Sunday, October 18, 2020

TANGGAP MENDENGAR SUARA RAKYAT

Kalau ada yang berpikir barangkali pengeluaran Undang-Undang  Cipta Kerja (UCK) sekarang sebagai upaya mengalihkan perhatian rakyat dari pro kontra KAMI beberapa waktu yang lalu – mungkin ada benarnya. Nyatanya, gaung sepak-terjang KAMI saat ini nyaris tersingkir oleh hiruk-pikuk gelombang protes UCK di mana-mana. Kalau itu benar, maka itu ada beberapa alasan. Narasi-narasi dari pihak KAMI umumnya lebih mendasar, umum dan menyangkut kredibiltas Pemerintah. Sedangkan narasi mengenai UCK lebih bersifat spesifik. Spesifik mengenai ketenagakerjaan saja. Bila saja Presiden mengeluarkan Perpu yang  mefasilitasi tuntutan kaum buruh, mungkin gelombang protes akan segera berhenti.

Pada awal dideklarasikan, tanggapan atas pembentukan KAMI yang sekarang macam-macam. Ada yang menganggap hanya merupakan kumpulan sebagian orang-orang yang gagal ketika diberi kedudukan dalam jabatan-jabatan penting pada masa lalu. Mereka yang merasa tak dianggap oleh penguasa sekarang atau mereka yang merasa ruang gerak mereka dalam aktivitasnya semakin terbatas oleh berbagai kebijaksanaan pemerintahan sekarang. Singkatnya, mereka merasa banyak ketidakadilan. Mereka merasa  semua jalur untuk menyampaikan unek-unek mereka seperti tertutup. Kalaupun ada, dirasakan hanya sekedar basa-basi. Ditampung tapi tidak ditindaklanjuti. Alias ditampung untuk disimpan atau dibuang.

Maka satu-satunya cara yang masih dimungkinkan oleh konstitusi adalah melalui unjuk rasa atau demonstrasi. Namun sayang, demonstrasi ini dalam banyak kejadian, sering sulit dikendalikan. Terjadi aksi anarkis dan brutal yang mengakibatkan banyak kerusakan fasilitas umum, terjadi penjarahan, korban luka-luka,  bahkan korban jiwa.

Dalam kasus yang demikian, aparat keamanan di lapangan terpaksa mengambil tindakan tegas dan keras. Dalam batas-batas tertentu, mereka mungkin masih dapat mengendalikan dan menguasai keadaan. Tapi ada situasi – di mana aparat keamanan akan sampai pada batas pasif. Mereka menolak   ofensif lagi untuk menghindari banyaknya korban anggota atau sesama bangsa sendiri. Bahkan bisa saja mereka menarik diri. Ingatkah ketika pada kerusuhan tahun 1998 semua anggota polisi menarik dari dari jalan-jalan di Jakarta kembali ke markas mereka masing-masing ? Yang mengakibatkan Jakarta terbakar dan terjadi penjarahan besar-besaran ?

Kalau sudah begini, hanya selangkah lagi terjadinya revolusi. Dimana semua aturan hukum dan ketertiban seperti tidak berlaku. Untuk mencegah agar ini tidak terjadi, maka jurang ketidakadilan harus benar-benar dihilangkan. Aspirasi setiap warga masyarakat atau golongan agar dirampung dan ditindaklanjuti sebagaimana mestinya. Pamer kekayaan tidak lagi ditonjol-tonjolkan di mata rakyat miskin yang tambah tertekan oleh pandemi covid 19 saat ini. Perlakuan istimewa dalam pelayanan sosial, praktek pelaksanaan hukum kepada kalangan tertentu tidak terjadi lagi. Bila semua ini dibiarkan dan terus bertambah secara akumulatif, maka kita tinggal menunggu datangnya gerakan massa dalam eskalasi besar yang tak akan terbendung. Dan kita dapat mengira-ngirakan siapa yang akan menjadi sasaran mereka. Kaum oligarki dan para oknum kongkalingkong mereka yang diindikasikan banyak bercokol di berbagai lembaga negara. Bukankah mereka yang selama ini sering disebut-sebut sebagai biang keladi kesemrawutan di negeri ini ?

Pemerintah termasuk partai berkuasa saat ini mesti waspada. Dukungan besar kepada Jokowi dan posisi mayoritas besar partai penguasa di DPR sekarang, perlu dipertanyakan kembali. Benarkah tetap seperti yang dibayangkan ? Sampai pertengahan tahun 1965, Bungkarno masih didukung seluruh rakyat tanpa reserve. Tapi tahun 1966 tumbang. Tahun 1971 hasil pemilu nyaris 100 % rakyat mendukung Suharto melalui Golkar. Tapi sesudah kerusuhan 1998, ketua MPR yang juga Ketua Umum Golkar itu sendiri yang meminta agar Suharto berhenti. Setelah itu sejumlah tokoh nasional dan tokoh agama ke Istana meminta hal serupa, supaya lengser. Upaya Suharto kemudian untuk membentuk kabinet baru berulang kali gagal. Karena tak seorangpun lagi yang mau ikut. Termasuk menteri kesayangannya sebelumnya. Satu-satunya pilihan yang konstitusional, ya mundur. Jangan sampai hal serupa terjadi pada Jokowi. ***

 

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *