Sunday, September 20, 2009

BETELEME DIJARAH (2.11)

Suasana kehidupan warga Uluanso bahkan seluruh Keca-matan Lembo kian mencekam. Polisi dari Kolonodale hanya datang patroli beberapa hari kemudian pulang. Warga kampung senantiasa bersiap-siap bila sewaktu-waktu terpaksa harus mengungsi. Pakaian dan bahan makanan disiapkan sedapat yang bisa dibawa. Ibu telah menyembunyikan berbagai barang berharga termasuk piring-piring untuk penyelamatan bila sewaktu-waktu gerombolan datang dan melakukan pembakaran.

Suatu pagi, tiba-tiba kakak Seti datang dari rumah mertuanya memanggil dan berbicara cepat-cepat di depan rumah. Ia berlalu dengan cepat sehingga aku tak mengerti apa yang dikatakannya. Dari depan rumah kami yang terletak di ketinggian, aku lihat banyak orang berduyun-duyun dari arah Beteleme. Mereka mendaki menuju perladangan rakyat di sebelah timur kampung kami. Hal yang tak pernah terjadi sebelumnya. Aku melangkah ke jalan raya melihat apa yang terjadi.

Aku lihat banyak orang belarian. Seorang tetangga melintas berlari ke halaman belakang rumahnya. Aku lari mendapatkannya menanyakan apa yang terjadi. Ia menjawab; “Gerombolan masuk Beteleme”. Sadarlah aku apa yang terjadi. Aku dengan cepat mengambil pakaian seperlunya, menutup pintu, lalu berlari bergabung dengan orang-orang yang tengah mengungsi tadi. Kami berhenti beristrahat disebuah rumah sambil menunggu kabar lebih lanjut.

Siang hari kami diberi tahu gerombolan telah pergi.Situasi telah aman. Pasukan GPST telah kembali. Konon pada malam itu mereka sedang patroli ke Ronta. Markas mereka di pintu gerbang utama benteng ditinggalkan kosong. Mereka sedang melakukan pengejaran. Pemuda-pemuda mulai menghimpun kekuatan termasuk kak Seti dan aku. Kami ikut bergabung dengan membawa tombak dan parang. Tapi upaya itu tidak berhasil karena gerombolan telah melewati perbatasan.

]Pada malam itu, seperti biasa aku tidur di kampung sendirian karena akan belajar bersama dengan Rusia, saudara sepupuku. Selesai belajar ia pulang. Setelah itu hujan lebat. Sore harinya sekembali dari pengejaran, aku lihat banyak jejak-jejak kaki di sekitar jendela tempat kami belajar. Aku menduga malam itu rumah kami telah dimata-matai gerombolan.

Penduduk Beteleme mulai muncul di jalan-jalan. Ingin melihat apa yang dilakukan gerombolan sambil bertukar ceritera mengenai peristiwa itu. Dari toko-toko mereka merampok berbagai barang. Ada ceritera lucu, seorang remaja dari kawanan gerombolan mengisap-isap tapal gigi karena mengira pepermen.


 BETELEME JADI LAUTAN API  ( 2.12 )

Aku dan teman-teman sekolah pagi itu baru saja melewati kampung Kumpi Baru dan masuk kampung Lahumbala tempat sekolah kami, SMP Beteleme. Tiba-tiba terdengar letusan-letusan. Banyak orang berlarian ke arah kami. Diantaranya seorang anggota GPST yang memegang senjata panjang. Dari ujung jalan Lahumbala di kejauhan aku sempat melihat seorang laki-laki berpakaian hitam seperti tengah melepaskan tembakan ke arah kami. Kami segera berlarian berbalik mendaki ke arah Puuliku tempat rumah-rumah persawahan kami.

Aku mendengar bunyi gesekan pada daun pohon-pohon, mungkin terkena peluru. Aku tidak mengerti mengapa anggota GPST bersenjata itu tidak berupaya melakukan perlawanan dan malahan ikut lari.

Tidak lama kemudian kami melihat asap hitam membumbung dari arah Beteleme. Terdengar ledakan keras beberapa kali. Bergema di kaki gunung Ngusumbatu. Rupanya berasal dari drum-drum minyak tanah yang terbakar. Siang harinya gerombolan mengundurkan diri.

Pada sore hari rakyat kembali memenuhi jalan-jalan menyaksikan kerusakan yang terjadi. Sungguh mengerikan ! Di mana-mana bangunan toko, sekolah, gereja, rumah penduduk telah berubah menjadi abu. Puing-puing hitam masih berasap. Gerombolan juga membakar jembatan satu-satunya yang menghubungkan Beteleme dan Uluanso di sebelah selatan dengan Lahumbala dan Kumpi di sebelah utara. Untung masih dapat diselamatkan.

Pemuda-pemuda GPST di mana ? Sebenarnya sudah lama penduduk kecewa atas ketidakmampuan mereka mengambil tanggung jawab pengamanan. Terlebih ketika mulai terjadi perbedaan pendapat mengenai penyelesaian akhir status GPST setelah pemberontakan Pemesta berhasil dipadamkan.

Sebagian menginginkan agar pemerintah meresmikan pasukan GPST menjadi satu brigade tersendiri dalam TNI. Kelompok lainnya bersedia menerima kebijakaan pemerintah agar GPST membubarkan diri lalu anggota-anggotanya yang memenuhi syarat disalurkan ke dalam kesatuan-kesatuan TNI yang sudah ada. Di tingkat Kabupaten perbedaan ini meruncing. Di beberapa tempat bahkan terjadi tembak-menembak antara TNI dengan kelompok-kelompok GPST yang menimbulkan korban jiwa.

Dengan demikian di Kecamatan Lembo tidak ada alat negara yang dapat diandalkan. Polisi hanya ada di kota Kolonodale. Pasukan TNI belum masuk untuk mencegah terjadinya konflik dengan GPST. Sedangkan GPST yang menguasai wilayah itu masih terbatas personil dan persenjataannya. Mereka juga lengah membiarkan pos di pintu gerbang benteng tanpa dijaga sehingga ketika gerombolan menerobos masuk ke Beteleme, mereka tak menemui perlawanan sama sekali. Tidak jelas pasukan GPST ada di mana ketika itu.

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *