Sunday, September 20, 2009

MODERO YANG MENGASYIKAN (2.7)

Modero adalah salah satu tarian rakyat yang sangat populer dalam masyarakat Mori. Sangat disenangi untuk bersantai bukan saja oleh kaum muda tetapi juga oleh kaum tua. Para penari membentuk lingkaran mengelilingi penabuh gendang dan gong. Sambil berpegangan tangan dengan menghadap ke dalam lingkaran, mereka melangkah ke samping kanan dengan langkah-langkah tertentu sambil menyanyi bersama dengan iringan gendang dan gong.

Lagu yang dinyanyikan umumnya lagu-lagu gembira dan percintaan. Pada puncaknya biasanya terjadi adu berbalas pantun antara seorang pemuda dengan seorang gadis, baik yang sudah berkenalan maupun belum. Pada waktu seseorang berpantun, gendang dan gong dibunyikan lembut. Dan setelah selesai disambut dengan lagu pengiring yang dinyanyikan bersama dengan bunyi gendang dan gong yang berbunyi nyaring kembali. Kesempatan itu disediakan bagi peserta yang mungkin menjadi sasaran pantun untuk mempersiapkan jawabannnya dengan pantun pula. Bila belum siap, lagu pengiring diulangi lagi.

Untuk mulai menghangatkan suasana, biasanya ada ada yang memulai dengan berpantutn, misalnya :

Ramailah ramai duduk jembatan
Angkatlah batu seorang satu
Ramailah ramai kita modero
Angkatlah lagu seorang satu

Kalau seorang pemuda ingin mengetahui apakah seorang wanita di sebelah kirinya sudah mempunyai suami atau pacar dan ingin mendapat jawaban, ia dapat berantun :

Janglah marah saya bertanya
Cincin di jari siapa punya
Janganlah marah saya bertanya
Nona di kiri siapa yang punya

Tarian ini merupakan tarian bebas. Peserta bebas masuk atau mengundurkan diri. Hanya ada kode etik yang tak tertulis, yaitu tidak boleh masuk dengan memisahkan dua penari laki-laki dan perempuan. Dan bila mengundurkan diri harus minta diri kepada rekan di kiri kanannya dan menyambungkan pegangan tangan mereka.

Acara modero biasanya diadakan pada pesta-pesta kecuali keagamaan, seperti hari proklamasi, tahun baru, padungku (pengucapan syukur sesudah musim panen) serta pernikahan. Umumnya dilaksanakan pada malam hari agar lebih romantis dan biasanya berlangsung semalam suntuk.

Modero tidak saja menyenangkan warga Mori, tetapi juga para pendatang. Ketika tentara Permesta berkuasa, komandan meeka di Beteleme hampir setiap malam minta diadakan acara modero dengan mengharuskan kehadiran para anak gadis dari kampung-kampung sekitarnya. Hal ini mengkhawatirkan para orang tua.

Para pemuda tidak sabar lagi. Mereka masuk hutan bergabung dengan milisi Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah (GPST) bergerilya. Mereka kerap menghadang iring-iringan pasukan Permesta yang ketika itu telah memberontak kepada Pemerintah Pusat. Banyak pemudi ikut bergabung. GPST akhirnya dapat membebaskan Beteleme lalu seluruh Kewedanaan Kolonodale dari Permesta. Di mana-mana dikumandangkan mars GPST, seperti berikut :

5 Desember lima p’lu tujuh,
sehari bersejarah mulia
bagi rakyat Sulawesi Tengah
menjunjung keutuhan bangsa
Pemuda-pemudi seluruhnya
bersatu, setekad, sepakat
memperjuangkan nasib rakyatnya
demi keutuhan bangsa

Reff:
GPST menjadilah kenyataan,
rimba raya menjadilah medan bakti
Majulah GPST ! Hidup Sulawesi Tengah
Untuk kejayaan Nusa bangsa
Indonesia yang abadi.

                          NYARIS DIKEROYOK ORANG KAMPUNG (2.8)

Semenjak di Sekolah Rakyat aku sudah senang karang-mengarang. Senang membaca buku ceritera dan ketika ada giliran mendongeng di depan kelas, aku dapat menceriterakannya dengan lancar. Aku suka menggambar, menulis elok, menulis pantun dan mengarang dari kisah-kisah nyata kehidupan sehari-hari.

Pernah guru kelas kami di kelas enam SR Beteleme terkejut membaca karanganku. Ia segera memusnahkannya sambil mengingatkan bahwa tulisanku dapat membahayakan. Ketika itu Permesta memberontak kepada Pemerintah Pusat. Tentara-tentara Permesta inipun di kampung-kampung kami mulai berperilaku buruk. Beberapa anak gadis di kampung kami sudah menyingkir bergabung dengan pemuda-pemuda Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah (GPST) yang bergerilya di hutan. Orang-orangtua juga sudah mulai mencemaskan anak-anak gadis mereka, karena tentara-tentara pemberontak ini hampir setiap malam meminta diadakan acara modero, suatu tarian rakyat. Semua remaja puteri dimintakan ikut. Padahal tarian ini biasanya hanya diadakan pada waktu perayaan atau pesta-pesta.

Salah seorang warga kampungku, bekas bintara tentara KNIL menjadi salah seorang Komandan GPST. Ia mempunyai pasukan sekitar satu kompi. Memiliki senjata masih baru hasil rampasan dari Permesta bahkan sebuah senjata berat water mantel. Senjata itu pernah didemonstrasikan penembakannya ke arah kali dari halaman rumah kami yang terletak di ketinggian. Salah seorang anggotanya yang berbadan tinggi kekar dan bersenjata bren, adalah bekas tentara Permesta yang lari bergabung dengan GPST. Komandan ini adalah bekas teman sepasukan dengan kakak di KNIL bersama kakak suami Kak Ura. Terakhir sudah berpangkat letnan.

Semua ini kuungkapkan dalam karanganku. Pantas kalau guru kami khawatir kalau sampai jatuh ke tangan anggota pemberontak. Apalagi saat itu ada seorang tentara pemberontak yang sering muncul, mundar-mandir, tanpa segan-segan didepan pintu kelas kami. Entah tertarik dengan gadis-gadis murid perempuan kelas kami, atau mau memata-matai kami. Tak ada yang berani menegurnya.

Karangan lain yang nyaris membawa petaka, sebenarnya kutulis hanya iseng untuk mencoba pulpen yang sedang kuperbaiki. Ketika itu aku baru setahun duduk di SMP dan menjelang pelaksanaan ujian kenaikan kelas. Sudah menjadi kebiasaan kami teman-teman berkumpul bersama selesai sekolah untuk belajar bersama. Dan siang itu, kami berkumpul di rumah Mery anak Kepala Kampung. Orangtua Mery dan saudara-saudaranya semua di kebun.

Pada masa itu memang musim panen dan semua warga ada di kebun atau sawah, sehingga suasana kampung terasa lengang. Penjagaan keamanan kampung dipercayakan kepada GPST. Ketika Mery dan teman-teman sedang mempersiapkan makanan di dapur, aku duduk di beranda muka memperbaiki bulpenku yang rusak. Sesudah dibersihkan, aku mengambil beberapa lembar dari buku tulisku, lalu mulailah aku menulis guna mencoba pulpen yang baru saja kuperbaiki. Menulis apa ?

Waktu itu warga kampung kami bermaksud memindahkan kampung yang mulai pula dibayang-bayangi gerombolan pengacau dari Sulawesi Selatan. Tetapi dalam penentuan lokasi baru terdapat perbedaan pendapat. Masing-masing menginginkan tempat terdekat dari lokasi kebun atau sawah mereka.Terbagi tiga kelompok. Situasi hangat ini ternyata memberikan inspirasi. Dengan meniru gaya Anwar Sanusi yang menarik dalam caranya menuliskan sejarah dunia abad Pertengahan, dengan penuh semangat mulailah aku menggoreskan mata penaku yang terasa mulai bagus.

Untuk lebih menghidupkan jalan ceritera, setiap nama tokoh utama dari tiga kelompok itu tak lupa kuberikan jabatan dan pangkat tinggi-tinggi, seperti Panglima Tertinggi, Letnan Jendral dan sebagainya, sebagaimana diberikan Ratu Victoria dan Disraeli menteri luar-negerinya kepada panglima-panglimanya. Tentu saja tingkat ketinggian pangkat masing-masing disesuaikan dengan pengaruh masing-masing dalam pertikaian ini. Tak kecuali ayah Mery, Kepala Kampung kami, yang juga masih sepupuku, bahkan ayahku sendiri.

Hari itu hari Sabtu. Pada malam hari biasanya warga pulang ke kampung untuk mempersiapkan diri mengikuti ibadah hari Minggu. Dan biasanya setelah itu para kepala keluarga diminta mengadakan teriso ( rapat kampung) untuk membahas hal-hal yang dianggap perlu.Tidak seperti biasanya, hari Minggu itu aku mengikuti ibadah di Kumpi, kamung kami yang baru, meskipun secara resmi kami masih tetap sebagai warga kampung Uluanso.

Pada sore hari ayah dan ibu pulang dari Uluanso. Ayah tidak marah. Tetapi ketika ditanya apakah aku ikut bersama teman-teman di rumah Kepala Kampung hari Sabtu dan meninggalkan tulisan, aku terkejut. Ayah memang nampak gusar ketika aku mengakui terus terang. Karena Mery pun kata beliau sudah mengaku itu tulisanku. Kujelaskan kepada ayah, karangan itu hanya coretan-coretan untuk mencoba penaku yang rusak kemudian kubuang. Rupanya ada yang menemukan.

Suratku kata ayah dibahas dalam rapat. “Masih untung kamu tidak ikut. Kamu dicari GPST dan kalau ketemu bisa dipukuli”, kata ayah. Ia tidak berkata apa-apa lagi padahal pada karanganku nama kecil beliau yang selamanya pantang kusebutkan kutulis lengkap dengan “pangkat”nya.

Lagi pula kalau beliau marah, apa yang ditangannya dapat dipakai menghajar orang yang dimarahinya. Pernah pisau yang sedang dipakai beliau menghaluskan rotan melukai tempurung lututku. Aku sedang bertengkar dengan Tumi adikku dan ayah bermaksud memukulku. Ketika nampak darah mengalir deras, ia terkejut dan segera memberi pertolongan.

Pernah pula aku dihajar dengan sepotong belahan bambu bekas lantai selebar penggaris, sehingga kulit-kulit punggungku babak belur. Juga karena bertengkar dengan adik. Aku menyesal karena tentunya aku telah membuat malu ayah dalam rapat warga itu. Aku tetap bangga dengan ayahku sampai akhir hayatnya.

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *