Tuesday, February 2, 2010

Gabung Dalam Kesatuan aksi -IV ( 4.5 )

K

etika itu aku baru lulus ujian masuk menjadi mahasiswa pada Fakultas Farmasi Universitas Pancasila di Jalan Borobudur.

Dari tempat kerja, pagi-pagi aku langsung ke kampus mengikuti masa perkenalan mahasiswa baru (MAPRAM) dan selanjutnya kuliah. Kadang-kadang kami kuliah di ruang Microbiologi Universitas Indonesia Jalan Cikini. Sore hari  praktikum kimia atau botani anatomi di Laboratorium  Kampus Jalan Borobudur dan malam hari kembali bekerja. Waktu untuk istrahat sangat kurang.

          Suatu hari, aku merasakan badanku terasa sangat lesu. Aku hanya berbaring dan mengira hanya letih saja selesai bekerja. Kepala pusing-pusing dan kedua kakiku kejang. Kalau berdiri terasa akan kehabisan tenaga. Seperti biasa kalau pusing aku menelan pel Naspro atau APC yang kubeli di warung. Obat ini  dapat menghilangkan rasa pusing dan tenagaku pulih kembali.Tetapi hanya sementara karena setelah itu kambuh kembali.

            Aku menyadari berobat dengan cara ini tak akan menyembuhkan secara tuntas. Penyakit tak kunjung hilang sedangkan badan makin lama makin kurus. Perut mulai sakit-sakitan. Sering buang air sedikit-sedikit. Lama-lama bercampur darah, kemudian hanya darah dan makin banyak.

           Lalu aku memutuskan pergi memeriksakan diri ke Rumah Sakit Tarakan di Jalan Balikpapan. Tetapi obat-obat yang diberikan tidak banyak menolong. Badan malah terasa makin lelah. Makan tidak lagi teratur karena sudah malas memasak. Lagi pula selera makan makin berkurang. Aku lebih banyak tidur. Lebih-lebih setelah demam, panas dan sakit kepala datang  beruntun.

           Kak Sepe, saudara sepupu yang sering datang  menumpang di  gubukku  tidak  datang-datang  lagi.  Ia  lebih tua kira-kira sepuluh tahun, tetapi belum mempunyai pekerjaan  tetap. Biasanya ia datang dan berjualan minyak wangi disepanjang rel kereta api Gang Sinyar Grogol tempat tinggalku. Tetapi nampaknya usahanya kurang berhasil.

             Sejak hari-hari itu aku masuk kerja tidak teratur lagi. Kadang-kadang masuk, kadang-kadang tidak. Sedangkan kuliah praktis tidak ada lagi. Setiap hari mahasiswa dari berbagai organisasi hanya berdemontrasi. Diikuti berbagai lapisan masyarakat terutama organisasi pelajar, pemuda, pengemudi becak, organisasi guru dan lain-lainnya. Kegiatan belajar-mengajar di tingkat Sekolah Lanjutan juga terhenti.

           Terakhir aku masuk kampus ketika dilakukan apel mahasiwa di lapangan Borobudur. Mahasiwa  terpecah dua.  Satu kelompok memihak  pada  Rektor  dr. Ny. Subandrio, isteri  Wakil Perdana Menteri I, dan pihak lainnya   berpihak pada Jendral Nasution  Ketua Dewan Kurator Universitas, yang ketika itu juga menjabat Menteri Kordinator Pertahanan/ Kepala Staf Angkatan Bersenjata.

Jenderal ini cenderung bersimpati pada  para demonstran yang  menuntut pembubaran Partai Komunis, pembentukan kabinet baru dan penurunan harga-harga.  Dalam apel, Rektor memperingatkan segenap mahasiwa hanya boleh menjadi  anggota Kompas (Korps Mahasiswa Universitas Pancasila) dan tidak ikut-ikutan dalam aksi mahasiswa yang lain. Tetapi sehabis apel, secara diam-diam ada sekelompok mahasiswa senior mengajak ikut begabung dalam demonstrasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) di Universitas Indonesia. 

Aku merasa bersimpati dengan gerakan itu  dan memutuskan ikut bergabung. Saat itu aku lupa membawa  peci  fakultas dan hanya  memakai jaket mahasiswa. Terpaksa kupinjam peci  Siman,  yang saat  itu juga sudah  kuliah di Fakultas Ekonomi. Jadi, jaketnya Fakultas Farmasi tapi pecinya Fakultas Ekonomi yang warnanya lain  Aku  tak dapat mengikuti terus acara orasi  karena aku ingin segera kembali istirahat tidur***

  

 MASUK  RUMAH SAKIT. FATMAWATI (4.6)

 
Tiba-tiba kakak Randa Lagasi kemanakan ibu datang ke gubukku bersama Siman. Ia sedang mengikuti pendidikan calon perwira polisi di Sukabumi dan sedang libur ke Jakarta. Ia memaksaku ke rumah sakit untuk diopname. Aku coba menolak tetapi terus saja ia memaksa. Aku akhirnya mengalah. Rupanya ini atas desakan Maga, kakakku anggota divisi Siliwangi di Sukabumi.

Biarpun badan terasa lemah, di Harmoni aku masih dapat mengejar bis. Berebut naik dengan penumpang-penumpang lainnya. Tujuan kami semula ke Rumah Sakit Jakarta di Semanggi (sekarang Kampus Atmajaya, 2010). Tetapi rumah sakit ini ternyata rumah sakit bersalin. Akhirnya kami lanjut ke Rumah Sakit Fatmawati di Cilandak. Aku dibawa ke kamar paling ujung yang mempunyai enam tempat tidur.

Aku lihat pasien-pasien yang ada disitu semua laki-laki. Masih muda-muda hanya mungkin mereka lebih tua beberapa tahun. Seorang diantaranya menderita sakit kuning dan aku lihat gula satu toples penuh dapat dihabiskannya dalam sehari.

Seorang dokter datang memeriksaku. Perut, nadi, mata dan dada. Setelah itu contoh darah diambil dan dimassukkan ke dalam botol. Besoknya urine, faeses dan rontgen. Aku bersyukur pada Tuhan dan berterima kasih pada petugas-petugas rumah sakit ini. Karena nampaknya mereka benar-benar bersungguh-sungguh untuk mengetahui secara menyeluruh penyakit yang kuderita. Suhu badanku tinggi sekali. Mereka memasangi termometer, mengompres kepalaku dengan es.

Makananku diatur ketat. Tidak boleh menerima makanan dari luar. Hal ini pada mulanya tidak menjadi masalah. Karena aku sendiri memang tidak mempunyai selera makan. Mereka memberiku segelas minuman seperti cendol tapi tak kujamah samasekali. Begitu juga menu rutinku, seporsi kecil bubur susu kekukning-kuningan dengan segelas sari pepaya jus, hanya kucicipi sedikit, terkadang tidak sama sekali.

Kakak Maga baru tiba pada suatu sore beberapa hari kemudian. Mereka rupanya telah dipindahtugaskan ke Bandung. Ia memarahiku ketika tahu aku tidak mau makan. “Dalam keadaan seperti ini, tidak ada orang dapat menolong kecuali dirimu sendiri", katanya sambil memasangkan kelambu tentara yang dibawahnya karena rumah sakit belum menyediakannya. Nyamuk memang banyak sekali. Meskipun aku tak ada selera makan, namun aku memaksakan juga makan. Tak mau mengecewakannya. Ia telah datang jauh-jauh dari Bandung dan harus pulang malam itu juga.

Aku memang harus menjalani diet yang keras. Bubur susu dan setengah gelas sari pepaya. Itulah menuku setiap siang dan sore selama tiga minggu pertama. Lama-kelamaan membosankan juga. Tidak ada variasinya. Lagi pula, bagaimana makanan ini dapat memulihkan kembali tubuhku yang sudah menyusut. Terasa seperti tidak makan sama sekali. Obat-obat berbagai jenis yang banyaknya segenggam dan setiap kali harus kutelan lebih terasa masuknya dalam perut.

Kini timbul pengalaman aneh. Keringatku timbul luar biasa banyaknya. Selimut, seprei dan kasur basah. Kasur kubalik dan keringat kusekah, tetapi keringatku yang terus keluar lagi-lagi membasahinya. Aku menjadi risih dengan pasien-pasien yang lain. Aku pindah ke tempat tidur di sebelahku yang sudah kosong. Tapi tidak lama kemudian kasur itu basah lagi.

Tubuhku terus menyusut dan menyusut, sehingga kalau kuperhatikan lengan dan kakiku, benar-benar tinggal tulang berlapis kulit. Kuraba pula bahu, belikat dan dada, tulang-tulangku bertonjolan. Tak dapat kubayangkan bagaimana wajahku karena aku tak pernah melihat kaca. Aku pernah melihat seorang pasien muda berbadan tinggi tetapi sangat kurus ketika kami sama-sama dirawat di rumah sakit Poso. Demikian kurusnya sehingga sudah nampak bagaikan kerangka hidup. Konon, pasien itu akhirya meninggal karena kecerobohannya sendiri. Malam sebelumnya ia diam-diam keluar dari rumah sakit dan meminum jamu.

Aku kini seperti itu. Padahal ketika masih di SMP, aku pernah merasa gusar melihat di kaca badanku yang terlampau gemuk. Kalau bergerak, kedua pipiku bergerak, begitu pula pada paha di atas lutut. Tapi kini sebaliknya. Aku tidak diperkenankan lagi turun dari tempat tidur. Andaikatapun diperbolehkan rasanya aku tak akan kuat lagi. Mandi cukup dengan lap kain basah di tempat tidur. Untuk buang air air kecil senantiasa disediakan pispot.

Penurunan kondisi badan yang demikian cepat, memang merisaukan juga. Diam-diam aku mulai kesal dengan pelayanan di rumah sakit ini. Ketika masuk keadaan tubuhku belum sekurus ini. Mengapa setelah di rumah sakit ini berat badanku turun dengan sangat cepat ? Salah satu sebabnya, kupikir, karena takaran makanan yang terlampau sedikit itu. Makan siang selalu terlambat diantar. Aku tak tahu apakah pengaturan waktunya memang begitu. Umumnya sesudah jam dua siang. Sudah lama menunggu, yang datang tetap menu itu-itu juga. Bubur susu dan sari pepaya.

Aku iri melihat ketiga pasien sekamarku, makanan mereka beraneka macam. Dari tatakan alminium yang dibagi-baikan aku lihat ada telor rebus, sayur, hijau, daging atau entah apa lagi disamping nasi yang sudah lama tak kurasakan lagi. Kupikir, biarpun pengantaran makanan selalu terlambat, mereka mungkin belum lapar, karena kulihat diatas lemari mereka banyak makanan selingan lainnya seperti roti, biskuit, apel dan pisang yang dibawakan keluarga mereka. Aku ? Biskuit saja tidak boleh. Sekalipun dicelup dahulu dengan susu supaya halus. Aku usul agak aku dapat makan nasi lagi. Tapi ibu dokter, ahli gizi yang mengatur makananku tak mengijinkan.

Seminggu kemudian baru aku diberi bubur beras yang sangat lunak. Aku selalu merasa lapar. Ketika Siman datang membesuk, aku minta dibelikan singkong rebus. Dan keesokan harinya benar-benar ia bawa. Aku tak perlu menunggu lama. Setelah minum obat tengah malam, singkong rebus itu kulahap satu per satu. Kukunya halus-halus secara sembunyi-sembunyi dalam kelambu sambil berbaring ketika semua perawat berada di ruang jaga. Rasanya nikmat. Selera makanku rupanya mulai timbul lagi, berbeda jauh ketika baru masuk.***



No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *