Friday, August 28, 2020

Sejarah Perjuangan Suku Mori-Bahono versi TBB (9): UPACARA DAMAI DI TENGAH SUNGAI KASITAWA


Mata-mata penjanjah dan adu-domba Belanda makin gencar, baik di Palopo mauoun di tanah Mori / Petasia. Meskipun demikian upaya perdamaian Ue Lagasi dengan Ue Baby sebagai penghubung antara Datu Luwu dan Raja Mori, Marunduh, terus berjalan dan perdamaian yang telah lama diusahakan akhirnya menjadi kenyataan.

Upacara pemulihan kembali perdamaian antara Kerajaan Mori/Petasia dengan Kerajaan Luwu/Palopo berlangsung di tepi sungai Kasitawa. Kedua raja yang setuju berdamai menyeujui usul Ue Lagasi dan para tua-tua Bahono agar perdamaian dilaksanakan di suatu tempat di pinggiran Sungai Kasitawa, yang termasuk wilayah Bahono / Lasi dan tata cara penyelenggaraannya dipercayakan sepenuhnya kepada Kepala Suku Bahono sebagai penengah dan tuan rumah.

Menjelang upacara perdamaian, Raja Luwu bediri di tepi selatan sungai Kasitawa yang disertai ribuan pasukan rakyatnya yang bersenjata terdiri dari orang-orang Luwu dan Toraja serta suku-suku  sekutu raja Luwu lainnya.

Sedang di seberang,tepi sebelah utara telah siap bediri pula Raja Mori / Petasia serta pasukannya dari berbagai suku sekutunya dipimpin Panglima perangnya masing-masing seperti suku Impo, Tokolo-kolo, Pantoule, Wulanderi, Toroda dan lain-lain.

Semuanya hadir di tengah padang sebelah-menyebelah sungai, hiruk-pikuk dengan tari perang Cakalele sambil mengangkat dan mendemonstrasikan kepandaian memainkan ponai (pedang)/. Menebas-nebas rerumputan tebal menunjukkan ketajaman senjatanya dan bahwa mereka adalah lasykar pemberani dan siap perang bila diperlukan.

Di tengah-tengah suara riuh-rendah saling sahut-menyahut dari seberang sungai ke seberang lainnya, turunkah Raja Mori yang diwakili Putra Raja benama Beta. Ia diusung beberapa Karua (pembesar kerajaan) ke tengah-tengah sungai. Kemudian turun pula Datu Luwu ke tengah sungai. Setelah kedua Raja saling berhadapan dan memberi hormat, Tadulako suku Bahono Ue Lagasi mengeluarkan sebutir telur ayam putih dan meminta kedua Raja saling memegangnya, sebagai tanda ketulusan hati untuk berdamai antara Raja Mori dan Datu Luwu.

Sesudah kedua Raja dan Ue Lagasi naik kembali dari tengah sungai, dilakukanlah upacara pengorbanan seekor babi sebagai simbol perdamaian yang dilanjutkan dengan pesta makan bersama kedua raja beserta seluruh pembesar kedua kerajaan, hulubalang, lasykar dan rakyat. Semuanhya  telah bercampur-baur dengan gembira karena permusuhan telah diakhiri dan perang tidak akan ada lagi.

Peristiwa ini sangat mengharukan dan menjadi catatan sejarah karena dapat membawa perdamaian yang sejati antara kedua Raja yang   melibatkan   seluruh   rakyatnya   dari berbagai suku. Teristimewa bagi suku Tomobahono / Lasi karena perdamaian itu dilangsungkan di wilayahnya, Tanah Bahono, yaitu di Sungai Kasitawa. Tidak kalah penting pula peranan Ue Lagasi, sebab oleh keberanian,prakarsa serta kenegarawannya maka perdamaian itu dapat terwujud.

Kepiawaiannya selaku juru damai dapat dibanggakan. Sebab kalau kurang hati-hati dan bijaksana serta kurang berwibawa, upaya mendamaikan kedua raja yang sudah lama berseteru itu dan pengaruh mereka sama besar bisa gagal. Dan kalau gagal maka pertemuan itu dapat berubah menjadi perang besar, karena kedua pihak menghadirkan ribuan pasukan pengawalnya. Karena itulah maka Lasi mendapat nama atau julukan “Tondo Dopi Mokole”  yang artinya “Benteng papan kedua Raja”. Kasitawa mengandung arti “memberi kedamaian dan tawa / sukacita antar sesama manusia.” 

Saat itu, pertengahan abad 18, dan diperkirakan tahun 1840, Pasar Sokoiyo dan Sokita  telah tutup lebih dari tigapuluh tahun. Maka dengan tercapainya persetujuan damai, kedua pusat perekonomian Tanah Bahono itu mulai dihidupkan kembali. ***

 

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *