Saturday, February 6, 2010

Merantau Ke Poso III ( 3.1. -3.4) Masuk kota dengan senjata berat

Tahun 1958 kakak Welu dan suaminya  setuju aku pindah sekolah ke Poso dan tinggal bersama mereka. Ayah dan ibu juga setuju. Aku kemudian mengajukan surat pindah ke sekolah. Kepala Tata Usaha memberitahukan Pak Camat sangat kecewa  mendengar kepindahanku.

         Sebenarnya ada pilihan lain yang terbuka. Aku  terma-suk salah satu calon dari Uluanso yang akan diutus Klasis GKST Beteleme untuk mengikuti pendidikan theologia di Tentena. Selesai pendidikan akan ditempatkan sebagai Guru Jemaat di Uluanso. Tetapi  aku  lebih condong setelah   tamat SMP melanjutkan ke SMA kemudian Sekolah Theologia Tinggi (STT) di  Jakata atau  Akademi Militer, Kedokteran dan Penerbangan.  Karena itu aku memutuskan ke Poso.             

          Kota  Poso masih  enam  kilometer  lagi di depan kami. Tiba-tiba sebuah mobil Jeep nampak melaju di belakang kami. Muntu teman sekampung yang kuikuti saat itu menghentikannya untuk minta menumpang. Atap mobil terbuka. Bingkat kacanya dibalik keatas kap mesin dan di atasnya terpasang senjata berat water mantel dengan rantai pelurunya.

              Dalam jeep ternyata ada Alex Parimo tokoh GPST dan beberapa pengawalnya. Dia adalah adik Herman Parimo pimpinan GPST legendaris yang tersohor dengan jaket merahnya. Konon ia  dapat menghilang dalam pertempuran dan masuk ke tengah-tengah musuh. Diantara pengawal ternyata ada Dali Ngguai, kakak sepupuku. Ada yang memegang  senjata  bren.

              Saat itu ketegangan masih mencekam antara GPST dan TNI. Bahkan beberapa kali terjadi tembak-menembak.     Padahal GPST inilah sebelumnya yang telah berjasa mengusir pasukan pemberontak Permesta dari bumi Sulawesi Tengah. Konflik mulai timbul ketika keinginan mereka untuk diresmikan sebagai devisi tersendiri dalam tubuh TNI tidak mendapat persetujuan pemerintah Pusat. Meskipun sudah diadakan gencatan senjata namun suasana  masih tegang.

          Kami terus melaju dengan kecepatan tinggi memasuki kota Poso. Debu mengepul di belakang kami. Memasuki kota Poso, kami tidak langsung diturunkan. Kami dibawa berputar-putar dulu, sambil dengan kecepatan tinggi  melin-tas di depan asrama-asrama tentara kota Poso Kota. Untung saja anggota-anggota TNI yang kelihatan terkejut tidak terpancing.

          Rumah kakak kelima ini terletak di ujung sebuah jalan buntu di pertengahan Jalan Talasa, kampung Lage. Aku beruntung sangat dekat dengan gedung SMP Negeri II  yang  satu halaman dengan gedung SGA. Di sekolah guru itu ada kak Renti (Rentius Lingkua) dan Tanti (Nestantinus Kelo) masih saudara sepupuku dan seorang lagi dari Kumpi. Mereka sudah menduduki kelas akhir dan siap-siap mengikuti ujian.

          Adalah kak Tanti yang membantu memper-temukan aku dan menyampaikan maksudku kepada Pak Biralino, Direktur SMP Negeri. Ternyata memasuki sekolah ini memang tidak mudah. Pak Biralino yang juga menjadi pengajar bahasa Inggeris mengetes aku dalam  bahasa Inggeris. Perawakan tubuhnya tidak begitu besar, sorot matanya  tajam dan ucapannya pendek-pendek tapi tegas.             

         Beruntung aku dapat menjawab semua pertanyaannya. “Ternyata SMP Kolonodale sama dengan SMP Negeri”. Wah, bangganya aku. Bukan saja karena dapat diterima, tetapi juga karena pengakuan sekolah kami, SMP Beteleme yang baru berdiri, setaraf dengan sekolah negeri. Coba, bagaimana kalau Pak Tamalagi direkturnya dan Pak Hoti mendengarnya.

         Padahal awalnya aku ragu-ragu apakah aku dari sekolah patikelir di desa dan sekolah baru pula dapat masuk ke SMP Negeri ini.  Aku tak tahu mengapa beliau menyebut SMP Kolonodale. Karena aku merasa sekolah kamipun  belum dapat dibandingnan dengan SMP Kolonodale yang telah lama berdiri dan telah dilengkapi peralatannya.

             Aku ditempatkan di meja paling belakang sebelah kanan. Di sebelah kananku duduk seorang anak Gorontalo. Meski ia nakal dan suka mengganggu anak lain, ia baik dan kemudian menjadi kawan akrabku. Ketika ia pindah ke Makasar, ia pernah menyuratiku dan menceriterakan suka dukanya di Makasar sampai-sampai menjadi penjual koran.

             Baru sebulan di sekolah ini aku menerima surat perkenalan dari seorang siswi yang beralamat SMP Denpasar yang ditujukan kepada “siswa SMP Negeri II yang duduk nomor dua dari belakang”. Aku tidak tahu apakah, pengirim surat ini dari teman-teman sekelasku juga yang menggunakan nama dan alamat samaran. Namun demikian tetap kubalas meskipun kemudian tak pernah ada balasannya.

             Tidak lama kemudian, Rusia, saudara sepupu dekatku dan teman sekelas di SMP Beteleme, pindah pula ke SMP Negeri II. Ia rupanya meninggalkan kampung karena tidak dapat menerima pelakuan ayahnya yang telah memarahi dan memukulinya sehingga kepalanya selalu pusing-pusing. “Kepalanya retak”, kata Muntu, yang diikutinya ke Poso dan juga dahulu kuikuti. Ia memang senang melucu.

             Saudara sepupu ini selalu mengeluh  kepalanya sakit. Ia tinggal bersama kami, tetapi tidak lama kemudian ia berkenalan dengan satu keluarga tentara yang mengajaknya tinggal bersama mereka. Keluarga ini kemudian pindah tugas ke Parigi dan sesudah perang menumpas pemberontakan Permesta, kabar keberadaannya  tak pernah terdengar lagi. 

             Kami mendapat berita dari kampung ayah sakit keras. Kakak Welu bersama suami dan Ice puteri mereka yang masih kecil memutuskan pulang ke kampung. Sedang aku tidak dapat ikut karena tidak lama lagi ujian akhir akan tiba. Sepucuk surat lagi dari Kakak Seti menyusul kuterima yang mengabarkan kondisi ayah makin lemah dan kalau bisa supaya pulang.

             Aku sangat sedih seperti mau mati rasanya. Aku harus memilih pulang menemui ayah mungkin untuk terakhir kalinya atau tetap tinggal untuk mengikuti ujian. Ketika Pak Biralino memberi kami arahan dalam menghadapi ujian, perhatianku sama sekali tidak ada. Terpikir untuk menyam-paikan permasaalahanku kepada beliau tetapi kesempatan tidak mengijinkan.

            Akhirnya aku putuskan tetap tinggal mengikuti ujian dengan menyerahkan kepada Tuhan keadaan ayahku. Kalau aku pulang mungkin aku masih bisa  bertemu ayah, tetapi aku harus menunggu setahun lagi untuk mengikuti ujian. Ujian tinggal seminggu lagi. Sesudah selesai ujian aku akan langsung pulang. Dan bila Tuhan mengijinkan, Ia akan  mempertemukan kami. Aku coba menduga bagaimana sekiranya pertanyaan ini kuajukan kepada kedua orangtuaku. Aku yakin mereka juga akan memilih yang terbaik seperti yang kupikirkan demi  masa depanku.

          Tetapi apa kenyataannya kemudian, memang Tuhan sudah memanggil beliau terlebih dahulu. Aku hanya bisa  menabur bunga diatas pusarah ayahku. Makamnya berdampingan dengan makam kakakku, Ura yang terbunuh  tujuh tahun sebelumnya..***


3.2.. Menyamar Pedagang Pasar

T

ernyata kakak Welu sekeluarga memutuskan tidak akan kembali lagi ke Poso. Mereka akan tetap di kampug menemani ibu bertani. Tinggallah aku sendiri. Bagaimana kelanjutan sekolahku ? Kepada siapa lagi aku berharap.?                  

         Aku bertekad untuk  tetap sekolah dengan berusaha mencukupkan kebutuhan sendiri. Apalagi sudah lulus SMP dan dapat diterima di SMA Negeri Poso. Baik nafkah sehari-hari, pakaian, biaya sekolah dan kebutuhan lainnya harus kucari sendiri. Rumah gubuk serta kebun singkong dan pisang peninggalan kakak dan paman merupakan  modal dasarku. Dengan  itu aku dapat tetap makan. Ubi kayu dapat kurebus untuk dimakan. Tapi juga dapat kuparut dan dijadikan sagu. Sagu adalah makanan pokok nomor dua di kampung disamping beras.

              Aku tidak membawa singkong ke pasar karena mungkin penjualannya memerlukan lebih banyak waktu. Sebagai gantinya kuhubungi beberapa warung kue yang biasanya menggunakan singkong sebagai bahan. Aku berani menawarkan harga yang lebih murah, lagi pula msih segar. Usaha ini ternyata berhasil. Bahkan pada akhinya meeka sendiri yang datang ke pondokku. Mereka senang karena aku menjual per pohon. Disamping mendapat singkong mereka juga boleh mengambil daunnya untuk sayur  atau untuk dijual.

            Pisang Ambon dan pisang sepatu  cepat laku di pasar. Karena itu, kalau sudah masak, ketika hari masih subuh saya memikulnya ke pasar. Aku  letakkan daganganku di lantai pasar terbuka itu, dekat-dekat dagangan tidak sejenis milik orang lain yang mempunyai alat penerangan lalu berdiri  agak jauh. Kalau ada yang tertarik, aku cepat-cepat datang  menawarkannya. Aku                                               khawatir ada teman-teman sekelasku datang belanja  ke pasar dan memergokiku berjualan di pasar. Aku malu bila aku dijadikan olok-olokan di sekolah sebagai  pedagang pasar.Karena itu, bila hari sudah mulai terang, sisa daganganku kuobral atau kubawa pulang untuk dibawa kembali ke pasar hari berikutnya. Kadang-kadang aku memakai pakaian penyamaran seperti pedagang-pedagang biasa. Aku selalu beharap janganlah kiranya ada oang yang berminat dan melakukan penawaran oang yang aku sudah kenal secara pribadi, khususnya teman-teman sekolah apalagi teman puteri.

         Namun demikian teman-teman sekelas bukannya tidak tahu kalau aku mempunyai perkebunan. Pertama kali mereka ketahui ketika direktur sekolah kami menganjurkan membuka kebun sekolah. Dan yang praktis adalah membuka kebun singkong. Soal bibit ?  Aku menyanggupi berapa saja. Maka teman-teman pun tak dapat lagi dicegah untuk berduyun-duyun ke pondokku.

         Sebenarnya aku agak malu kalau teman-teman, yang sebagiannya  dari keluarga raja-raja kopra kaya raya itu datang ke pondokku. Kalau musin hujan jalannya penuh lumpur. Tapi okaylah.Tapi pelajar-pelajar puteri tidak boleh ikut karena licin. Ini persyaratanku yang tak dapat ditawar-tawar. “ Eh, ngana so bisa kawin kalau begini”, kata teman asal Gorontalo yang selalu berpakaian parlente ketika kami pulang menuruni lereng sambil masing-masing meneteng singkong beserta batang-batangnya untuk bibit.

         Tak ayal lagi sejak itu jadilah aku leveransir singkong untuk setiap pesta kolak teman-teman sekolah. Baik di prumahan guru-guru kami yang masih bujangan ataupun teman sekolah.. Suatu ketika aku pernah tanpa sengaja tersiram dabu-dabu oleh seorang siswa puteri ketika  duduk mencukur kelapa di rumah guru.

            Suatu peristiwa lain hampir saja berakibat fatal. Selesai kerja bakti di kebon sekolah, Masra mengundang ke rumahnya. Pesta kolak dan kelapa muda. Seorang teman bersedia menjadi sukarelawan memanjat kelapa yang banyak terdapat di belakang sekolah kami. Yang lainnya berlari-lari di bawah memungut setiap kelapa muda yang jatuh dipetik.Dan hampir fatal. Aku ikut berlari memungut kelapa yang jatuh dekatku. Ketika akan menjauh, sebutir kelapa besar lainnya menggelinding  mengikuti  pelepah daun kelapa dan bumm….hanya sekitar  setengah meter di muka kepalaku. Hii, teman-teman menjerit sambil memegang kepala mereka. Bersyukur masih terhindar dari benturan keras kelapa muda besar yang masih penuh ainya itu dari puncak setinggi itu. Jadilah pesta minuman di rumah teman itu menjadi pesta selamatan untukku.

         Melihat hasilnya lumayan, kebun kukembangkan. Bukan saja kuperluas tetapi juga mencoba menanam tanaman komersial lainnya seperti kacang tanah. Di kampung, kacang tanah merupakan salah satu sumber menghasilkan uang yang dijual berupa kacang kulit per kaleng minyak tanah. Dalam tempo tiga bulan sudah dapat dipanen. Kupikir, kalau hasilnya baik dapat kujual kepada teman tetanggaku yang setiap malam menjajakan kacang goseng di depan Bioskop Nirmala. Nampaknya usahanya maju. Tetapi sayang. Meski tanamannya tumbuh baik, hama tikus menggerogotinya setiap malam sehingga akhirnya dihentikan.

           Gubuk dan kebun saya terletak  pada tanah terlantar di lereng bukit dengan kemiringan sekitar empat puluh lima derajat, bekas alang-alang dan semak-belukar berduri. Di puncaknya yang memanjang tedapat  jalan setapak dan pohon-pohon jati. Tanah ini seperti tidak bertuan. Ternyata setelah alang-alang dan belukarnya ditebas dan dibakar, dipacul dan ditanami tanahnya cukup subur. Rumput alang-alang dan belukar kemudian berubah menjadi kebun singkong dan kebun pisang yang memberi hasil tak berkesudahan.

         Pulang dari sekolah, aku serringkali pula mencari buah-buah kelapa jatuhan di antara semak-semak untuk kumasak menjadi minyak. Minyak itu kemudian aku jual diwarung.

         Pohon-pohon kelapa yang tampaknya terlantar seperrti tidak lagi diacuhkan pemiliknya tidak luput dari perrrhatianku. Sekali seminggu, sambil mencari kayu api, aku menyusuri semak belukar di bawah pohon-pohon kelapa terlantar itu dan kalau beruntung aku dapat kembali dengan memikul enam sampai sepuluh buah kelapa kering yang jatuh. Kelapa-kelapa itu aku parut, peras minyaknya dengan air dan kemudian santannya aku biarkan semalam agar airnya mengendap. Hari berikutnya minyak diatasnya aku pisahkan Air kubuang dan minyak masih mentah itu kumasak untuk mendapatkan minyak goreng. Biasanya tiap tiga butir kelapa dapat dihasilkan satu botol minyak, tergantung jenis kelapanya.

          Minyak goreng yang aku hasilkan itu kemudian aku bawa ke warung yang sudah pernah aku tawarkan sebelumnya dan kemudian selalu siap menolongku sebagai langganan.  Pemilik warung ini pertama kali aku kenal ketika baru pulang berlibu di kampung. Dalam perjalanan pulang, lewat sebuah desa, aku singgah mencari madu. Desa Uelincu yang berhawa sangat dingin diwaktu malam memang terkenal sebagai penghasil madu. Atas saran seseorang, aku coba membeli beberapa botol. Tentu saja madu asli. Eh, agak tercengang juga aku ketika kubawa ke warung yang kemudian menjadi langgananku. Ia berani memberi harga empat kali lipat dari harga pembelianku. Harga permintaan demikian menggoda aku, mengapa tidak menggunakan kesempatan baik ini / sayang sekolah tidak bisa ditinggalkan. Karena untuk pulang pergi ke desa pengahsil madu itu paling sedikit membutuhkan waktu tiga hari perjalananan.

***

3.3. Menyulap sampah jadi Rezeki

D

i kaki bukit itu terdapat kali kecil dan desepanjang kali itu terdapat pohon-pohon sagu. Sewaktu-waktu pemiliknya datang mengambil daun-daunnya untuk dibuat atap. Atau adakalanya melakukan penebangan pohon yang sudah tua untuk diambil sagunya. Pelepah-pelepahnya biasanya dibiarkan berserakan dan itu bagiku merupakan sumber rezeki yang memang selalu ditunggu-tunggu.                                 

Berkat perantaaan  Pudu, adik tetangga yang juga kawan sekerja paman, aku berkenalan dengan beberapa anemer bangunan. Pada hari-hari libur bahkan selepas sekolah, pemborong bangunan itu  mengijinkan aku bekerja pada poyek-poyeknya dengan perhitungan jam-jaman Pembayaan upah setiap akhir minggu. Segala macam pekerjaan kulakukan. Mengangkut air dari kali untuk pencampur semen, mengikuti truk mengangkut tanah urug bangunan, mengaduk campuran semen  dan belajar menyusun bata. Gedung Sekolah Kepandaian Puteri (SKP) di Jalan Talasa, Gedung Bank BKTN di Pelabuhan Poso dan  tembok pelindung pantai di sepanjang Jalan Penghibur di depan perumahan  Dinas Bupati hanyalah beberapa poyek di mana aku pernah mengambil bagian.           

          Nah,pemborong-pemborong ini rupanya senantiasa memerlukan etenit untuk poyek mereka. Dan yang paling  disukai  yang terbuat dari kulit pelepah sagu. Mungkin karena warnanya yang coklat mengkilat seperti      dipolitur   dan   tidak   luntur.   Karena itu  harganya lebih mahal daripada eternit bambu. Tahu peluang ini, maka pelepah-pelepah sagu yang berserakan itu kukumpulkan, kupisahkan kulitnya dan belajar menganyam menurut motif yang banyak digunakan. Pemborong-pemborong ini mau menampung berapapun dengan hitungan harga per meter persegi. Sayang bahannya terbatas, dan waktu untuk mencari ditempat lain tidak ada .         

                Disamping bekerja bangunan, di hari-hari libur pendek adakalanya juga aku gunakan untuk pekerjaan-pekerjaan borongan lainnya. Pernah bersama empat teman, kami mendapat  pekerjaan borongan dari Jawatan  PU Kabupaten Poso merintis jalan beberapa kilometer yang direncanakan akan dibangun guna menghubungkan lokasi pembangunan pabrik minyak kelapa oleh sebuah perusahaan Amerika.

            Pernah pula tanpa ditemani seorang pun aku menerima boongan memaas pinggiran jalan raya poros Poso- Tentena di kilometer 9-10 dari  Lurah Lage dan pengadaan  beberapa kubik batu kali. Masih kuingat, laporan hasil keringatku tidak diterima sepenuhnya oleh Lurah. Menurut hasil pengukuran yang dilakukan petugasnya, jauh kurang dari panjang yang kulaporkan. Padahal telah kuukur seteliti mungkin dan kulaporkan secara jujur. Protesku tak  membawa hasil. Terpaksa kuterima karena ia adalah Kepala  Kelurahan kami, yang sewaktu-waktu bantuannya aku perlukan. Hanya kusayangkan pada waktu pengukurannya aku tak diajak.

         Di rumah aku juga memelihara ayam kampung.  Aku buatkan kandang  seukuran kamar, tapi sering dibobol musang. Akibatnya ada yang hilang dan yang lainnya beterbangan di tengah kegelapan sehingga pada malam-malam berikutnya mereka takut untuk tidur lagi di kandang Mereka mencari tempat tidur masing-masing di atas pohon bambu atau mangga yang tinggi-tinggi sehingga lama-kelamaan menjadi liar dan malahan juga menjadi sasaran pencuri. Sehingga dari peternakan ayam ini sedikitpun aku tak dapat menikmati hasilnya.

          Itulah jalan-jalan yang Tuhan tunjukan kepadaku sehingga aku dapat menyelesaikan sekolahku sampai tamat SMA, tanpa terlalu memberatkan orrangtuaku. Kalau aku pulang libur, memang aku selalu dibekali dengan beras 10-15 liter. Ayah tetap seorang ayah yang ingin membantu. Sebelum meninggal, beberapa potong kemeja yang hanya dipakainya kalau ke gereja atau acara khusus lainnya mau diberikan. Tetapi aku tak tega menerimanya. Kalau ku ambil orangtua ini mau pakai apa lagi. Aku meyakinkan beliau aku telah dapat membeli pakaian dari sebagian hasil usaha yang semuanya kuceriterakan. Bahkan aku masih sempat juga mengikuti kurus Kader Masyarakat B  selama dua tahun yang diadakan  Jawatan Pendidikan masyarakat, yang diakui setaraf dengan SMA. Mereka mempercayaku dan ketika Tumi, adik kami yang bungsu dan sangat mereka manjakan ingin mengikutiku ke Poso untuk melanjutkan sekolah setamat SD, ibu mengijinkannya.

               Menjelang ujian akhir  SMA, kakak  Latarima, kakak kami tertua, pindah tugas dari Manado ke Poso. Ia dahulu anggora Mobrig dan telah beralih menjadi polisi umum. Bersama isteri asal Tomohon dan dua orang anak tinggal di Asrama Polisi di depan Bioskop Nirmala yang senantiasa ramai. Beberapa saat lamanya aku diajak tinggal bersama mereka. Tetapi ketika Tumi tiba di Poso aku kembali lagi ke pondokku.  *** 


     3.4.. Selembar surat cinta

   

K

elas kami memiliki paling sedikit siswanya. Hanya  lima belas orang termasuk empat puteri. Sedangkan  kelas-kelas lainnya rata-rata enampuluh orang dengan  jumlah putera dan puteri  berimbang.

            Dari keempat siswa puteri itu  Nila merupakan primadonanya. Bahkan menjadi pimadona  dai seluruh siswa puteri di sekolah kami. Diam-diam, kami teman-teman pria selalu bersaing  mendekati dia. Nila puteri Bupati dengan rambut tebal hitam bergelombang dan terurai kebelakang memang  berpenam-pilan menarik. Wajah hitam manis, paling pintar dalam mata pelajaran ilmu ukur ruang,  hanya saja agak pemalu.

                 Mengetahui persaingan diam-diam ini, Nurdin mempunyai akal. Ia minta kawan-kawan pria membuat surat cinta seromantis mungkin untuk dilombakan dengan imajinasi seakan-akan dikirimkan kepada salah seorang dari teman puteri kami. Agar merata dilakukan undian. Gagasan ini ternyata mendapat dukungan antusias dari teman-teman. Aku mendapatkan nama Nila.

               Paginya surat-surat itu disampaikan kepada Nurdin.   Apalagi ia telah menjamin tak akan  terjadi apa-apa, lagi pula tidak perlu menuliskan nama penulisnya.

                Lewat satu hari tidak terjadi apa-apa. Tetapi pada hari ketiga, ketika guru memberikan mata pelajaran Ilmu Ukur Ruang, beberapa teman nampak tersenyum-senyum termasuk Nurdin menoleh kebelakang  kearahku dan sesekali ke arah Nila yang  duduk di meja paling depan semeja dengan Masra. Nila nampak gelisah dan seketika itu tahulah aku itu akibat suratku. Wah, ini  ulah

si Nurdin, aku menggerutu dalam hati, cemas, namun tetap berusaha tenang. Pura-pura tidak tahu, sehingga suasana tidak tambah kacau. Aku  sungguh berharap jam pelajaran ini segera  selesai. Ketika selesai dan guru sudah meninggalkan kelas, Nila berteriak : “Dari siapa ini ??!!”, sambil  membaca surat yang kutulis seromantis mungkin di tangannya. Teman-teman yang terheran-heran maju serentak menghampirinya termasuk aku. Setelah dekat secepat kilat surat itu kurampas sehingga robek. Separuh masih ditangannya dan separuh lagi ditanganku. Nila menangis. Selama satu dua hari aku menunggu dengan cemas, kalau-kalau aku dipanggil Direktur Sekolah. Bahkan mungkin dipanggil ke kantor Bupati. Bagaimana kalau sampai dikeluarkan dari sekolah. Tetapi yang ditakutkan itu ternyata tidak terjadi.

 

                          ***

 

 
-----------------------
G (4.9 )
Di pagi hari yang cerah aku diijinkan keluar duduk-duduk di lapangan rumput belakang rumah sakit, di bawah sinar natahari yang memancar lembut. Matahari menunjukan kira-kira pukul sembilan. Tiba-tiba kurasakan seperti terjadi mujizat. Penglihatanku yang sampai saat itu seperti terganggu oleh suatu sekat, tiba-tiba berubah terang. Segala benda yang sebelumnya seperti bergerak turun-naik, tidak bergerak lagi ! Seperti aku dalam perahu diterjang badai dan ombak, tiba-tiba angin reda dan laut tenang.

Kini dapat kuperhatikan, di lapangan rumput itu ada ayunan tempat anak-anak bermain. Di depan loket banyak orang antri. Mereka tentunya orang-orang sehat dan bebas berbuat apapun yang mereka inginkan. Aku ingin segera keluar dari rumah sakit ini dan ingin juga menikmati kebebasan. Menikmati makanan kesukaanku dan memulihkan tubuhku yang kurus ini seperti semula.

Sejak itu kesehatanku terus membaik. Ketika dokter memeriksaku, kukatakan sudah agak sehat dan minta ijin dirawat di rumah saja. Beberapa hari kemudian permintaanku dikabulkan. Kini aku siap meninggalkan tempat perawatan yang kurasakan penuh misteri itu. Semua urusan administrasi akan diselesaikan petugas kantor kami. Aku masih memiliki bekal uang sisa gajiku sebelum masuk rumah sakit ditambah gajiku enam puluh persen selama dirawat.

Aku keluar lewat jalan belakang sebab jalan depan biasanya selalu ditutup. Di gang menuju zal kami ada peringatan tertulis “Awas typhus abdominalis ! Berbahaya”. Mungkin itu sebabnya orang enggan ke zal kami.

Berbeda dengan pasien-pasien lain, tak ada yang menjemputku. Dengan ransel tergantung dibahuku aku melintasi halaman rumah sakit yang luas menuju jalan raya. Kakiku yang sangat susut rasanya belum cukup kuat menopang tubuhku yang juga masih lemah. Napasku sesak, telinga seperti bergema dan kepalaku pening. Bayang-bayang menakutkan di RS itu mulai timbul kembali di kepalaku. Apakah mahluk-mahluk aneh di rumah sakit itu dapat memantau keberadaanku melalui kabel-kabel listrik ke rumah sakit itu ?

Di sebuah warung aku lihat dijual mentimun muda.Tentu menyegarkan pikirku. Aku singgah. Sudah lama aku terbelenggu dengan diet yang keras. Entah berapa jam aku duduk disitu dan aku tak ingat lagi berapa buah mentimun dan ubi rebus yang kuhabiskan. Aku tidak lagi memikirkan apakah sudah boleh aku makan atau belum.

Dari warung aku langsung naik oplet kemudian bertukar bus ke Harmoni. Aku tahu badanku masih sangat lemah. Aku membutuhkan pertolongan. Rumah kakak sebenarnya tidak berapa jauh dari rumah sakit. Tapi aku tak kesana karena sebelumnya aku telah diberi tahu agar langsung saja ke rumah kontrakan yang disediakan kantor sebelum dibubarkan.

Dalam perjalanan aku merasa seperti ada yang mengikuti, mengawasi dan memata-matai aku. Bus penuh sesak. Penumpang berdiri berdesak-desakan dengan anak-anak yang baru pulang sekolah dan pegawai yang baru pulang kerja. Aku terpaksa berdiri. Goncangan bus membuat kepalaku tambah pusing.

Ketika kondektur akan menyerahkan pengembalian uang tiket, penglihatanku gelap dan keseimbangan tubuhku hilang. Sisa-sisa kesadaranku kugunakan untuk cepat-cepat melorotkan badanku ke bawah. Duduk jongkok di antara kaki-kaki orang agar tidak terjatuh menimpa penumpang yang duduk di kursi di belakangku.

Melihat aku rubuh, kurasakan ada tapak tangan mendekap dahiku. “Duduk di sini Mas ”. Ada suara wanita samar-samar terdengar dan tangan seorang laki-laki membantuku duduk. Aku merunduk terus. Keringat mengalir di pipi dan membasahi bajuku. “Sakit Mas ?”, tanya seorang penumpang. “Betul Pak”, jawabku sambil menyeka keringat di mukaku. “Terima kasih. Baru keluar dari rumah sakit”, aku menambahkan. Aku menatap orang-orang yang menolongku, oh wanita yang menawarkan kursinya itu ternyata sedang hamil tua.!

Pembicaraan terhenti karena bus telah menepi di Pangkalan Harmoni. Bus jurusan Grogol jarang. Kalau ada selalu penuh sesak penumpang. Sebagian beegelanntungan pada pintu. Kondisi tubuhku tak memungkinkan laku melakukannya. Aku terpaksa jalan kaki. Hawa panas terik pukul tigabelas membuat kepalaku bertambah pusing.

Sampai di sebuah jembatan yang terlindung sedikit dengan pohon aku berhennti sejenak melepaskan lelah. Aku lelah, lapar dan haus. Ada sebuah warung di dekat tempat itu. Aku segera pesan makanan. Tapi, ah, makanan ini pedas, terlalu pedas. Dokter, mantri sampai perawat-perawat telah berpesan jangan makan yang pedas-pedas. Sebenarnya aku ingin mematuhi pesan ini, tetapi makanan ini sudah telanjur dihidangkan. Sayang kalau dibuang, lagi pula aku harus berhemat. Akhirnya kumakan juga.

Pondokku kudapati bekas dimasuki orang. Gemboknya dirusak. Pintu kubuka dan aku lihat ceceran atap dari daun sagu bertebaran di atas velbet dan lantai tanah. Ternyata banyak barang-barangku yang hilang. Diantaranya keris pusaka yang kubawa dari rumah orangtua.

Aku lelah. Tikar kubuka dan terus tidur. Badanku terasa panas dan kepalaku seakan berputar-putar. Seluruh anggota tubuhku terasa kaku.Malam tiba tetapi aku tak dapat tidur. Bayang-bayang mahluk yang mengejarku kembali menghantui pikiranku. Di luar seperti ada orang memanggil-manggil aku. Aku keluar. Dingin dan becek menandakan baru habis hujan.

Seorang petugas ronda menemukan aku di luar dengan terkejut dan menyurruhku pulang tidur. Aku berusaha menenangkan pikiran. Tetapi ketakutan terus-menerus memenuhi pikiranku. Aku merasa kini dari segala jurusan ada yang mengejar hendak membunuh aku. Aku diam tak bergerak, seakan anak ayam mendekam dalam persembunyiannya. Deru mobil atau kereta api yang lewat seakan pesawat musuh yang akan menyambar rumah.

Semua tetangga seakan membenci aku dan pada malam yang menyeramkan itu seakan mereka telah mengepung untuk membunuhku. Aku takut. Dari sela-sela dinding bambu, di luar sudah mulai terang. Aku bangun dan duduk merintih di atas velbet.

Kekuatan badanku hilang samasekali. Lapar dan kepalaku masih pusing. Aku menyadari keadaaku sangat buruk. Pintu ku buka dan aku lihat orang-orang masih belum ada yang keluar. Aku pergi duduk di atas sebuah balok di tengah gang untuk menghirup hawa sejuk. Ketika seorang wanita keluar untuk menimba air, aku cepat-cepat masuk kembali dan berbaring. Aku tak mau ada orang melihat aku dalam keadaan seperti ini.

Badanku semakin lemas, tetapi aku sangat lapar. Mau tak mau harus mencari makanan. Dengan hanya memakai kaus, celana panjang dan sandal jepit aku pergi ke sebuah warung kecil. Hanya ada pisang goreng dan kopi. Aku sangat lapar dan terpaksa makan apa adanya saja. Kepala semakin pusing.

Aku teringat pesan dokter, hari itu aku harus membawa obat suntik untuk disuntikkan. Tetapi rumah sakit tempatku dirawat sebelumnya terlalu jauh. Dan kondisi tubuhku makin lemah. Karena itu kuputuskan ke Rumah Sakit Tarakan di Jalan Balikpapan. Aku tak sempat lagi pulang mengganti pakaian dan kebetulan obatnya ada dalam kantong celanaku.

Sampai di depan rumah Sakit Tarakan, loket belum buka lalu aku putuskan kembali ke RS. Fatmawati. Di dalam oplet menuju rumah sakit aku merasa benar-benar sudah kepayahan sehingga aku minta diturunkan di depan Kompleks Keuangan Cilandak. Bagaimanapun penerimaan mereka aku harus menemui mereka.

Di depan pintu pagar, kakak seperti mengetes kewarasanku. “Mau cari siapa ?” “Kakak”, jawabku. “Siapa namanya ?”. Meski tradisi orangtua kami kurang etis menyebut nama kecil orang yang sudah berkeluarga dan mempunyai anak, apalagi yang lebih tua, t.erpaksa kusebut juga. Mendengar jawabanku benar, iapun mengijinkan aku masuk. Aku diberi tempat sebuah kamar kecil di sudut belakang.

Malam hari seperti ada yang membawa aku memanjat tembok setinggi sekitar dua meter di belakang rumah kemudian melompat ke bawah ke tanah kosong. Aku berjalan sampai diujung jalan. Suasana masih gelap, tetapi lampu-lampu rumah sakit tampak terang di kejauhan. Aku merasa kedinginan lalu tiba-tiba menyadari dimana aku berada. Aku cepat-cepat pulang. Untung pintu pagar tidak terlalu tinggi dan aku dapat masuk ke dalam melalui lorong di samping. Tidak ada yang melihat aku. Pagi hari, aku bertanya-tanya apakah ini mimpi. Tetapi aku lihat sendal dan ujung celanaku benar berlumpur. Kekuatan apa yang menggiring aku keluar ? Dan kekuatan siapa pula yang membawa aku kembali ?

Keadaanku yang sebenarnya tak mungkin kurahasiakan lagi ke kampung. Karena disitu kebetulan sedang berkunjung ayah kakak, yang juga kakak ayahku beserta beberapa anggota keluarga lainnya. Ketika pulang tentu mereka akan menceriterakan keadaanku.

Meski kakak dan isterinya tak pernah menjengukku, namun aku tetap berterima kasih mereka masih menerima dan merawatku. Aku tak perlu ke rumah sakit karena cukup meneruskan obat yang telah diberikan. Kekuataku perlahan-lahan pulih kembali. Tetapi memulihkan kondisi fisikku yang amat kurus memerlukan waktu lama.

Aku bersyukur pada Tuhan karena selama dirawat masih dibayarkan sebagian gajiku sehingga aku mempunyai cukup bekal. Lagi pula, kantor kami sebelum ditutup, telah mengontrakan sebuah rumah yang lebih layak di daerah Paseban, Kelurahan Kenari, sehingga aku tak perlu lagi tinggal sendiri di pondokku. ***



No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *