Monday, February 22, 2010

Memberantas "Padenge" di Kabupaten Poso (4.14)

Pada suatu ketika aku mendapat berita ibuku sakit keras. Dengan alasan itu aku diijinkan pulang ke kampung sanak saudaraku Uluanso-Kumpi, dekat Beteleme. Malahan aku dapat menggunakan tiket cuma-cuma Jakarta-Ujung Pandang pulang pergi sebagai hasil kerjasama koran kami dengan Mandala Airlines.

Ibu ternyata sudah membaik. Malahan aku yang tiba-tiba sakit nyeri otot belakang. Kalau bergerak terasa sangat sakit. Makin hari kesehatanku mulai pulih. Namun aku mengirim telegam ke kantor perihal kesehatanku dan mungkin akan terlambat kembali ke Jakarta.

Lagi pula aku ingin menggunakan kesempatan beberapa hari untuk melakukan kegiatan jurnalistik. Aku tidak ingin kembali ke surat kabarku tanpa membawa oleh-oleh laporan jurnalistik. Aku juga ingin berbuat sesuatu untuk perbaikan tanah kelahiranku. Dan kini kesempatan itu tersedia bagiku. Banyak yang dapat kulakukan.

Kulihat kehidupan rakyat tetap memprihatinkan. Prasarana transportasi tambah rusak. Kegiatan ekonomi lesu. Kota Beteleme yang dahulu dibakar gerombolan perusuh, masih amburadul. Demikian pula Kampung Tinompo tempatku sekolah tiga tahun lebih makin merosot.

Pada hal di daerah-daerah lain pemerintah-pemerintah daerahnya beserta masyarakat sedang berlomba-lomba membangun. Walikota Makasar, Daeng Patompo, Walikota Cirebon Tatang dengan antusias membangun dan mendandani kotanya di sana sini. Mereka tidak mau disebut sedang meniru-niru Gubernur DKI Ali Sadikin yang ketika itu sedang harum namanya karena kesuksesannya membangun Jakarta. Malah Ali Sadikin yang meniru, kata mereka.

Dari berbagai keluhan penduduk dan pengamatanku, yang paling menyengsarakan rakyat adalah praktek "padenge", yaitu pemaksaan rakyat untuk memikul barang bawaan pribadi para pejabat pemerintah dan personil militer dari kampung ke kampung tanpa bayaran sedikitpun ! Mirip "romusha" jaman Jepang. Sebelum itu sudah ada pawai konvoi truk para mahasiswa dari Makasar ke Sulawesi Tengah yang menuntut penghentian padenge ini tetapi kemudian kembali seperti semula.

Pemaksaan serupa hampir kualami sendiri. Ketika masih sakit dan duduk beristrahat di kursi beranda, tiba-tiba seorang prajurit memanggil-manggil aku setengah membentak dari jalan raya. Karena aku tak bereaksi, ia lalu bergegas dengan sikap marah akan memasuki pintu pagar. Ketika kukatakan, aku sedang sakit ia pergi.

Kalau ia sampai melakukan kekerasan, pasti aku akan melayangkan berita protes ke Mabes Hankam dan Mabes AD di Jakarta melalui koran kami. Pada Kartu Pers dari Puspen Hankam maupun Dispen MBAD yang kumiliki tegas dinyatakan agar semua pihak di lingkungannya memberikan bantuan dalam pelaksanaan tugas jurnalistiknya.

Aku memutuskan berangkat seorang diri ke Poso. Berjalan kaki mengikuti rute jalan potong seperti yang dahulu sering aku lalui kalau pulang libur. Dengan demikian aku dapat melihat perubahan yang terjadi dan membandingkannya dengan kondisi sepuluh tahun lalu ketika terakhir kutempuh setamat SMA di Poso.

Ternyata sungguh menyedihkan. Jalan raya yang dahulu masih bisa dilalui mobil, kini di beberapa ruas sudah seperti jalan setapak. Padahal jalan ini jalan negara. Di beberapa tempat aku berjumpa dengan penduduk yang sedang memaras jalan. Sebagian diantaranya orang tua-tua, paman-pamanku dan pemuda dari Uluanso, kampung asalku.

Ada yang sakit tapi tak ada obat. Mereka mengeluh, karena tepaksa meninggalkan berhari-hari kebun dan sawah mereka yang sudah siap panen. Padahal rawan dari serangan hama dan binatang-binatang perusak. Tidak ada bayaran dan harus membawa bekal sendiri.

Selanjutnya aku masih berkali-kali berjumpa dengan padenge, memikul barang yang berat-berat diikuti pemilik-nya yang melenggang. Entah ia pejabat pemerintah atau anggota militer atau polisi. Hatiku ikut merasa pilu.

Di Poso aku ke kantor Kabupaten. Ingin mengetahui apa yang telah dilakukan dan bagaimana progam pembangunan pemerintah daerah. Tetapi sungguh mengherankan, ketika diberitahukan mereka tidak memiliki Rencana Pembangunan Lima Tahun Daerah. Padahal ketika itu sudah menjadi keharusan, baik Pemerintah Pusat maupun Daerah membuat Repelita.

Akupun menemui pula komandan distrik militer Kabupaten Poso seorang Mayor dan mempertanyakan pemasalahan padenge. Ia mengakui keadaan itu mengingat kondisi perhubungan yang buruk. Ia berjanji untuk mengurangi perjalanan anggota-anggotanya yang kurang perlu dan tidak terlalu membebani rakyat.

Tidak lama setelah itu memang padenge mulai berkurang dan berakhir sejalan dengan mulai direhabilitasinya kembali jalan-jalan raya dan jembatan-jembatan.

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *