Sunday, March 22, 2009

SAATNYA KOPERASI DIBERI PERANAN SESUAI KONSTITUSI

Undang-Undang Dasar 1945 dengan sangat tegas menyatakan perekonomian negara disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan. Selanjutnya disebutkan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selanjutnya dalam ayat (4) yang merupakan hasil amandemen keempat, ada digariskan “berwawasan lingkungan dan kemandirian”.

Bila kita kita cermati secara saksama maksud yang terkanung dalam amanat Konstitusi di atas, dari sekian senis bentuk kegiatan ekonomi (liberal, kapitalis, merkantilis dan Koperasi), maka yang paling sejiwa dengan gagasan itu adalah koperasi. Bukan pertimbangan mudah bagi Proklamator Bung Hatta -yang notabene mendapat pendidikan ekonomi di negara liberal-kapitalis – merumuskan gagasan di atas dalam konstitusi, justru masih dalam situasi perang. Sudah tentu Bung Hatta telah mencermati dengan sungguh-sungguh sifat dan budaya asli bangsa Indonesia yang berjiwa gotong-royong.

Realitas sekarang
Tapi kebijakan yang dijalankan oleh Negara (Pemeriuntah-pemerintah bersama Parlemen) dan yang kita alami hingga sekarang, adalah sangat kontradiktif dengan bunyi amanat Konstitusi di atas. Orang yang awam sekalipun, dapat melihat paradoks-paradoks tersebut dari fakta-fakta beberapa contoh saja :

1. Kapitalistik :
Yang menguasai cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak adalah kaum kapitalis, bukan rakyat banyak. Baik kapitalis asing maupun kapitalis lokal. Ada lembaga ekonomi khusus yang dibentuk Pemerintah seperti BULOG dan Pertamina, tetapi operasionalnya cenderung kapitalistis juga. Lihatlah pengelolaan BBM, listrik, gas. Pendistribusiannya yang diserahkan kepada kapitalis-kapitalis sering dipermain-mainkan sehingga rakyat sulit mendapatkan kebutuhan yang menguasai hajat hidup orang banyak itu.

2.Liberalistis :
Kaum ekonomi kuat menggencet kaum ekonomi lemah, bahkan tak segan-segan mengekspolitasi sumber-smber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak. Baik melalui kekuatan persaingannya, maupun melalui cara-cara yang tidak wajar seperti memperalat lembaga peradilan atau oknum birokrat. Contohnya : lokasi tempat berusaha pedagang-pedagang kecil, digusur untuk pembangunan mall milik kongklomerat. Bahkan lokasi sekolah, pemukiman dan kegiatan sosial digusur, tanpa para korban berdaya mendapatkan keadilan.

Pokoknya, dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya, mendapat untung yang sebasar-besarnya. Tak peduli dampak sosial dan kerugian pihak lain. Yang penting untung sendiri. Liberalisme dan individualisme memang bagaikan dua muka dalam satu mata uang yang tak dapat dipisahkan. Ini paradoks dengan amanat konstitusi : usaha bersama dan kekeluargaan.

3. Penjajahan ekonomi :
Perekonomian yang kapitalistis dan liberalistis di atas, mengakibatkan negeri kita terikat pada ketergantungan pada sistim perekonomian kapitalis internasional. Pasar modal dunia goncang rupiah kita ikut goncang. Pasar minyak dunia goncang, kita ikut goncang. Produksi beras, kedele, susu di negara produsen asing gagal, kita ikut goncang. Bahkan perusahaan-perusahaan komunikasi yang dijual lalu didominasi asing, kini semau-maunya mengenakan tarip kelewat mahal dibandingkan di banyak negara. Di manakah kemandirian ekonomi seperti diamanatkan UUD 1945 ?

Kondisi seperti ini tak boleh dibiarkan berkelanjutan. Bukan saja karena tidak sesuai dengan konstitusi tetapi juga makin menghambat kemajuan bahkan makin menyengsarakan kehidupan sebagian besar rakyat. Kondisi demikian akan makin meningkatkan ketegangan sosial, keamaman dan ketertiban umum. Untunglah organisasi-organisasi berfaham komunis masih terlarang di Indonesia. Kalau tidak, kondisi ini akan dimanfaatkan untuk menarik simpati sebagian besar rakyat ke pihaknya.

Karena itu perlulah dilakukan koreksi total dengan kembali ke jiwa konstitusi 1945 dalam penataan perekonomian nasional – yang menekankan peranan lembaga koperasi ! Tapi mengapa badan-badan usaha koperasi hingga sekarang tak mampu berkembang ? Memang dalam jumlah cukup besar, tetapi kontribusi dan peranannya dalam perekonomian nyata sungguh menyedihkan.

Realitas yang nyata adalah :
(a). Banyak koperasi yang tinggal nama.
(b). Kebanyakan yang masih bertahan koperasi karyawan. Itupun kebanyakan karena instruksi atasan yang menhendaki tetap dipertahankan dan defacto seperti unit kedinasan. Jadi sesungguhnya bukan karena dorongan kebutuhan dan hidupnya sebagian besar karena dukungan fasilitas kedinasan. Pengelolanya belum profesional.
(c). Omzetnya relatif kecil dan dukungannya secara ekonomi kepada para anggota kurang berarti.
(d). Para pengurusnya seperti ogah-ogahan, kurang bersungguh-sungguh memajukan koperasi. Mungkin karena manfaat ekonomi yang didapatkan tidak seimbang. Mereka lebih bergairah bekerja di badan ekonomi yang lain, seperti di PT, BUMN/BUMD, atau wiraswasta. Di mana gerangan pangkal sebabnya ?

Alternatif yang memenuhi prasyarat ini adalah koperasi konsumsi. Dalam koperasi konsumsi, koperasi menyediakan barang kebutuhan anggota dengan mutu, harga dan pasokan yang terjamin. Pengawasan terhadap kepengurusan koperasi dilakukan anggota melalui Badan Pengawas dan bila perlu dapat meminta diadakannya Rapat Anggota untuk memintakan pertanggung-jawaban Pengurus bila ada gejala-gejala penyimpangan dalam pengelolaan koperasi. Anggota juga dapat mengajukan pendapat dan saran kepada Pengurus diminta atau tidak diminta. Andaikata minyak tanah bersubsidi didistribusikan melalui Koperasi melalui jalur organ koperasi pula (Koperasi Primer - Pusat Koperasi - Induk Koperasi ), maka anggota akan terus-menerus mengawasinya.

Pendirian, pengelolaan maupun pengawasan koperasi, prinsipnya : dari anggota, untuk anggota dan oleh anggota. Semua pendistribusian dilakukan dengan kupon dengan jatah, harga dan jadwal yang sudah ditentukan. Baik kepada anggota maupun penyalurannya dari Pertamina ke Induk Koperasi, dari Induk Koperasi ke Pusat Koperasi, dan dari Pusat Koperasi Primer. Dengan demikian tak akan terjadi penyimpangan, baik dalam jumlah pasokan, penyimpangan penerima maupun jadwal. Sebab bila terjadi, yang dirugikan termasuk diri sendiri karena menyangkut juga kebutuhannya. Lagi pula akan segera diketahui dan dipertanyakan oleh anggota lain yang dirugikan. Lain dengan kondisi sekarang dengan menggunakan jalur distribusi perusahaan swasta atau agen yang rawan penyimpangan dan sulit dikontrol. Bila distribusi kurang lancar, para distributor/agen tidak ada ruginya karena mereka bukan pemakai langsung, hanya pencari untung. Malah sebaliknya, karena lemahnya pengawasan, mereka dapat mempermainkan penyaluran dan pengenaan harga melalui pengecer.

Apabila koperasi diberi kesempatan menjadi penyalur utama bahan kebutuhan pokok khusus rakyat yang sering menghilang (gas, pupuk ), maka akan sangat menggairahkan kembali kehidupan perkoperasian. Apa yang dapat dibanggakan dari koperasi di Indonesia saat ini.

Meskipun menurut statistik jumlahnya dapat membuat orang menepuk dada, namun rata-rata koperasi kita mati suri, hidup segan mati tak mau. Banyak yang aktivitasnya tidak lebih dari sebagai pembantu loket pembayaran rekening listrik atau telepon. Bila masyarakat diberi tahu bahwa dengan menjadi anggota Koperasi, mereka akan dapat memperoleh bahan kebutuhan pokok ini dengan teratur, cukup dan dengan harga yang wajar, maka mereka akan beduyun-duyun mendaftarkan diri menjadi anggota.

Pelaksanaan gagasan ini dapat dilakukan bertahap dengan menggunakan koperasi-koperasi konsumsi pedesaan atau kelurahan yang sudah ada. Kemajuan usaha koperasi akan sekaligus juga memberi peluang kepada para alumnus-alumnus pendidikan koperasi untuk lebih berperan.

Masalahnya kini tinggal kemauan politik pihak-pihak yang berwenang memutuskan untuk memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada koperasi menyalurkan kebutuhan pokok rakyat. Pendistribusian semua kebutuhan pokok rakyat yang disubsidi Pemerintah sebaiknya diserahkan kepada koperasi. Dan setiap penerima barang yang disubsidi Pemerintah itu hanyalah yang telah menjadi anggota koperasi.

Dengan demikian peluang bagi para spekulan mengambil kesempatan melakukan penimbunan dengan memborong persediaan barang kebutuhan pokok yang mulai langka di pasar kemudian menjualnya dengan harga mahal, makin diperkecil. Operasi pasar yang dilakukan hanya insidentil, terbatas di beberapa tempat tertentu, terbukti tidak efektif menurunkan harga. Lebih-lebih apabila harganya juga relatif mahal, hampir sama dengan harga pasar.

Penurunan harga menurut mekanisme pasar hanya akan efektif apabila suatu produk mampu membanjiri pasaran. Dengan demikian, apabila persediaan terbatas, maka tak ada jalan lain pendistribusian kebutuhan pokok esensil itu harus diatur melalui campur tangan pemerintah untuk melindungi rakyat.

Bukankah konstitusi memerintahkan agar bumi dan air dan segala sesuatu yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat ? Mahkamah Konstitusi (MK) sudah saatnya mulai menyoroti semua perundang-undangan bidang perekonomian. Yang tidak sejiwa dengan konstitusi agar dibatalkan.***

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *