Wednesday, August 19, 2020

Sejarah Perjuangan Suku Mori Bahono versi TBB (6): Piagam Sokoyio, Penjanjian Persahabatan Suku Bahono-Tomatano

Panorama Indah Danau Matano antara Nusa-Sorowako (Desember 2013)

  Suku tetangga terdekat adalah Tomatano. Mereka berdiam di kampung Nuha sekitar tepi Danau Matano bagian selatan. Berhadapan dengan kota yang kini terkenal dengan pabrik nikelnya, Sorowako, di seberang danau Matano.

         Jauh sebelumnya, kira-kira abad ke dua belas, antara warga kedua suku sudah terjalin hubungan tukar-menukar kebutuhan masing-masing. Suku Tomatano terkenal dengan tukang-tukang atau pandai besinya (molabu). Sedang kaum perempuannya ahli membuat polu (tungku),

kuro (belanga), piring, podangea, yaitu alat cetak pembuatan makanan dari sagu dengan kelapa, serta peralatan-peralatan dapur ;ainnya yang terbuat dari tanah liat dan keramik.

        Warga Tomatano menawarkan parang, pedang dan tombak dan peralatan-peralatan dapur tersebut serta botini, yaitu ikan tawar kering asal danau Matano untuk ditukar dengan bahan-bahan makanan dari warga Tomobahono berupa beras dan sagu. Waktu itu masih jarang digunakan alat pembayaran seperti uang. Umumnya barang-barang orang Bahono dipertukarkan dengan bahan pakaian dan hewan.

        Pertemuan tukar-menukar yang semula sederhana, makin lama makin berkembang dan ramai. Hal itu tidak lepas pula dari peran kedua Kepala Suku yang telah membuat perjanjian damai dan kerjasama serta bersepakat untuk selalu saling mengunjungi.

       Kepala Suku Tomatano yang disebut Mohola, sering datang ke Lasi menemui Ue Lagasi.     

Menyeberang Danau Matano dari Sorowako ke Nuka (Des. 2013)




Membicarakan hal-hal yang menyangkut kepentingan bersama. Perundingan yang terkenal adalah yang dilakukan di atas Gunung Sokoyio, karena di situlah
dicapai perjanjian yang berjudul “Perdamaian Sejati”. Usul perjanjian persahabatan ini datang dari Mohola ke Ue Lagasi. Usul ini segera dimusyawarahkan Ua Lagasi dengan tua-tua adat dengan melibatkan rakyat.Ternyata semua setuju untuk segera dilaksanakan.

        Pada pertemuan pertama, kedua kepala suku sepakat bahwa pertemuan tukar-menukar antar warga kedua suku sangat bermanfaat dan karena itu perlu diteruskan dan agar lebih sering dilakukan. Dicapai pula kesepakatan untuk memakai kata “Olu” sebagai sebutan bersama untuk pertemuan tukar-menukar itu.

       Pertemuan kedua kedua Kepala Suku beserta para pemuka adat masingmasing, dilakukan dengan diawali upacara agama, kemudian dilanjutkan dengan membicarakan pokok-pokok kerjasama di bidang lainnya. Di antaranya kerjasama di bidang politik, pertahanan,dan keamanan. Hasilnya adalah kedua pihak sepakat mengadakan perjanjian persahabatan yang kemudian terkenal dengan “Piagam Sokoyio”yang isinya :

Satu, kedua pihak sepakat memelihara perdamaian yang menjamin ketentraman rakyat dan saling membantu apabila ada musuh yang datang menyerang.

Kedua, kedua pihak sepakat memajukan perekonomian untuk kesejahteraan rakyat dan meningkatkan persaudaraan kedua rakyat, termasuk melalui perkawinan.

Siap-siap mendarat di Nuha

Ketiga, sepakat perjanjian ini diikat dengan sumpah   /janjiyang ditandai dengan sebutir telur ayamyangdipegangoleh kedua Kepala Suku.

      Sambil berdiri dan mengangkat tangan, mereka mengucapkan ikrar itu. Telur ayam yang putih mengibaratkan, perjanjian itu dibuat dengan hati. Tulus, putih, suci-bersih seperti warna telur yang tidak ada cacatnya.

        Setelah itu kegiatan perdagangan antar suku melalui olu makin ramai. Disamping sebutan “olu”, mulai  digunakan pula kata “pasar”. Waktu itu belum ada kalender atau penanggalan. Maka untuk menetapkan hari “Olu” atau hari pasar, disepakati hari ke tigapuluh setelah Perjanjian Sokoyio. Demikian seterusnya, olu berikutnya hari ke tigapuluh setelah Olu terakhir.

       Untuk memudahkan, disepakati kedua pihak membuat lilitan tali pada sebuah tiang setiap hari.

Hari pertama satu lilitan, hari kedua menjadi dua lilitan. Demikian seterusnya sampai hari yang ke tigapuluh dengan tigapuluh lilitan.

        Agak menurun sekitar lima kilometer dari Gunung Sokoyio ke arah utara, terdapatlah lembah pertanian orang-orang Bahono. Wilayah ini menjadi jalur lintasan orang-orang ke Pasar Sokoyio dan Pasar Sokita yang mulai dibuka pula. Kedua pasar itu ramai dikunjungi orang terlebih dari Suku Bahono dan Tomatano.

       Tradisi saling mengunjungi yang dicontohkan Ue Lagasi yang selalu mengundang Mohola suku Tomatano pada setiap menyelenggarakan pesta keramaian,  tetap diteruskan dan begitu pula sebaliknya. Dengan hubungan yang semakin erat itu, dan sesuai pula dengan Piagam Sokoyio, terjadilah kawin-mawin antara para remaja kedua suku bersahabat ini. Anak-anak hasil kawin campur To Ture’a-Tomatano ini lazim disebut To Helai (turunan campuran ). Jumlah mereka terus bertambah. Bahkan mereka mempunyai kampung tersendiri di seberang danau Matano dekat Nuha yaitu Taipa. Karena itu mereka sering juga disebut To Taipa.

Seorang Woliampu’u suku Ture’a bernama Hambu kawin dengan seorang tokoh To Matano berpangkat Mohola. Bahkan salah seorang kakak perempuan ayah, Ue Rantena Lapoliwa kemudian menikah dengan warga Tomatano, Ue Lapanangi.

         Hasil nyata dari kerjasama di bidang pertahanan,  adalah ketika  terjadi penyerangan terhadap orang Bahono  yang diam di Benteng Lasi.  Lasykar Matano datang membantu. Sebagian mengepung musuh dan sebagian mulai menyerang. Konon, pihak musuh tiba-tiba terkejut ketika mereka tidak dapat mencabut pedang mereka dari sarungnya. Yang tercabut malah gagangnya.Kalau tidak dicegah Ue Lagasi, pihak penyerang seluruhny akan habis terbunuh.***

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *