Sunday, September 20, 2009

Jadi Bintang Pelajar (2.6)

Niatku untuk tetap melanjutkan sekolah sudah mantap. Aku menyayangkan ketika mendengar Weli tidak akan melanjutkan sekolah lagi. Sedangkan Ika akan melanjutkan sekolah di SMP Tomata ibukota Kecamatan Mori Atas karena keluarganya pindah ke kota itu. Ayahnya telah menjadi korban politik dan digantikan Pak Hoti bekas wakilnya sebagai Camat Lembo.

Camat baru ini sangat bersemangat untuk membangun wilayahnya. Ia menca-nangkan untuk mendirikan SMP secara mandiri dan tahun itu juga sudah harus menerima siswa baru. Padahal gedung sekolahnya saja belum ada.

Segeralah dibangun sebuah bangunan darurat berdinding pitate (anyaman bambu) dengan atap daun sagu dan lantai tanah. Pembangunan dilakukan secara gotong-royong dengan melibatkan tenaga-tenaga dari seluruh kampung di wilayahnya. Sambutan penduduk ternyata sangat besar.

Dalam waktu singkat selesailah bangunan dengan tiga ruang kelas. Untuk Bagian A (Bahasa), Bagian B (Ilmu Pasti dan ilmu Alam) serta Bagian C (Ekonomi). Aku memilih Bagian B mengingat nilai-nilai hasil ujian ku pada ujian akhir SR sesuai untuk jurusan itu. Guru kami tiga orang termasuk Pak Tamalagi sebagai Direktur. Mereka menerima honorarium dari uang sekolah siswa.

Rencana sekolah kami tidak berhenti sampai disitu saja. Kami merencanakan membangun sebuah gedung sekolah permanen berlantai dua dari beton. Untuk itu pada setiap hari Krida (Jumat) kami mengangkut batu dan pasir secara gotong royong dari kali untuk fondasi dan rangka beton.

Untuk memperoleh tambahan dana, kami meman-faatkan lahan rawa-rawa dekat sekolah kami menjadi sawah. Kami juga membuat berbagai bahan keperluan sehari-hari yang bermanfaat sekaligus untuk penilaian mata pelajaran prakaya. Ada yang membuat tali ijuk, keranjang, gantungan pakaian, bubuh, papan nama meja dan berbagai jenis kerajinan lainnya sesuai kreasi setiap siswa. Kegiatan ini bukan saja menambah uang kas sekolah tetapi juga memungkinkan kami saling bertukar ketrampilan.

Pak Tamalagi bukan saja seorang guru yang mampu mengaja dengan menarik, tetapi juga seoang seniman. Ia mengajar kami menyanyi dalam bentuk paduan suara, membentuk grup musik bambu. Aku memegang bas, alat musik yang memang sudah kukuasai sejak di kelas enam Sekolah Rakyat.

Pada setiap hari Senin kami mengadakan upacara. Semua siswa dilatih dan dituntut mampu menjadi pengerek bendera atau konduktor dalam menyanyikan lagu Indonesia Raya yang dilakukan secara bergilir.

Pada perayaan Natal, kami ikut membawakan lagu puji-pujian bahkan pertunjukan sandiwara. Pada perayaan hari Proklamasi Kemerdekaan, di lapangan sekolah kami menyelenggarakan pasar malam, perlombaan olah raga dan cerdas tangkas. Sedangkan pada setiap selesai ujian kenaikan kelas, kami menyelenggarakan pesta syukuran dengan mengundang Camat dan para orangtua siswa. Pada kesempatan inilah Direktur sekolah menyampaikan laporan mengenai perkembangan sekolah dan mengumumkan juara-juara kelas dan bintang pelajar, yaitu siswa yang memperoleh nilai tertinggi dari seluruh siswa.

Tak pernah kulupakan, ketika tahun 1958 namaku diumumkan sebagai bintang pelajar. Kudengar ayah diminta berdiri. Ketika itu aku beserta beberapa teman hanya mengintip melalui sela-sela dinding dari luar, karena saat itu aku sebagai anggota panitia sedang berada di luar membantu para siswa putri menyiapkan konsumsi. Karena prestasi itulah maka para guru
sering menugaskan aku membantunya menyalin pelajaran dari buku di papan tulis kemudian disalin pula oleh teman-teman sekelas. Atau diminta mengerjakan soal di depan kelas.

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *