Saturday, September 19, 2009

JADI KULI BANGUNAN ( 3.4 )

Di kaki bukit itu terdapat kali kecil dan desepanjang kali itu terdapat pohon-pohon sagu. Sewaktu-waktu pemiliknya datang mengambil daun-daunnya untuk dibuat atap. Adakalanya ia menebang pohon yang sudah tua untuk diambil sagunya. Pelepah-pelepahnya biasanya dibiarkan saja berserakan dan itu bagiku merupakan sumber rezeki yang memang selalu kutunggu-tunggu. Aku kenal beberapa anemer bangunan.

Pada hari-hari libur bahkan selepas sekolah, pemborong bangunan itu mengijinkan aku bekerja pada proyek-proyeknya dengan perhitungan jam-jaman. Pembayaan upah setiap akhir minggu.Segala macam pekerjaan kulakukan. Memikul kaleng air dari kali untuk pencampur semen, mengikuti truk mengangkut tanah urug bangunan, mengaduk campuran semen dan belajar menyusun bata. Gedung Sekolah Kepandaian Puteri (SKP) di Jalan Talasa, Gedung Bank BKTN di Pelabuhan Poso dan tembok pelindung pantai di sepanjang Jalan Penghibur di depan perumahan Dinas Bupati hanyalah beberapa poyek di mana aku pernah mengambil bagian.

Nah, pemborong-pemborong ini rupanya senantiasa memerlukan etenit untuk poyek mereka. Dan yang paling disukai yang terbuat dari kulit pelepah sagu. Mungkin karena warnanya yang coklat mengkilat seperti dipolitur dan tidak luntur. Karena itu harganya lebih mahal daripada etenit bambu. Tahu peluang ini, maka pelepah-pelepah sagu yang berserakan itu kukumpulkan, kupisahkan kulit dari gabusnya lalu kuanyam menurut motif yang lazim digunakan saat itu. Pemborong-pemborong ini mau menampung berapapun dengan perhitungan harga per meter persegi. Sayang bahannya terbatas, dan waktu untuk mencari di tempat lain tidak ada.

Disamping bekerja bangunan, hari-hari liburku adakalanya juga kugunakan untuk pekejaan-pekejaan borongan lainnya. Pernah bersama empat teman, kami mendapat pekerjaan borongan dai Jawatan PU Kabupaten Poso merintis jalan beberapa kilometer ke lokasi yang direncanakan untuk pembangunan pabrik minyak kelapa oleh sebuah perusahaan Amerika.

Pernah pula aku menerima pekerjaan borongan dari Lurah Lage untuk memaras pinggiran jalan raya poros Poso - Tentena di kilometer 9-10 yang kukerjakan seorang diri. Masih kuingat, laporan hasil keringatku tidak diterima sepenuhnya oleh Lurah. Menurut hasil pengukuran yang dilakukan petugasnya, jauh kurang dari panjang yang kulaporkan. Padahal telah kuukur seteliti mungkin dan kulaporkan secara jujur. Potesku tak membawa hasil. Terpaksa kuterima karena ia adalah Kepala Kelurahan kami. Sewaktu-waktu bantuannya kami perlukan. Hanya kusayangkan pada waktu pengukurannya aku tak diajak. Hal yang sama juga terjadi ketika aku menerima borongan pengadaan beberapa kubik batu kali di Desa Pandiri.kira-kira sehari berjalan kaki dari Poso.

Di rumah aku juga memelihara ayam kampung. Aku buatkan kandang seukuran kamar, tapi sering dibobol musang. Akibatnya ada yang hilang dan yang lainnya beterbangan di tengah kegelapan sehingga pada malam-malam berikutnya mereka takut untuk tidur lagi di kandang mereka. Mereka mencari tempat bertengger masing-masing di atas pohon bambu atau mangga yang tinggi-tinggi. Lama-kelamaan menjadi liar dan malahan juga menjadi sasaran pencuri. Dari peternakan ayam ini sedikitpun aku tak dapat menikmati hasilnya, sehingga akhirnya kuhenti-kan.

Itulah jalan-jalan yang Tuhan tunjukan kepadaku sehingga aku dapat menyelesaikan sekolahku sampai tamat SMA, tanpa terlalu memberatkan orangtuaku. Kalau aku pulang libur, memang aku selalu dibekali beras 10-15 liter.

Menjelang ujian akhir SMA, kak Marten, kakak kami tertua, pindah tugas dari Manado ke Poso. Ia dahulu anggora Mobrig dan telah beralih menjadi polisi umum. Ia tiba bersama isteri asal Tomohon dan dua orang anak yang masih kecil. Mereka tinggal di Asrama Polisi di depan Bioskop Nirmala yang senantiasa ramai. Beberapa saat lamanya aku diajak tinggal bersama mereka. Tetapi ketika Tumi tiba di Poso aku kembali lagi ke pondokku.(Kutipan dari Buku "Perjuangan Hidup").

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *