Sunday, September 20, 2009

KAKAKKU TELAH PERGI...(2.4)

Persiapan menyambut Natal tahun 1956 di Korowalelo sudah dimulai. Setiap hari, kegiatan di gereja yang letaknya berseberangan dengan rumah kami selalu ramai, lebih-lebih hari Minggu. Demikian juga di gedung bekas kediaman Pendeta Riedel dari Belanda yang terletak di tempat agak ketinggian di belakang rumah kami. Selalu ramai dijadikan tempat latihan.

Kompleks bangunan ini tediri dari beberapa bangunan. Dikelilingi pohon-pohon bunga yang berwarna kuning cerah, kontras dengan daunnya yang hijau kecil-kecil. Bangunan utamanya berkaki beton dan berlantai papan tebal dari kayu pilihan dan beratap sirap. Bunyi orang belari-lari atau melompat-lompat tedengar jelas gemahnya di rumah kami.

Di tempat inilah Dina, gadis muda primadona di Korowalelo sering melatih adik-adik remaja-remaja puteri kampung kami. Ia baru saja menamatkan pendidikan guru Sekolah Kepandaian Puteri (SKP). Gadis hitam manis dengan rambut panjang bergelombang.

Ia mengajar para remaja puteri berbagai jenis masakan, aneka jenis kue, menjahit, merangkai bunga, membentuk paduan suara dan menari. Ia pernah memimpin teman-temannya mengikuti pelombaan tari dalam perayaan hari proklamasi bulan Agustus 1956 di Beteleme yang diikuti berbagai kampung se-KecamatanLembo dan keluar sebagai pemenang. Ia memang menjadi harapan bagi warga Korowalelo.

Bait pertama syair lagu pengiring tarian-tarian mereka ketika memasuki arena petandingan itu sebagai berikut :

Kesenian Mori asli
sekarang kami pertunjukanlah
Saksikanlah s‘mua gerak dan geriknya
itulah yang kami sangatlah merindukannya.

Awal Desember, kakak Ura dan Dina berangkat ke Kolonodale. Mereka akan membeli bahan keperluan Natal. Kakak mendapat tugas dari ibu-ibu KIK (kaum Ibu Kristen) untuk membeli kain putih bahan seragam. Penjahitannya juga diserahkan pada kakak. Dina akan membeli keperluan remaja-remaja perkumpulannya. Mereka hanya berdua saja melewati jalan pintas Sampalowo dan Koromatantu karena lebih dekat daripada melalui Tinompo. Meski melalui kampung-kampung yang diselang-selingi hutan-hutan kecil dan padang, jalan ini memang sering dilewati pejalan kaki dengan aman. Belum pernah terdengar adanya gangguan keamanan.

Menurut rencana, mereka hanya dua hari di Kolonodale. Tetapi sudah seminggu ditunggu, belum juga tiba di rumah. Pencarian, penelusuran, pengumpulan keterangan sepanjang jalan yang dilalui sampai Kolonodale segera dilakukan. Ayah, kakak ipar serta sanak keluarga dan banyak warga Korowalelo bahkan polisi terus melakukan pencarian.

Anti, Domi dan Yuser masih kecil-kecil. Aku mengirim pesan pada guru minta ijin tidak ke sekolah karena harus mengasuh ketiga kemanakanku. Kami dititipkan di rumah kakak tertua kakak iparku. Aku harus mengasuh secara khusus yang bungsu karena baru berusia setahun. Menggendong, menidurkan dalam ayunan, mengganti baju dan popoknya, menenangkan kalau rewel serta menyuapkan buburnya. Ia baru saja disapih.

Pencarian telah lewat tiga hari, tetapi belum juga berhasil. Suasana cemas meliputi kami berhari-hari. Kakak iparku kembali untuk istrahat. Ia hanya duduk termenung sedih setiap hari di bangku panjang di beranda rumah. Ada kain hitam melilit kepalanya. Aku sedih melihatnya. Kami kini telah dipindahkan ke rumah orangtua Adi, saudara kakak iparku yang lain.

Pada hari ke lima, yaitu tanggal 11 Desembe 1956, akhirnya berita yang kami nanti-nantikan datang juga. Namun bukan berita baik. Jenazah kakak dan Dina telah ditemukan beberapa ratus meter dari jalan di tepi hutan tertutup alang-alang ! Tetapi langsung dikuburkan di tempat karena kondisinya mulai rusak. Rumput-rumput berserabutan di sekitarnya menandakan kedua korban sebelum terbunuh telah melakukan perlawanan.

Rumah tempat kami menumpang segera menjadi rumah duka. Ibu datang bersama sanak famili dari Ulu’anso. Dari kejauhan mereka sudah menangis. Ibu tak henti-hentinya menangnis malam itu. Ia hanya duduk dalam kelambu sepanjang malam itu dan tak mau makan. Hanya aku yang menemaninya. Sesekali aku coba menghibunya tapi tak berhasil. Maklum beliau kehilangan puteri pertamanya dengan cara sedemikian itu. Ketiga kemanakanku telah diungsikan entah ke mana.

Aku sendiri tak sanggup lagi menangis. Tangisan dan air mataku telah terkuras habis ada hari-hari sebelumnya. Aku telah menumpahkan semua kesedihanku ketika aku menyendiri. Bahkan sebelum mereka ditemukan. Aku seperti sudah mendapat firasat buruk.

Ketika aku pergi ke kebun memberi makan hewan-hewan ternak kami aku melepaskan semua kesedihanku dengan menangis sepuas-puasku. Dalam perjalanan, ketika kesedihan itu tak tertahankan, aku menyimpang agak jauh dari jalan. Aku menambatkan tali kerbau yang kutunggangi, lalu duduk menangis tersedu-sedu di bawah pohon dongi. Begitu juga setiba di rumah kebun kami. Sebelum itu aku selalu berusaha tegar tidak menangis di rumah tumpangan. Apalagi di depan kemanakanku yang masih kecil-kecil.

Meskipun kakak adakalanya memarahi bahkan mencubit aku kalau bertengkar dengan kemanakanku yang tertua, namun aku sedih sekali dengan apa yang mungkin dialaminya. Ia sesungguhnya baik hati. Kalau malam ia sering datang bercakap-cakap sambil mencarikan kutu yang sebetulnya jarang di kepalaku sambil aku tidur. Ia mengajar aku mencari uang dengan menjual sayur mayur kepada ibu-ibu di Tinompo yang sering menunggu kami lewat menuju sekolah. Uang hasil penjualannya dikumpulkan lalu dibelikan kain untuk bahan baju dan celanaku yang dijahitnya sendiri. Kakak menjadi lebih sering ke rumah orangtua kami untuk menjahit bahkan kerap kali ia meminjam mesin jahit yang baru dibeli ayah ke rumah.

Kebaktian penghiburan berlangsung beberapa malam. Diantaranya hadir seorang perwira polisi dari Kolonodale. Ia mengungkapkan bahwa pelaku pembunuhan telah tertangkap. Ada dua orang. Mansure dan Yusup. Sehari-harinya mereka bekerja sebagai pendayung perahu penyeberangan di sungai Laa Sampalowo.

Merekalah yang menyeberangkan kakak dan Dina dalam perjalanan menuju Kolonodale. Kedua laki-laki itu menanyakan kapan kembali. Karena tak curiga, mereka memberitahukan tanggal 7 Desember. Mereka lalu membuat rencana jahat.

Pada hari itu mereka menunggu lalu membuntuti mereka sejak dari Kolonodale. Tiba di sebuah jalan berputar dekat Koromatantu, salah seorang memotong jalan lalu mereka mengepung dari depan dan belakang. Kedua laki-laki itu menyeret mereka dari jalan dengan ancaman pisau lalu mencoba memperkosa. Tetapi kedua korban meronta-ronta sambil berteriak-teriak minta tolong sehingga kedua pelaku panik dan menikam mereka. Pada jenazah kakak terdapat lima bekas tikaman dari Mansure. Dua pada kedua bahu dan tiga di perut. Pada jenazah Dina ditemukan satu bekas tikaman dari,Yusup di dada.

Pelaku pembunuhan terungkap ketika polisi menyelidiki siapa petugas perahu penyeberangan di Sampalowo pada hari keberangkatan mereka. Polisi mencurigai Yusup karena tiba-tiba menghilang. Ketika ditemukan di Kolonodale dan digeledah, terlihat bekas darah pada celananya. Dalam pemeriksaan akhirnya ia mengaku. Berdasarkan keterangannya dilakukanlah pula penangkapan terhadap Mansure. Teramat menyakitkan mendengar penuturan itu, meskipun agak sedikit terhibur karena kedua pelakunya telah tertangkap.

Sungguh ironis pula, karena tepat pada hari perkabungan itu di rumah seberang jalan, berlangsung pula pesta perkawinan dari anak perempuan kakak iparku, tempat kami dititipkan selama pencarian. Pesta itu tak dapat ditunda lagi karena para undangan dari berbagai kampung sudah berdatangan.

Tahun berikutnya terjadi perubahan cepat di bidang politik dan keamanan. Pemberontakan Permesta di Sulawesi Utara dan Tengah dan PRRI di Sumatera Barat telah berhasil diatasi. Pasukan Permesta lari dari Kolonodale akibat serangan pasukan GPST (Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah).

Ketika GPST masuk kota mereka mencari orang-orang yang dianggap pengkhianat dan dihukum berat. Mansure dan Yusup yang konon ketika itu sudah berada di luar tahanan dicari lalu dihukum pancung. Ada yang ingin memperkarakannya tetapi para pemuda beralasan ketika itu negara dalam keadaan SOB sehingga yang berlaku hukum perang. Ayat Kitab Suci yang mengatakan ”siapa menghunus pedang akan mati oleh pedang”, benar-benar terjadi.

Ayah sangat terpukul dengan peristiwa itu. Selama pencarian, aku tak pernah bertemu ayah karena ia terus-menerus mencari sampai kedua korban ditemukan. Beberapa waktu kemudian, ketika aku menanyakan kondisi jenazah ketika ditemukan, dengan sedih ia katakan, wana asli pakaian mereka dan bekas darah tak dapat dibedakan lagi, kondisi jenazah sudah mulai rusak.

Berdua dengan kakak suami almarhumah, ayah menurunkan kedua jenazah ke lubang pemakamam sementara pada tempat mereka ditemukan dengan tangan mereka sendiri karena kondisinya yang mulai rusak. “Kalau kami tak ada, mungkin kedua jenazah akan diturunkan dengan pacul”, kata ayah sedih.

Ia lalu bernazar, tak akan minum minuman beralkohol sampai makam anak perempuan tertuanya itu diupacarakan dan dipindahkan ke tempat yang lebih layak. Dan memang sejak itu ayah tak pernah lagi kulihat minum. Padahal sejak dahulu ayah adalah penghasil minuman saguer dan arak.

Musibah ini ikut merubah arah kehidupanku. Ketiga kemanakanku dan ayah mereka tetap tinggal bersama famili di Korowalelo. Aku kembali ke orangtua di kampung Ulu’anso Baru di ujung Selatan kampung Beteleme namun tetap sekolah di Tinompo.

Setiap hari aku pergi sekolah bolak-balik melintasi kampung Beteleme dan Lahumbala. Jalan raya ini tak memiliki pohon pelindung di kiri kanannya sehingga aku merasa kepanasan kalau pulang sekolah tengah hari. Kadang-kadang aku menjumpai roda (gerobak sapi). Kedua saisnya baik hati dan selalu mengijinkan aku ikut naik. Aku tetap sekolah di Tinompo sampai selesai kenaikan kelas. Aku naik kelas lima dan setelah itu pindah ke SR 6 tahun Beteleme.



No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *