Sunday, September 20, 2009

TIDUR DI TENGAH-TENGAH GEROMBOLAN (2.9)

Perdagangan komoditi rotan dan damar sedang bagus di Beteleme. Diberbagai halaman nampak batangan-batangan rotan berbagai ukuran dijemur. Rakit yang memuat rotan tak putus-putusnya lewat di sungai Laa menuju Pelabuhan Kolonodale. Iringan-iringan truk atau roda (gerobak) berisi rotan yang ditarik lembu terlihat di mana-mana.

Warga bahkan anak-anak sekolah ramai-ramai menggunakan waktu luang membersihkan batangan-batangan rotan untuk mendapatkan upah. Berkarung- karung damar juga setiap harinya dinaikan atau diturunkan dari truk-truk di depan toko para pedagang besar kedua komoditi itu.

Perkembangan ekonomi di Beteleme terasa maju pesat. Banyak penduduk mendadak jadi kaya. Juga di kampung Ulu’anso. Kepala kampung sudah dapat membeli mobil. Hal yang sebelumnya tak pernah terpikirkan. Peluang mendapatkan uang itu tak juga kulewatkan. Pada masa libur setelah ujian penghabisan SR, aku beberapa kali mengikuti ajakan teman-teman mencari uang ikut membersihkan batangan rotan dengan pisau. Waktu itu aku belum pindah dari Korowalelo kembali ke Uluanso.

Hubungan warga Uluanso dan Kumpi dengan penduduk Nuha dan Pangempa yang merupakan wilayah kekuasaan TII membaik. Pemberontak membiarkan penduduk kedua pihak saling berhubungan lagi dan mereka juga tidak pernah menampakan diri.

Bagi warga Uluanso, ini sungguh menggembirakan karena mereka sudah bebas lagi mendapatkan atau memanfaatkan sisa-sisa harta milik mereka, seperti mencari ternak dan memotong sagu sebagai makanan pokok kedua setelah beras. Tapi yang paling menggembirakan, pertemuan diam-diam ini ternyata amat menguntungkan kedua pihak yang sebelumnya bermusuhan dengan terbentuknya perda-gangan barter. Penduduk asal wilayah kekuasaan TII menyediakan komoditi rotan dan damar, sedangkan warga dari Uluanso dan Kumpi menukarkannya dengan bahan keperluan, seperti gula, bahan pakaian, sabun, rokok, minyak tanah, alas kaki dan sebagainya.

Pada suatu hari ketika masih libur, aku diajak ayah menggunakan waktu luangku ikut ke kampung Ulu’anso lama membeli damar untuk kemudian dijual dengan harga yang menguntungkan. Tapi akibatnya tragis. Kami berangkat dengan membawa kerbau dan kuda beban.

Bagiku perjalanan ini merupakan juga perjalanan nostalgia. Karena untuk pertama kalinya aku akan melihat lagi kampung kelahiranku setelah lima tahun aku tinggalkan. Lebih menyenangkan lagi karena ternyata tempat pertemuan di rumah kami, tempat aku dan kakak-adikku dilahirkan dan dibesarkan ! Hanya sayang kami tiba sudah lewat petang, agak gelap, sehingga aku tak dapat mengamati dengan baik kondisi rumah kami dan sekitarnya.Aku lihat, bangunannya masih kokoh, hanya sebagian besar dindingnya, dahulu dari papan, sudah tidak ada.

Tempatnya memang strategis, terletak di tikungan pertigaan memasuki kampung Uluanso dari arah Nuha. Ketika tiba disitu sudah banyak orang, semuanya orang Matano. Ayah menyapa mereka kemudian kami naik mencari tempat di sekitar mereka di bangunan bagian belakang. Lantainya dulu dari bambu tapi kini telah berganti papan. Dinding-dindingnya tidak ada lagi. Sedih aku melihatnya. Meskipun kami memiliki dua kamar besar, namun kami dahulu lebih suka tidur disini bersama-sama dalam kelambu yang besar. Diatasnya selalu terbentang sebatang kayu tempat menggantung buaian kami ketika masih bayi. Dapur kami pun terdapat di situ dan kami selalu duduk makan di situ pula.
Pohon durian di Lokasi rumah kami yg dibakar thn 1958,

Ayah menyuruh aku tidur sambil menunggunya. Ia meninggalkan aku bersama orang-orang ini, entah ke mana. Aku selama ini tinggal di Korowalelo dan belum menge-tahui seberapa baik hubungan kedua pihak sehingga sangat cemas. Orang tua-tua Matano dan kampung kami sebenarnya masih saling mengenal baik, bahkan salah seorang kakak perempuan ayah kawin dengan orang Matano dan sudah mempunyai banyak anak cucu di Nuha. Sebelum ada TII setiap hari raya Lebaran, Natal, Tahun Baru, pesta perkawinan atau Padungku (hari Pengucapan Syukur selepas musim panen) kedua pihak selalu saling mengunjungi dan mengundang.

Tapi sungguhkah warga Matano ini masih seperti dulu dan tidak berubah sikap mereka setelah berada di bawah pengaruh TII ? Kalau ya, apakah hubungan diam-diam ini juga atas seijin TII ? Sebab kalau tidak, bisa saja mereka tiba-tiba muncul dan menculik kami ! Atau mungkinkah di antara orang-orang Matano ini juga terdapat anggota TII ?

Dari suara pembicaraan mereka, aku tahu mereka ada beberapa kelompok. Sebagian di bangunan tengah dan beberapa lainnya di depan. Makin malam kegelapan makin pekat. Hanya ada satu dua obor damar yang sebentar-sebentar hampir mati oleh tiupan angin. Dari balik selimut aku coba memperhatikan muka beberapa orang yang nampak samar-samar. Mereka sudah tua-tua. Tidak kulihat ada lelaki berambut panjang menyeramkan, seperti sosok seorang anggota TII yang sering kudengar.

Aku tak dapat tidur karena cemas dan terus mengikuti pembicaraan mereka. Aku hanya tahu beberapa kata bahasa Matano sehingga aku tak dapat memahami apa yang mereka bicarakan. Mereka tidak pernah menyapa aku. Mungkin mereka menyangka aku sudah tidur. Tetapi aku senantiasa waspada. Apabila terjadi sesuatu yang akan mengancam diriku, aku akan segera melompat dan lari bersembunyi melalui bekas jalan alternatif yang dahulu sering kami lalui.

Sebetulnya pemandangan di luar malam itu menarik untuk dinikmati. Dari tempatku berbaring yang tak berdinding itu dapat kulihat ribuan kunang-kunang dengan sinar berkelap-kelip beterbangan. Pohon-pohon di sekitar rumah gemerlapan laksana pohon terang di malam Natal diselimuti serangga-serangga kecil bercahaya itu.

Akhirnya ayah datang juga. Hari sudah menjelang subuh. Rupanya ayah malam itu sibuk menyiapkan semua muatan kami, berupa damar dalam karung-karung. Semua-nya sudah siap, di atas pelana kuda maupun kerbau. Kami berangkat pulang dengan menggunakan obor. Aku menggiring kerbau dan ayah menggiring Balibi di belakang. Menjelang siang, kami sudah menuruni jalan menuju Undoro.

Tiba-tiba kami berjumpa dengan serombongan polisi berjalan kaki sekitar tiga puluh orang. Orang paling depan memakai jaket dan bersenjata sten. Ia bertanya dengan suara keras: ”Di mana ada banyak orang.?” “Di sana. Di Uluanso”, jawabku gugup. Salah seorang memanggul senjata panjang dengan sangkur diujungnya. Ia menusuk karung damar di atas pelana, namun sesudah itu mereka terus jalan bergegas.

Aku berpaling. Mereka juga menanyai ayah, tetapi kemudian membiarkannya berlalu mengikuti aku di belakang. Dalam hati aku berpikir, kejadian ini akan berakibat serius. Bagaimana dengan orang-orang yang masih tengah berbarter di Uluanso ? Akankah kami mendapat ganjaran hukum ? Aku tidak dapat mengikuti lagi semua kelanjutannya karena aku harus segera kembali ke Korowalelo. Hanya kudengar, semua rumah di Uluanso tua dibakar habis oleh polisi. Rumah kami hangus total. Rupanya di situ tersimpan berkarung-karung damar yang memang mudah terbakar.

Beberapa warga Uluanso tertangkap. Penangkapan itu berlanjut dengan pemanggilan sejumlah warga lainnya ke kantor polisi Kolonodale, termasuk ayah. Kakak Seti, sebetulnya tidak termasuk orang yang dipanggil. Tetapi karena merasa pernah ikut, ia juga minta ditahan. Ibu menyesalinya tetapi dapat memahami kejujuran putera keduanya itu.

Akibat peristiwa itu, perdagangan komoditi terhenti sama sekali. Kegiatan ekonomi kembali lesuh. Hubungan dengan warga Matano kembali terputus. Ketegangan dan sikap permusuhan terulang kembali. Bahkan Kepala Kampung Kumpi tewas diujung tombak ketika dijebak. Tidak lama kemudian Paman Samaila kakak ibu dan Kak Tinia ikut terjebak. Tetapi atas mujizat Tuhan berhasil lolos.

 LOLOS DARI TANGAN PENCULIK (2.10)

Berita penculikan paman Samaila, dan kak Tinia tersebar di Uluanso Baru melalui kak Ali. Bahkan kemudian meluas ke Beteleme dan seluruh Kecamatan. Suasana jadi mencekam. Kemanakan ayah dari kakak yang kedua ini, lolos dari penculikan gerombolan berkat kecerdikannya.

Mereka bertiga sedang dalam perjalanan pulang dari Uluanso Tua dengan membawa hasil bumi dan ternak. Baru sekitar dua kilometer berjalan, mereka berjumpa dengan sekelompok pasukan mirip tentara resmi. Lengkap dengan topi baja, berseragam hijau dan bersenjata lengkap. Mereka memanggil-manggil dengan isyarat tangan sambil berteriak mengaku TNI. Paman dan kak Tinia terus mendekat dan kemudian disuruh duduk di sebuah bangku panjang.

Ketika kak Ali mendekat, ia melihat diantara orang-orang itu ada yang berambut panjang. Ia curiga, barangkali bukan TNI tapi gerombolan yang menyamar. Ia lalu mencari akal untuk meloloskan diri.Ia sedang menggiring seekor kerbau yang masih agak liar. Ia minta ijin sebentar untuk menambatkan kerbau itu. Dengan berlindung di balik tubuh kerbau liar itu ia dengan cepat melarikan diri. Dari dialah tersebar berita penyanderaan paman dan kak Tinia kepada warga sekampung.

Tidak ada tindakan yang dapat segera dilakukan kecuali semua laki-laki mempersiapkan diri untuk mela-kukan perlawanan bila gerombolan muncul di Ulu’anso Baru. Polisi tidak ada di Kecamatan Lembo. Yang ada hanya di Kolonodale. Tentara juga tidak ada karena tentara Permesta baru saja melarikan karena tekanan pemuda-pemuda GPST.

Suasana kampung tegang. Semua laki-laki bersama GPST bersiaga, lebih-lebih malam hari. Sebab ada infor-masi gerombolan itu telah sampai di Undoro, kira-kira sehari perjalanan dari Beteleme. Ibu semalam-malaman menangis dan berdoa bagi keselamatan paman dan kak Tinia.

Besoknya adalah hari Minggu. Semua warga pergi beribadah dalam kondisi prihatin. GPST dan pemuda memang sudah menyiapkan pertahanan di gerbang-gerbang benteng bila musuh benar-benar datang menyerang. Belum ada berita terbaru mengenai nasib para sandera.

Ketika kebaktian umum tengah berlangsung, tiba-tiba datang berita menggembirakan. Paman telah tiba dengan selamat di rumahnya. Ia hanya menggunakan celana pendek tanpa baju. Dalam waktu singkat rumahnya dipenuhi warga. Lebih-lebih setelah kebaktian selesai. Bangunan gereja memang tidak jauh dari rumah paman. Yang tidak dapat masuk dalam rumah
hanya berdiri atau duduk di rumput di halaman atau kiri kanan rumah. Mereka menyimak dengan rasa syukur bercampur cemas kisah pengalaman paman selama penyekapan gerombolan sampai dapat lolos. Cemas karena nasib Kak Tinia ketika itu belum diketahui.

Gerombolan, kata paman, semula memang berencana akan ke Beteleme. Hari itu mereka terus berjalan. Tiba di Undoro sudah petang dan mereka putuskan untuk bermalam di kampung yang sudah kosong itu.“Setelah ditangkap, kami disuruh membuka baju,” kata paman. “Moncong bren diarahkan ke perutku dan salah seorang diantara mereka memeriksa kami dengan kasar. Ia bertanya apakah kami beserta keluarga bersedia mengikuti agama mereka. Aku jawab, soal keluarga, aku tak dapat menjamin karena itu masalah pribadi masing-masing. Untung mereka tidak memukuli kami.

Malam hari kami disuruh tidur. Berbaring pada selembar tikar dengan tangan dan kaki terikat. Kepala dan kaki berlawanan arah sehingga kami tidak dapat saling berbicara. Rumah itu rumah panggung yang pintunya terletak di lantai sudut rumah. Tangga untuk naik turun mereka singkirkan. Gerombolan yang menjaga kami berada di bawah rumah dan membuat api unggun untuk menghangatkan badan.

Dari pembicaraan mereka, aku tahu mereka ada dua orang. Aku terus mengikuti terus pembicaraan mereka. Mereka berbicara dalam bahasa Bugis. Aku mengerti bahasa Bugis dan tahu rencana mereka. Besok pagi jam delapan, kami akan dihabisi dengan cara ditembak. Tetapi kawannya tidak setuju karena akan membuang-buang peluru. Karena itu akan dilakukan dengan cara di gere (digorok-pen) setelah diikat di pohon, seperti mereka lakukan terhadap seorang yang dituduh sebagai mata-mata polisi.

Pada tengah malam, salah seorang mengeluh karena merasa haus. Mereka kemudian sepakat untuk mencari kelapa muda. Beberapa saat kemudian sunyi. Aku coba mengintip ke bawah. Tidak ada orang lagi. Aku pikir ini kesempatan satu-satunya untuk menyelamatkan diri. Aku segera memberi isyarat kepada ayah Ety dengan gesekan kaki agar berusaha membuka tali ikatan. Tapi ayah Ety memegang tanganku dengan keras seperti takut. Aku tak tahu apakah ia juga membuka ikatannya.

Kesempatan itu tidak aku sia-siakan. Aku bangun menepuk bahu ayah Ety lalu menuju jendela yang terbuka dengan hati-hati dan melompat ke bawah. Aku mendengar bunyi keras papan terjatuh. Ayah Ety ternyata ikut lari. Ia melalui pintu. Tetapi pintu itu rupanya telah mereka tutup dengan papan. Ketika diinjak terjatuh. Aku terus berlari dan bersembunyi di tengah alang-alang. Aku berhenti sebentar untuk mengetahui apakah ayah Ety berhasil juga melarikan diri. Sebelumnya aku mengalihkan arah rebahan alang-alang untuk mengalihkan pencarian gerombolan. Mereka segera datang mengejar sambil berteriak-teriak mengikuti arah rebahan alang-alang melewati tempat persembunyianku. Akhirnya mereka balik kembali sambil memaki-maki.

Aku terus berdiam diri dan memasang telinga. Tidak ada tembakan, bentakan atau bunyi pukulan, sehingga aku yakin ayah Ety berhasil juga menyelamatkan diri. Ketika mereka sudah pergi, dengan hati-hati aku menyusuri hilir sungai jauh dari Undoro dan kemudian menyeberang. Sepanjang malam aku terus berjalan. Aku tahu seluruh keluarga dan warga Uluanso pasti sudah tahu apa yang kami alami dari bapanya Frans dan terus menunggu kabar tentang nasib kami.”

Ayah Ety baru muncul di kampung seminggu kemu-dian dalam keadaan sangat lemah. Ia selalu dihantui ketakutan. Ia dibawa ke Kolonodale untuk mendapatkan perawatan. Sebenarnya sehari setelah kemunculan paman, iapun telah terlihat oleh beberapa perempuan yang tengah menumbuk padi di kebun. Karena tingkah-lakunya aneh, perempuan-perempuan itu ketakutan. Mereka mengira anggota gerombolan. Akibatnya, kak Tinia juga terkejut dan melarikan diri lagi ke hutan.

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *