Thursday, December 14, 2017

KEPUTUSAN TRUMP MIRIP POLITIK ABAD PERTENGAHAN


Keputusan  Presiden AS Donald Trump yang mengakui  Yerusalem sebagai Ibukota Israel dan sekaligus akan memindahkan kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke Yerusalem, mengesankan kebijaksanaan politik para pemimpin negara kolonial abad Pertengahan.

Ingat saja politik luar negeri  Inggeris Raya di kala itu dengan mottonya Right or Wrong My Country.  Dengan kebijakan politik itu maka mereka merambah bumi ini untuk memperluas kekuasaannya. Menginvasi negara-negara lain dengan kekuatan militernya.
Hal sama juga dilakukan bangsa-bangsa lain seperti Jerman/Austria dibawah pimpinan Otto von Bismarck dengan motto Das Blut und Eisen ( Besi dan darah) yang dengan itu kemudian menginvasi negara-negara tetangganya untuk memperluas kekuasaannya.
Intinya, kalau untuk kepentingan negaraku atau bangsaku, maka kepentingan bangsa lain dapat kuabaikan. Dan seperti itulah yang dilakukan Trump sekarang !
Kalau untuk kepentingan negaranya (pikirnya) maka kepentingan negara / bangsa lain boleh diabaikan. Alasannya, penetapan Yerusalem sebagai Ibukota Israel adalah sesuai dengan keputusan Kongres (semacam MPRnya AS), dan dia hanya melaksanakan.
Disinilah masalahnya. Trump mau jadi “pahlawan”. Yang lebih berani dari Presiden-presiden pendahulunya, yang dianggapnya selalu menunda-nunda pelaksanaannya. Masalahnya, para pendahulunya bukan tidak berani. Tetapi  karena pertimbangan kepentingan perdamaian dunia. Dan penundaan itu tidak menyalahi undang-undang sesuai hak sekresi yang diberikan konstitusi kepada Presiden.
Apalagi AS sebagai negara adi kuasa terkuat masa kini, yang kerap merasa diri sebagai “polisi dunia”  seharusnya menjadi pihak terdepan dalam menjaga ketertiban dunia.
Dalam konteks ini langkah Trump tidak selaras. Khususnya dengan upaya-upaya penuntasan perdamaian di Timur Tengah. Dengan kebijakannya ini Trump telah memporak-porandakan dan merusak hasil perdamaian yang dengan susah payah dirintis Presiden Clinton.
Presiden dari Partai Demokrat ini berhasil mempertemukan Presiden Anwar Sadat dari Mesir dengan  Menachem Begin, Perdana Menteri Israel bahkan kemudian menghasilkan perdamaian damai Mesir-Israel di Camp David tahun 1978.
Tidak berhenti disitu saja. Clinton juga berhasil mempertemukan Yaser Arafat, Ketua PLO dengan  PM Israel  Yitzhak Rabin. Petemuan itu kemudian menghasilkan Perjanjian damai Oslo tahun 1993, yang menyepakati : PLO akan meninggalkan perjuangan bersenjata dan beralih ke perundingan, mengakui eksistensi Israel dan pembentukan pemerintahan Otoritas Palestina.        
Dalam pelaksanaannya ternyata tidak mudah. Fraksi Hamas dari pihak Palestina tidak menerimanya dan memilih untuk terus menempuh perjuangan bersenjata. Akibatnya yang terjadi malah konflik antar sesama fraksi Palestina.
Dibawah Presiden Obama, AS tetap mengupayakan penyelesaian yang dapat diterima semua pihak, tetapi belum berhasil sampai akhir pemerintahannya. Hilary Clinton yang diharapkan dapat meneruskan kebijakan penengahan itu, ternyata gagal dalam Pilpres AS.
Bukan hanya tanda-tanda membaiknya hubungan Palestina - Israel saja yang rusak akibat keputusan Trump. Perjanjian damai Mesir-Israel dan Israel-Yordania juga dapat terganggu. Hal sama juga terjadi dalam kasus Dataran Tinggi Golan. Antara Suriah dan Lebanon di satu pihak dan Israel di lain pihak.
Di Zaman Clinton dan Obama, sebetulnya mulai ada tanda-tanda perbaikan hubungan antara Israel dan Suriah dibawah Presiden Bashar al Assad dengan adanya perundingan damai tahun 2007. Bentrokan-bentrokan yang sering terjadi antara militer Israel dengan golongan garis keras di Palestina dan naiknya lagi  pemimpin-pemimpin garis keras Israel seperti Benyamin Netanyahu , membuat pelaksanaan kesepakatan damai itu sering terganggu. Ditambah lagi dengan keputusan Trump mengenai pengakuan Yerusalem sebagai Ibukota Israel, semuanya menjadi kacau. Kepercayaan akan peran AS yang selama ini dianggap sebagai mediator yang dapat diandalkan , kini  pupus.
Dalam perjanjian damai antara  antara Israel dan Yordania tahun 1994 telah disepakati memberikan kewenangan kepada Yordania sebagai penjaga situs-situs suci keagamaan di Yerusalem. Dan karena sebelumnya sudah ada perjanjian damai antara Israel dan PLO/Palestina  di bawah Yasser Arafat,  maka pada tahun 2013 Raja Yordania Abdullah II dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengadakan kesepakatan  bahwa penjagaan kota suci Yerusalem akan dilakukan bersama Palestina – Yordania.
Ekses lain dari pengakuan Yerusalem sebagai ibukota Israel oleh AS, dikhawatirkan akan membuat Israel seperti mendapat angin untuk  ke depan melakukan tindakan-tindakan lebih agresif dalam  menata kota suci itu. Pada gilirannya bukan saja akan makin mengurangi hak-hak rakyat Palestina, tetapi juga dalam keleluasaan para peziarah penganut Islam dan Kristen dari berbagai negara ke Yerusalem yang  dianggap sebagai kota suci mereka.
Israel mungkin berdalih Yerusalem dan Palestina sebagai “tanah yang dijanjikan” untuk mereka sebagai keturunan Abraham seperti yang tertulis dalam Kitab Suci. Tetapi jangan lupa. Perjanjian itu selalu diikuti dengan syarat bahwa “apabila mereka tetap setia “ kepada TUHAN. Dan apabila mereka tidak setia, mereka akan diserahkan kepada kuasa bangsa-bangsa lain termasuk tanah-tanah mereka. Peringatan ini selalu diulang-ulang oleh para Nabi.
Kenyataan, bangsa Israel dan Yahuda menurut Kitab Suci, memang berulang kali memberontak kepada Tuhan. Dan akibatnya sejarah mencatat berulang kali pula bangsa ini mengalami penindasan bangsa-bangsa lain bahkan menjadi tawanan.  Di zaman Perjanjian Lama misalnya oleh bangsa Syria, Aram, Babil. Di zaman modern oleh bangsa Romawi, lalu Turki dibawah Kemal Ataturk dan bangsa Arab.
Jadi, janji Tuhan itu bukannya tanpa syarat. Bahkan di Kitab Suci  sering disebutkan bangsa-bangsa lain seringkali dipakai Tuhan menghukum Israel yang “tegar tengkuk” itu. Bahkan Bait Allah yang dibangun di zaman Salomo (Sulaiman) atas tuntunan Roh Tuhan sendiri, Tuhan mengizinkannya untuk dihancur-leburkan.
Jadi sah-sah saja, kalau tanah Palestina pada saat-saat  tertentu berganti penguasa politik. Kalau Tuhan menghendaki atau mengizinkan sesuatu terjadi, maka tak akan ada satu kekuatan apapun yang dapat menghalanginya.
Satu lagi yang patut diingat : bahwa Tuhan selalu menghendaki suatu “perjanjian” dihormati. Ingatkah Perjanjian damai Israel dengan penduduk Gibeon yang ketakutan saat perebutan tanah Kanaan ?
Tuhan melalui Musa sudah memesankan untuk tidak mengikat perjanjian dengan penduduk tanah yang akan ditaklukan. Tetapi nyatanya oleh kecerdikan pihak Gibeon, Israel yang dipimpin Yosua teperdaya dan mengikat perjanjian damai dengan mereka.
Lalu pada zaman raja Saul, raja mulai membunuh dan bermaksud membasmi orang-orang Gibeon. Akibatnya Tuhan menghukum Israel dengan bencana kelaparan tiga tahun berturut-turut. Penyebab tulah itu diketahui raja Daud yang menggantikan Saul ketika ia menanyakan  kepada kepada Tuhan melalui perantaraan Nabi.
Maka ketika Daud memenuhi permintaan pemuka-pemuka Gibeon agar  Daud menyerahkan tujuh anak-anak Saul kepada mereka untuk digantung, barulah tulah itu berhenti. Artinya, Tuhan mau perjanjian damai itu dihormati, sekalipun perjanjian damai itu sebelumnya di luar kehendakNya.
Mestinya peristiwa ini menjadi peringatan bagi Israel untuk tetap menghormati perjanjian damai apapun yang mereka telah buat dengan bangsa-bangsa / negara tetangganya. Fakta menunjukkan dengan diikatnya perjanjian damai dengan Mesir dan Yordania, bangsa Israel dapat hidup berdampingan dengan baik dengan warga kedua negara itu.
Tetapi kurang adil rasanya kalau himbauan hanya ditujukan kepada Israel saja. Pihak Palestina, khususnya Hamas dihimbau juga  kerelaannya untuk dapat mengikuti jejak PLO mengakui eksitensi Israel. Baik sebagai bangsa maupun negara. Lalu kemudian merundingkan kesepakatan damai.
Saatnya untuk realistis. Secara konfrontatif atau militer, adalah tipis kemungkinannya untuk menghilangkan eksistensi Israel saat ini. Baik sebagai bangsa maupun negara. Disamping sudah diakui PBB dan didukung sejumlah negara-negara besar, secara militer kekuatan  negara-negara yang selama ini menjadi lawan Israel saat ini dalam posisi lemah oleh berbagai konflik dalam negerinya.
Maka adalah suatu alternatif adil dan dapat diterima apabila Yerusalem tetap terbagi dua : Yerusalem barat di bawah kekuasaan Israel dan Yerusalem Timur di bawah kekuasaan Palestina. Keduanya dapat menjadikan wilayahnya sebagai Ibukota negara masing-masing dan membiarkan setiap negara lain membuka kedutaannya di sana.
Pada waktu yang sama, Trump diharapkan bersedia pula membatalkan keputusannya mengakui Yerusalem sebagai Ibukota Israel dan kembali menjadi mediator perdamaian.
Sekali lagi, cara-cara konfrontatif hanya akan tambah memperuncing konflik yang akan mengakibatkan terus bertambahnya korban dan penderitaan rakyat dari kedua pihak.      ***
                                                                        
                   
                                                                
 
                                                                                                                              


No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *