Thursday, November 26, 2020

CATATAN DI HARI GURU NASIONAL 251120

 


1

Di hari Guru Nasional ini saya ingin menukilkan kembali kata-kata dalam “Mars PGRI”, yang melukiskan cita-cita luhur para guru kita sejak dahulu kala. Begitu meresapnya di hati sehingga sejak SD atau di SMP lagu ini tetap dapat kudendangkan hingga di usia lansia ini.

Kebetulan gedung sekolah kami, SMP Negeri II di Jalan Talasa Poso tahun lima puluhan, satu halaman dengan gedung SGA (Sekolah Guru Atas) Poso, sebagai lembaga pendidikan tertinggi di kala itu di Poso. Di bawah Direkturnya, Bp. Karafi, mars PGRI ini sering kali mereka nyanyikan sehingga kamipun, siswa-siswa SMP mampu menyanyikannya.  Sayang, tokoh cerdas ini termasuk salah satu dari ke sembilan cendekiawan yang dibunuh secara brutal oleh aparat resmi dalam kaitan dengan tuntutan otonomi daerah untuk Sulawesi Tengah ketika itu.

Ayat 1 dari lagu adalah sbb :

PGRI….., PGRI. Abadi……., abadi

Tetap mempersatukan diri

Dengan nama nan jaya, nan sentosa

lahir negara kita.

Wahai kaum guru semua

Bangunlah rakyat dari g’lita…

Kitalah penyuluh bangsa,

Pembimbing melangkah kemuka

Insyaflah ‘kan  kewajiban kita

Mendidik . mengajar p’ra putra

Kitalah pembangun jiwa

Pencipta kekuatan negara.

 

2

. Di masa SD juga, saya pernah mendapat sebuah buku kecil yang sudah usang. Ukurannya mungkin hanya sekitar  satu setengah kali satu jengkal dan sudah tak punya sampul. Membaca isi buku ini, nampaknya dimaksud sebagai pegangan untuk para prajurit TKR (Tentara Keamanan Rakyat) atau TNI sekarang. Mungkin yang bawa kakak saya, yang menjadi anggota Pandu (sekarang Pramuka) dari sekolahnya di kota Kolonodale.

Menariknya, dalam buku ini penulisnya berupaya menyadarkan secara panjang lebar akan patutnya kita, setiap orang, memberikan penghormatan yang spesial kepada tiga jenis tokoh. Salah satunya terhadap GURU. Lainnya, orang tua dan tokoh agama.

Mestinya, buku kecil seperti ini dicetak massal dan dibagi-bagikan kepada setiap anak-anak. Karena meskipun dimaksudkan sebagai pegangan para prajurit, tetapi isinya tetap mengena bagi setiap manusia siapapun yang pernah mempunyai ayah-ibu, pernah sekolah dan pernah mendapat pelajaran agama. Isi buku inipun telah turut mempengaruhi sikap hidup saya ke depannya. Ketika berhadapan dengan guru, orangtua dan rohaniwan, selalu teringat nasehat pada buku kecil ini.

Diantaranya diberi contoh-contoh bagaimana  para guru, mulai dari tingkat pendidikan terendah sampai pendidikan tinggi, dengan semaksimal kemampuan mereka berusaha mengajarkan kita berbagai macam  ilmu pengetahuan. Agar kelak menjadi orang yang berhasil. Suatu tugas yang tak akan mungkin semuanya diturunkan oleh orangtua.

Maka sangatlah disayangkan apabila masih ada murid atau siswa bahkan mahasiswa yang tegah-tegahnya melawan bahkan sampai menganiaya guru. Guru yang sering dijuluki “pahlawan tanpa tanda jasa”.

3

.Mengapa saya memulai tulisan ini dengan Mars PGRI di atas ? Karena diakui terkadang ada juga guru yang masih kurang insyaf akan fungsinya. Mendidik, mengajar, membangun jiwa. Contoh: pada suatu pelatihan para anggota PNS (Pegawai negeri Sipil), kami disuruh membuat makalah tentang pendidikan. Saya diminta menjadi ketua Tim dan kebetulan anggota-anggota kelompok kami, kecuali saya, semua guru-guru aktif. Yang kusesalkan, tiba-tiba salah seorang dari anggota bergumam, “bukan anak kita ini….”. Sambil geleng-geleng kepala  saya menegur guru ini. Tidak seharusnya seorang guru berkata atau berpikiran demikian. Saya juga membayangkan bagaimana kalau anak-anak saya yang saat itu masih di SD mendapatkan guru yang berpikiran demikian.

Contoh lainnya, ketika ada oknum guru menyakiti secara berlebihan anak didiknya seperti yang kualami. Suatu pagi saya mendapat giliran tugas pagi-pagi  sekali harus datang membersihkan ruang kelas sebelum murid-murid lain masuk keras. Karena kelas masih berlantai tanah, maka sebelum dan sesudah disapu harus diperciki air lebih dahulu supaya debu tidak beterbangan. Saat  membawa air penyiram terakhir dari sumur, di depan pintu kelas sudah menanti seorang guru baru dan membenturkan satu persatu kepala setiap murid yang masuk kelas ke kosein pintu. Alasannya datang terlambat. Guru baru ini, tanpa bertanya dan melihat bambu berisi air penyiram di tangan – sayapun ikut dibenturkan ke kosein pintu yang keras itu. Lebih dari seminggu kepala terasa pusing. Dasar masih lugu dan tak biasa mengadu, peristiwa ini tak kulaporkan pada kakaku. Padahal suaminya adalah mantan guru juga. ***

 

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *