Wednesday, April 14, 2021

Jejak Mengikut Kristus (9): PERGUMULAN IMAN MENEMUKAN PASANGAN HIDUP

3 April 1978

 Pada masa ini aku mulai berpikir mengenai masa depanku. Ketika tiba hari ulang tahunku tanggal 3 April 1978  aku sadar usiaku sudah genap  tigapuluh empat tahun. Sebentar lagi akan memasuki usia empat puluh tahun kalau Tuhan mengijinkan. Masalahnya apakah aku akan tetap membujang seperti ini ataukah ada niat untuk berkeluarga.

         Tentu saja aku memilih yang kedua karena   menurut Kitab Suci, manusia itu tidak baik hidup sendiri. Dia perlu mendapatkan teman hidup yang sepadan. Tetapi untuk membangun keluarga, menuntut kewajiban dan tanggung jawab. Terutama untuk mempersiapkan kehidupan anak-anak yang akan lahir kelak. Untuk itu dibutuhkan kemampuan orangtua, baik fisik, mental, ekonomi dan perencanaan. Karena itu memilih saat usia nikah patut diperhitungkan. Tidak terlalu muda, tetapi juga tidak terlalu lanjut, sehingga pada saatnya nanti anak-anak membutuhkan biaya besar, orangtua masih mampu membiayainya. Terutama pada pendidikan tinggi

          Akhirnya aku mengambil keputusan untuk melaksanakan niat ini sesegera mungkin. Kalau bisa tahun 1978 itu juga. Tapi dengan siapa ?

         Aku memang mempunyai hubungan dengan beberapa teman wanita. Tetapi hubungan itu akhirnya putus,  terbentur oleh berbagai kendala. Denga seorang gadis Padang teman kuliah terbentur oleh perbedaan agama. Kemudian seorang gadis Jawa kerabat isteri  kemanakanku, juga  tehalang  perbedaan agama.

          Hubunganku dengan NY.gadis Padang yang adik bungsu wartawan senior yang juga  ketua PWI Pusat saat itu, benar-benar menempatkan aku dalam pergumulan iman yang serius. Murtad menjadi Muslim ?  Karena sudah pasti mahasiswi berkulit putih halus dengan hidung agak mancung ini berasal dari keluarga yang taat pada agamanya, Islam. Tak Mungkin ! Akupun sudah sejak awal berketetapan hati untuk tetap setia kepada Kristus, Tetapi tanpa kusadari , aku sudah telanjur masuk dan mulai diperkenalkan dengan beberapa anggota keluarganya. 

     Asal mulanya, aku hanya mau pulang sambil  mengantarkan pulang NY ke rumahnya sehabis kami kuliah mulai sore hari. Tetapi entah apa, dari kampus PTP (Perguruan Tinggi Publisistik) di Jalan Menteng Raya, NY mengajak berkeliling, mampir ngobrol dulu di rumah familinya di Manggarai. Sesudah itu diajak lanjut lagi ke keluarganya yang lain di kawasan Cempaka Putih. Terakhir mendekati tengah malam baru ke keluarganya di Jalan Kramat VIII (Zamrud). Tak kusangka, keluarga itu adalah famili juga dari rekan Ardy Syarif yang dahulu membantu aku masuk ke Harian Kami. Dan celakanya, malam itu ia ada juga di sana ! Maka hubunganku dengan NY segeralah sampai ke kantor. Bahkan Ardy sesumbar sudah menyediakan kado.

        Sejujurnya, aku sudah memperkirakan kendala yang akan kami hadapi bila hubungan kami terus dilanjutkan. Aku tidak siap meninggalkan Kristus beralih ke agama lain. Aku realistis saja. Maka akupun secara berangsur mulai memposisikan diri sebagai teman biasa.

       Namanya anak muda, aku kembali terpaut dengan ER seorang gadis Jawa, yang setiap kali bertemu, tatapan matanya dan senyumnya nampak menawan. Periang, hitam manis, rambut panjang tebal bergelombang, mirip gadis Solo. Seperti biasa, aku setiap malam minggu datang berkumpul ke rumah kemanakanku di Cilandak bermain kartu. Ayah si gadis ini, yang biasa disapa Pa De , ternyata mempunyai hobi yang sama dengan kami dan tak pernah absen. Disapa Pa De, karena isteri ponakan ini adalah memang saudara  sepupu gadis ER. Makin sering bertemu, hubungan semakin dekat. Pergi berombongan menonton pertandingan sepakbola di Stadion Utama Gelora Senayan, menyaksikan pertandingan olahraga gulat adiknya yang memang atlit gulat, sampai-sampai setiap dua minggu sekali menjemput dan mengantarkan pulang sore hari dari klup Senam Kebugaran di Cikini ke rumahnya Cilandak.

      Saat hubungan meningkat serius, kembali muncul kendala sama seperti dahulu. Masalah perbedaan keyakinan. Saat itu pernikahan beda agama sudah tak dimungkinkan lagi berdasarkan undang-undang baru. Jadi salah satu harus beralih agama. Padahal seperti selalu kutegaskan, aku sudah berketetapan hatin tetap teguh, tetap setia kepada Kristus yang menyediakan jalan keselamatan.

      Keluarga ER pun bersikap sama. Tetap teguh, tak mengijinkan anggota keluarganya beralih kepercayaan. Keberatan paling keras datang dari kakak iparnya yang seorang guru dan uztad dari Bima. Maka atas nasehat keluarga, hubungan itu akhirnya disepakati tidak sampai ke pernikahan.

       Mengapa harus tetap teguh pada iman Kristen ? Pertama, yakin hanya dalam iman Kristen saja ada kepastian keselamatan. Kepastian itu dijanjikan dan dijamin oleh Yesus Kristus sendiri. Yang datang dari surga, mati tetapi bangkit hidup kembali, naik kembali ke surga. Tetap hidup hingga sekarang dalam kemuliaan. Dan pada saatnya akan datang kembali menyambut umat yang percaya dan taat kepadaNya.  Jaminan seperti ini tak kudapatkan dalam ajaran beberapa agama besar yang kupelajari.

          Ajaran cinta kasih kepada sesama manusia dalam Kristen, faktor utama kedua yang membuatku mengambil sikap tetap teguh bersama Kristus. Andaikan, rasa cinta kasih ini ada di hati anggota-anggota TII tahun 50-an, tak akan pernah terjadi pengungsian besar-besaran di Tanah Mori seperti yang pernah kami alami. Pembakaran rumah-rumah penduduk, sekolah dan rumah-rumah ibadah, penyanderaan dan pembunuhan, tak akan terjadi. Bahkan kupikir, bila seluruh bangsa Indonesia dapat menjalankan ajaran cinta kasih pada sesama ini tanpa harus menjadi Kristen, negeri ini akan aman. Bangsa ini akan menjadi bangsa yang tenteram, damai dan sejahtera !

       Waktu terus berjalan. Saat itu permohonanku kepada Direktur PT Enam-Enam Pak Zulharmans untuk menghidupkan kembali Unit Sixty Six Advertising Agency (SAA) yang telah lama tidak aktif, telah disetujui. Bahkan telah berkembang dengan cepat. 

        Diantara klien kami, ada sebuah perkumpulan Biro Jodoh yang beralamat di Jalan Matraman. Banyak sekali peminat ke perkumpulan itu melalui surat yang dikirimkan melalui alamat kami. Maka kupikir, sesudah berulang kali  kandas dalam mencari calon pasangan yang sesuai, tak ada salahnya kini aku juga ikut iseng-iseng mencoba cara ini.    Dengan mencantumkan secara tegas syarat-syaratku. Terutama soal agama. Aku memasangnya di Mingguan Berita Buana yang memang sedang digandrungi muda-remaja saat itu. Selain itu, dari mingguan ini, SAA juga bisa mendapatkan komisi atau potongan 30 %. Tentu saja biaya iklannya dari kantong sendiri. 

      Tanggapannya luar biasa. Beberapa pengirim surat perkenalan kudatangi langsung. Ada yang hanya kubalas suratnya dengan menambahkan sedikit indentitasku yang lebih jelas.

        Beberapa hari kemudian, ada seorang gadis datang ke kantor berniat menyampaikan map lamaran kerja. Memang hari itu aku  memasang iklan  lowongan kerja untuk seorang calon sekretaris guna membantuku sebagai pengelola Biro Iklan Sixty Six Advertising Agency. Lamaran kerja gadis ini ternyata kemudian hanya akal-akalan. Sesungguhnya ia tidak serius, terbukti juga dari persyaratan yang sengaja tidak dipenuhi. Ia datang dengan temannya yang hanya menanti di luar. Rupanya mereka mempunyai tujuan lain. Ketika melihat aku mau keluar kantor, mereka segera buru-buru pergi.

     Temannya ini baru kuketahui namanya melalui surat kedua dari salah seorang yang sudah mengirimku surat perkenalan. Pengirim surat kedua ini menulis namanya Ana SD. Lalu ia terus terang menceriterakan, yang datang menyampaikan lamaran itu sebenarnya sahabatnya. Dia diajak menemani untuk mengecek benarkah aku kerja di kantor yang kusebut serta katanya untuk melihat langsung seperti apa tampang orangnya. Cerdik juga gadis satu ini, kataku dalam hati. Maka akupun memutuskan untuk datang berkenalan langsung sekaligus dengan keluarganya.  Ana SD !. Baca sepintas, dahulu kukira nama ini masih nama samaran karena aku salah baca “Anak SD”. Rupanya benar nama sesungguhnya. Yang terakhir ini ternyata singkatan dari Susana Damping. Dari perkenalan lebih lanjut kuketahui gadis ini adalah puteri pertama dari seorang pensiunan dosen Akademi Ilmu Pelayaran (AIP) di Ancol.,mantan Nakoda kapal besar asal Sangir dan Kepala Sekolah Pelayanan Menengah (SPM). Ibunya adalah puteri seorang pelaut asal Timor dan ibunya asal Lemahabang, Krawang. Jadi, termasuk suku Sunda Baik ayah, ibu maupun anak-anaknya aktif di gereja.

    Tetapi masih ada masalah yang perlu diselesaikan. Masalah yang timbul sebagai konsekwensi menjalin hubungan dan memberi harapan kepada lebih dari satu kekasih. Hubungan dengan IK, seorang gadis Kalimantan, asisten seorang psikolog paling terkenal di Ibukota ketika itu, masih tetap berjalan. Pergi menonton film bersama, keluar makan bersama, bercengkerama di tempat kost bersama teman-temannya, tetap kami lakukan. Dia juga kuanggap sebagai calon pasangan ideal. Seagama, berpendidikan bahkan sudah bekerja sebagai pekerja sosial. Dengan alasan ada orangtuanya sakit, ia minta tolong bisakah  aku membelikan tiket pesawat untuk pulang ke Kalimantan. Tetapi ketika balik kembali, bukannya berita kesehatan ayahnya yang disampaikan, tetapi sikap orangtuanya tentang hubungan kami. Aku terkejut, karena begitu cepat keluar tanggapan orangtuanya. Padahal diantara kami sendiri kupikir belum lagi sampai tercapai kebulatan niat untuk menuju jenjang pernikahan.

    Tanggapan keluarganya tak kurang mengejutkan. Karena dimintakan syarat harus berpendidikan sarjana. Meski saat itu aku sudah kuliah di tingkat 5/Sarjana, tetapi ujiannya tak juga kunjung dapat kuselesaikan karena terkendala keseringan  mendapat tugas jurnalistik ke luar Jakarta.

Aku sedikit terganggu dengan persyaratan itu. Karena faktanya, aku baru memiliki sertifikat kandindat Sarjana Muda. Sedangkan dia sudah Sarjana Muda. Tapi kupikir, itu adalah hak mereka. Mereka juga berhak membutuhkan kebanggaan status. Maka akupun menjanjikan akan coba konsultasi dengan Rektor PTP, apakah aku dapat mengejar semua ketertinggalan pelajaranku agar pendidikan tingkat kesarjanaanku dapat diselesaikan dengan cepat.

Tapi apa jawaban Rektor ? Secara akademik bisa diberi kesempatan. Tetapi persyaratan adminsitrasi mewajibkan aku harus membayar semua biaya-biaya administrasi selama aku tidak kuliah. Dihitung-hitung, jumlahnya sangat besar, jumlah yang akan sangat sulit kupenuhi. Kupikir, adalah lebih masuk akal mempercepat penyelesaian studi di Universitas Terbuka (UT) yang memakai sistem paket SKS yang sudah kumulai saat itu. Hanya akan memerlukan waktu agak lama.

Semua ini kukemukakan kepada IK, tetapi ia tak memberikan banyak tanggapan. Kalau sebelumnya ia menyapaku dengan “kak”, kini ia memanggilku dengan “Anda”. Sikapnya jadi berubah. Dia juga menawarkan penggantian biaya tiket yang pernah kubelikan. Tapi kutolak, karena itu menyangkut kehormatan seorang pria yang telah rela berkorban dengan tulus untuk seseorang yang dicintai. 

     Maka aku mengambil kesimpulan, hubungan kami tak dapat diteruskan lagi . Akupun meminta maaf tak dapat memenuhi harapan keluarganya lalu pamit pulang. Tiba di kamar paviliun kantor tempatku tinggal, aku merenungkan kembali apa yang baru terjadi. Dia barangkali memang bukan jodoh yang dipersiapkan Tuhan bagiku.

             Lalu pikiranku melayang ke bayang-bayang wajah Ana SD, puteri pensiunan dosen AIP itu. Dalam  hati aku merasa mungkin inilah gadis yang dipilihkan Tuhan, yang sepadan denganku sebagai calon teman hidup. Keluarganya pun nampaknya dapat menerima kehadiranku. Malah ibunya yang ketika itu dirawat di rumahsakit, minta pernikahan kami segera dilaksanakan. Namun aku belum dapat memberikan kata akhir. “Tunggulah sampai Ibu sembuh”, jawabku. Padahal alasan utamaku dalam diriku sendiri, aku belum meminta pertimbangan ibuku. Karena bagaimana pun aku perlu mendapatkan do’a restunya. Lebih-lebih karena beliau pernah menyarankan calon seorang gadis bekas teman sekelas dan puteri kepala kampung kami, namun kutolak dengan halus. Alasanku ketika itu aku masih mau melanjutkan sekolah.

                Beberapa hari kemudian aku menerima telegram dari  keluarga di Uluanso, bahwa ibunda ada bersama keluarga kak Maga yang bekas tentara di Raha, Sulawesi Tenggara. Tidak disebutkan keadaannya. Aku agak cemas apakah beliau dalam keadaan sakit sehingga perlu perawatan di sana, sebab beliau jarang bepergian jauh. Aku memutuskan segera menemui beliau. Maksud kedua, memintakan pertimbangannya atas gadis pilihanku dan bila beliau menyetujui sekaligus memohon do’a restunya.

          Besoknya aku berangkat.  Untuk tiba di Raha dari Jakarta, dalam sehari aku perlu dua kali berganti pesawat  Dari Jakarta ke Makasar dengan Garuda, ke Kendari ganti dengan pesawat Merpati dan selanjutnya dengan pesawat  perintis kecil

          Kondisi ibu ternyata cukup baik. Dan kata-kata Ibunda mengenai gadis pilihanku benar-benar mencerminkan seorang sifat orangtua yang bijaksana. “Kalau itu memang sudah pilihanmu dan kau anggap baik, ibu juga menyetujuinya dan ibu doakan semoga kalian nanti hidup bahagia”.

           Pulang ke Jakarta, keputusanku untuk segera menikah sudah mantap. Atas persetujuan Ibu, aku segera meminta kesediaan Kak Narumi dan isteri untuk menjadi Waliku, baik dalam menyampaikan lamaran maupun pelaksanaan acara-acara pernikahan. Aku agak memaksakan agar  dilaksanakan pada tahun genap 1978 juga ketika aku berusia 34 tahun.

        Akhinya disepakatilah tanggal 9 Desember 1978. Sebenarnya pekerjaanku ketika itu belum begitu mantap. Harian Empat Lima, yang dipimpin Pak Adam Malik, Ketua MPR, baru saja ditutup atas usul Drs. Suyatno, sebagai pemimpin perusahaan kami dengan alasan merugi terus. Ekonom ini kelak menjadi Rektor Akademi Tarakanita dan Rektor Universitas Atmajaya. 

        Ada rencana Pak Zul untuk menerbitkan Suratkabar Mingguan, tetapi belum pasti karena Surat Ijin Terbitnya belum turun. Tetapi dengan berbagai pekerjaan sambilan, aku yakin akan dapat memenuhi kebutuhan kami nanti. Aku memang menginginkan acara pernikahahan kami sederhana saja. Undangan agar dibatasi.  Aku melihat saat seperti itulah waktu yang terbaik.

        Ketika melamar, aku hanya menyerahkan uang  tiga ratus ribu rupiah kepada keluarga calon pengantin wanita sebagai penyelenggara. Namun di luar itu aku juga masih memesan tempat tidur pengantin baru yang lengkap dengan perlengkapan meja riasnya. Menyewa gedung resepsi dan menyediakan undangan. Sehari sebelum pernikahan aku masih mengantar undangan dengan sepeda motor sampai ke Cibinong bahkan juga mengantar tambahan beras dengan sepeda motor ke bagian konsumsi.

          Akhirnya jadilah pemberkatan pernikahan kami dilaksanakan di Gereja GKI Kwitang oleh Pendeta Dr. Daud Palilu. Malamnya dilanjutkan dengan resepsi di gedung Stania, Menteng. ***

 

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *