Saturday, August 22, 2020

Sejarah Perjuangan Suku Mori-Bahono (7): Masih Takut Dewa Lahumoa, Bahono Aman tenteram.

A

gama atau pemujaan kepada dewa Lahumoa yang dipercaya tinggal di gua-gua dan pohon Apali (beringin) sampai tahun 50-an masih diyakini oleh  sebagian besar orang Bahono. Padahal ketika itu seluruh orang Bahono resminya sudah memeluk agama Kristen. Tetapi baik suku Tomobahono maupun suku Tomatano, masih sangat takut kepada dewa Lahumoa yang dipercayai sebagai pencipta manusia.

Mereka tidak berani melakukan pelanggaran adat dan tradisi karena takut mendapat ganjaran langsung dari sang dewa. Suatu barang berharga yang digeletakkan begitu saja di sisi jalan dan di atasnya diberi lewe mata , yaitu setangkai tanaman yang masih baru, tak akan ada yang berani menyentuhnya. Lewe mata adalah sebagai tanda barang itu sedang dititipkan sementara oleh pemiliknya kepada dewa Lahumoa. Jadi tak boleh diganggu karena ada penjaganya.

Contoh lain, tanaman buah-buahan seperti pohon jambu air dan duku yang digantungi ombo . Sejenis cairan dalam botol kecil tertutup. Artinya, tidak boleh dijamah apalagi dimakan buahnya karena akan menderita sakit perut yang hebat. Pantangan ini amat dipatuhi, bahkan sampai anak-anak kecilpun.

Hewan peliharaan seperti kerbau atau sapi, tidak boleh dipecut dengan tangkai korudu, semacam tanaman liar di padang, karena ternaknya akan mengalami musibah. Tetapi buah tanaman perdu itu dapat dimakan, dan bunganya yang kemerah-merahan seringkali dipakai hiasan pada pesta perayaan-perayaan.

Perbuatan kriminal tak pernah terdengar. Perkelahian ataupun pencurian jarang terjadi. Kalaupun ada, maka semuanya akan diselesaikan oleh Dewan Adat yang sangat disegani. Demikian juga bila ada tindak kekerasan dalam rumah tangga. Mengucapkan kata-kata tak pantas, memukul dengan tangan atau menyakiti dengan kaki, semua ada sanksinya. Biasanya dalam bentuk denda berupa barang. Bisa dengan tanaman tahunan, kain pelekat, sampai daging kerbau. Yang “tehala” atau yang dinyatakan salah, wajib memotong ternak dan membayar dendanya sesuai keputusan Adat. Bisa “aso hila” (separoh) atau “aso mpato” (seperempat) bagian dari daging hewan setelah dipotohg.

Mungkin karena kepatuhan orang Bahono pada adat itulah maka kehidupan masyarakat aman dan terteram. Maka pemerintah tak pernah menempatkan polisi ataupun tentara di Tanah Bahono. TNI baru masuk setelah mulai ada gangguan gerombolan Kahar Muzakar dari Sulawesi Selatan.  ***

 

 

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *