu yang kemudian merambat ke mana-mana.

Tamat SMA dan sudah menjadi warga sidi Jemaat, aku berangkat ke kantor Synode GKST di Tentena untuk menjajagi kemungkinan mengikuti sekolah pendeta. Tetapi di Tentena belum ada STT (Sekolah Tinggi Theologia). Adanya masih di Jakarta. Majelis Synode hanya bisa memberikan surat rekomendasi ke STT Jakarta. Maka ketika ke Jakarta, aku menghadap ke STT Jalan Proklamasi. Tetapi menurut ketentuan di masa itu, untuk dapat diterima sebagai mahasiswa utusan gereja pengusul, seseorang sudah harus lulus Tingkat Persiapan atau masuk Tngkat II. Karena terhalang keterbatasan kemampuan untuk menanggung sendiri biaya mengikuti pendidikan awal itu, maka niat masuk STT pun gagal.

Kesan negatif terhadap agama Islam yang dipengaruhi sikap kebrutalan gerombolan TII di Uluanso dan Kecamatan Lembo Beteleme dan sekitarnya ketika tiba di Jakarta tetap tak berobah. Baru berubah ketika mulai bekerja pada sebuah surat kabar harian, yang para wartawan, kontributor dan karyawannya campur aduk dari segala etnis dan agama yang berbeda. Keturunan Arab, Padang,  Jawa, Aceh, Ambon, Bali, Batak, Timor dan Sunda. Kebanyakan beragama Islam dan sebagian kecil agama lain. Rata-rata mereka mahasiswa, tokoh pers  dan  budayawan-budayawan terkenal dan juga ada beberapa ekonom. Ada nama Emil Salim di sana, Ada Mar’ie Muhamad, Nono Anwar Makarim, Zulharman Said, Drs. SK.Trimurti, Goenawan Mohammad, Wiratmo Sukito, Mochtar Lubis, Taufiq Ismail Rosihan Anwar, Salim Said, Fikri Jufri, Ismed Hadad, Satyagraha Hoerip,  dan banyak lagi.

Dalam keragaman ini ternyata semua bisa bekerjasama dengan baik dan terasa adanya persahabatan. Bahkan aku sendiri dari pekerja paling bawah sebagai korektor, dipromosikan naik menjadi wartawan, lalu menjadi Redaktur Pelaksana, mengepalai periklanan, sampai dipercaya menjadi Pemimpin Perusahaan. Padahal Pemumpin umumnya seorang keturunan Arab, pemimpin redaksinya asal Padang yang kedua-duanya tentu taat  menjalankan ajaran agama mereka.

Kesimpulan pada akhirnya, adalah kekerasan yang membawa-bawa nama agama yang terjadi daerah asalku dan juga di daerah-daerah lainnya dahulu, bukan disebabkan agamanya tetapi perilaku sebagian para penganutnya. Semua agama mengajarkan kebaikan, tetapi penganutnya bisa memiliki pemahaman yang berbeda-beda. Dan memang ada yang mengatakan kaum gerombolan TII di Suawesi dahulu dipengaruhi faham aliran Wahabi yang sangat lekat dengan tradisi kekerasan dan oleh sebagian besar umat Muslim sendiri di negeri inipun ditentang. ***

 

 

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *