Monday, February 22, 2010

Dibreidel dan Masuk Daftar Hitam - (4.16)

Pada awalnya kebebasan pers di bawah pemerintahan Presiden Suharto nampaknya akan tejamin. Koran "Indonesia Raya" pimpinan Mochtar Lubis dan "Pedoman" pimpinan Rosihan Anwar yang dahulu dilarang diijinkan terbit kembali. Undang-Undang Pokok Pers diterbitkan. Meskipun adanya Ijin terbit dan Ijin cetak dari Pemerintah tetap diwajibkan, namun pemanggilan terhadap wartawan tidak sembarangan. Hanya Jaksa Agung yang boleh melakukannya, dan itupun hanya boleh terhadap Penanggung Jawab suratkabar.

Tetapi lama-kelamaan, pemerintah mulai lagi memperketat pengendalian terhadap pers. Pejabat-pejabat pemerintah sering melarang pemuatan berita-berita tertentu. Surat kabar yang dianggap melanggar, dihentikan penerbitannya dengan mencabut ijin cetak atau sekaligus dengan ijin terbitnya. Koran "Indonesia Raya" yang gencar memuat berita-berita korupsi dibreidel. Menyusul juga "Pedoman", "Nusantara", Majalah "Ekspres", dan "Harian Kami". Majalah "Tempo" juga dihentikan sementara. tetapi kemudian diperbolehkan terbit kembali.

Karyawan-karyawan mulai dari wartawan, pegawai administrasi, agen dan pengecer koran, kolportir iklan sampai petugas percetakan terpaksa menganggur. Keluarga mereka kehilangan sumber nafkah. Tidak ada forum pengadilan untuk mengajukan pengaduan.

Kami, karyawan Harian Kami seperti dibunuh perlahan-lahan. Ijin Terbit baru dicabut enam bulan setelah pencabutan Ijin Cetak. Ketika itu harapan untuk dapat terbit kembali tetap ada selagi yang dicabut hanya ijin cetak. Selama itu setiap hari kami hanya datang ke kantor, menunggu dan menunggu dan tidak mengambil keputusan apapun karena berharap ijin cetaknya akan diberlakukan lagi.

Selama penantian yang tidak pasti itu, sisa penghasilan untuk kehidupan sehari-hari mulai habis. Karena itu kami masing-masing mulai memikirkan cara mendapatkan sumber penghasilan tambahan sambil menunggu jawaban pemerintah atas kelanjutan penerbitan koran kami. Apalagi bagi teman-teman yang sudah mempunyai tanggungan keluarga.

Ada yang mulai mencoba nasib melalui usaha batu kapur dan ada yang buka warung. Aku sendiri menemui Bapak Ismid Hadad yang sudah menjadi Pemimpin Umum/Redaksi Majalah Prisma, sebuah majalah ilmiah. Ia memberi aku pekerjaan mengoreksi hasil pencetakan naskah yang memberi aku sekedar honor.

Aku juga menghubungi Pak Goenawan Mohamad, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo. Di sana telah bergabung juga teman-teman dari ex. Harian Kami seperti Fikri Jufri, A. Bastari Asnin, Lukman Setiawan, Christianto Wibisono, Bandoro, dan fotografer Ed Zulverdi.

Aku menghadapi kendala. Semua wartawan bekas koran yang dibreidel harus memperoleh rekomendasi dari Kopkamtib untuk dapat bekerja kembali sebagai wartawan. Tetapi aku ogah datang memohon-mohon ke lembaga itu. Aku masih merasa sakit hati atas perlakuan terhadap kami.

Pada saat itu pula Pak Zulharman Said yang ketika itu sebagai Ketua Umum PWI Pusat dan beberapa bekas pengurus Yayasan yang menerbitkan Harian Kami mendirikan PT. Enam-Enam untuk menampung para ex karyawan Harian Kami yang belum bekerja. Kegiatan awalnya adalah usaha klipping berita koran, biro iklan dan bantuan Hukum. Rekan Erman Rajagukguk, SH sebagai Manager Bantuan Hukum, E. Subekti manager Clipping Service Agency dan rekan Abdi Kusumanegara dan Pak Abbas M. Ali menangani Sixty Six Advertising Agengy.

Meskipun aku telah aktif sebagai koresponden lepas di Majalah Tempo, aku masih ke kantor ex. Harian Kami, bertemu teman-teman, boleh tetap menggunakan fasilitas kantor seperti mesin tik bahkan sepeda motor. Aku tergugah melihat inisiatif, solidaritas dan perjuangan keras teman-teman untuk bangkit lagi dari bidang usaha yang sama sekali baru.

Datang subuh-subuh, memborong koran, menandai berita-berita, menggunting, menempel, memfotocopy dan memperbanyak, menjilid, mengirim, mencari langganan dan melakukan penagihan.Mula-mula hasilnya tak seberapa. Tetapi adalah lebih baik ada kegiatan dengan suatu harapan, daripada menunggu saja tanpa kepastian. Mulai timbul keinginanku untuk kembali bergabung.

Teman-teman di Majalah Tempo Jalan Senen Raya 83 rupanya berhasil mengusahakan surat rekomendasi dari Kopkamtib untukku. Aku dipanggil lalu Pak Goenawan memperkenalkan aku ke Direktur Perusahaan. Sejak itu aku sebetulnya sudah menjadi wartawan tetap. Tetapi keinginanku untuk kembali bergabung dengan kawan-kawan di Jalan Kramat VIII/2 makin bertambah kuat.

Tiba-tiba datang instuksi dari Kopkamtib agar semua majalah Tempo terbitan minggu itu ditarik dari peredaran dengan alasan tulisan mengenai salah satu tradisi di kraton Jogya di majalah itu dinilai melanggar tata susila. Aku bertanya pada Pak Goenawan, apakah majalah ini dapat betahan selama lima tahun ? Pak Goenawan menjawab, “bukan lima tahun tetapi lima puluh tahun !” Namun jawaban optimis ini belum meyakinkan aku. Akankah kami akan mengalami lagi perlakuan seperti Harian Kami, Indonesia Raya, Pedoman dan lain-lainnya ?

Karena itu mantaplah keputusanku untuk berhenti dan meninggalkan profesiku di bidang kewartawanan yang selama ini kutekuni, beralih ke bidang lain. Setidak-tidaknya selama masih ada ancaman pemberangusan tehadap dunia pers.

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *