Tuesday, August 25, 2020

Sejarah Perjuangan Suku Mori-Bahono versi TBB (8): MENDAMAIKAN RAJA MORI DENGAN RAJA LUWU


Perang dingin atau ketegangan antara Raja Luwu di Palopo dengan Raja Marunduh di Petasia telah berlangsung sekitar sepuluh tahun. Kepala Suku Tomobahono, Ue Lagasi telah lama mencari jalan untuk mendamaikan kedua raja yang berseteru itu. Karena bagaimanapun, perseteruan kedua raja itu telah ikut membawa pengaruh buruk pula bagi keamanan dan perekonomian kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.

Maka pada suatu hari, Ue Lagasi dengan dikawal Panglima Perangnya, Ue Baby, bertindak dan mengambil inisiatif pergi bertemu dengan Kepala Suku To ‘Ulu Uwoi di Kadupure. Karena ia mempunyai hubungan baik dengan Raja Luwu. Kepada Kepala Suku To ‘Uu Uwoi, Ue Lagasi minta tolong agar diberikan seorang penunjuk jalan ke Usu, tempat raja Palopo bertahta. Tujuannya sebagai pengantara untuk mengupayakan perdamaian dengan raja Mori.

Demi mendengar maksud baik Ue Lagasi, Kepala Suku Ulu ‘uwpo sangat setuju. Ia segera memberikan penunjuk jalan dari Kadupure. Melewati Gunung Papongko mereka terus ke Usu, tempat bertahta Datu Palopo yang bernama Daeng Moroa. Pertemuan Kepala Suku atau Mokole mpalili Tomobahono dengan Daeng Moroa ternyata berlangsung akrab. Apalagi maksud pertemuan untuk mengusahakan perdamaian. Hasil perundingan sangat memuaskan.

Hanya sedikit ucapan Daeng Moroa yang diungkapkan. Tetapi yang paling penting adalah ucapannya, bahwa “perdamaian memang diperlukan dengan semua raja-raja kecil lalu secara bersama melawan tusukan propaganda orang-orang Belanda yang mulai sering mendatangi kami di sini”.

Beberapa hari setelah kembali ke Lasi, Ue Lagasi dan Ue Baby melanjutkan perjalanan ke Petasia. Mereka mau bertemu langsung dengan Raja Marunduh. Setibanya di istana Matanda’u, Ue Lagasi dan Ue Baby memberikan salam kehormatan, lalu mengatakan, “kami berdua telah pergi menemui Datu Luwu di Usu. Sebagai pengantara untuk mengusahakan perdamaian antara kerajaan Mori dan kerajaan Luwu.” Kami disambut dan diterima dengan baik. Malahan Datu Luwu memberikan sebuah tombak kebesarannya yang disebut U’u. Sebagai bukti dan tanda bahwa ia juga menghendaki adanya perdamaian dengan Raja Mori.

U’u atau tombak itu diminta Datu Luwu agar digunakan sebagai penusuk babi yang akan dikorbankan sebagai langkah pertama menuju perdamaian antara kedua raja.

Tombak itu diperlihatkan kepada Raja Marunduh. Tetapi raja ragu-ragu lalu berkata :”Kitao koa Ue, io U’u atuu tekoa mansa gagi duhuto te’ingka”, artinya,”lihat Ue, jangan-jangan U’u itu akan digunakan untuk menusuk kita nanti”. Dijawab Ue Lagasi, “tidak maharaja. Kalau memang tidak benar, kami sudah mati di Usu dan tidak kembali lagi ke Tanah Mori ini.”

Segala persiapan dan tata cara pertemuan antar kedua raja pun mulai dilakukan. Termasuk rancangan pokok-pokok perdamaian yang kemudian dikenal dengan “Perdamaian Sokita”***

 

 

 

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *