Sunday, September 20, 2009

BAGIAN KEDUA : PENGUNGSIAN BESAR-BESARAN

 DIBARAK TENTARA ACEH (2.1)

Beteleme dan Poso pernah
 Danau Matano antara Nuha dan Sorowako
ramai dibicarakan ketika terjadi
aksi-aksi teror di daerah itu.
Masih ingat ? Inilah cuplikan  
pengalamanku di daerah itu sebelum
terjadi konflik. Pen.
**********************************
Kampung kami, Ulu'anso, merupakan lintasan utama jalan darat dari Sulawesi Selatan ke Sulawesi Tengah. Tapal batas hanya sekitar dua kilometer dari kampung kami. Hal biasa kalau sering ada orang belum dikenal lewat di samping rumah kami. Pedagang-pedagang dari Nuha membawa perhiasan, tembikar, ikan kering dan ternak kambing atau sapi.

Ada kalanya juga melintas kelompok-kelompok gerilya pejuang kemerdekaan. Mereka biasanya baik-baik dan dijamu di rumah kepala kampung. Namun kadang- kadang muncul pula kelompok bersenjata lainnya yang bersifat kasar dan kurang sopan. Biasanya mereka ditandai dengan berjatuhannya kelapa muda. Sebab kalau datang mereka selalu minta disediakan air kelapa muda, hidangan makan siang serta beras dan ayam dari penduduk untuk dibawa pulang.Kalau mereka datang, semua warga terutama perempuan dan anak-anak bersembunyi karena takut. Sudah tersiar kabar bahwa mereka tak akan segan-segan memenggal kepala orang yang berani melawan. Mereka pernah mau menyerbu kota Kolonodale,tetapi gagal.

Untunglah tidak lama kemudian pasukan TNI mulai datang dan disebar di daerah- daerah kami. Pasukan terdepan berada di kampung kami. Barak mereka hanya sekitar satu kilometer dari belakang rumah. Mereka dari Batalyon 706 Halilintar yang anggota-anggotanya kebanyakan orang Aceh. Kemudian menyusul pasukan lain. Namun pasukan baru ini kurang bergaul dengan penduduk.

Menarik, karena seluruh penduduk kampung kami dan kampung-kampung sekitarnya beragama Kristen. Sedangkan anggota-anggota tentara Aceh ini umumnya beragama Islam. Mereka melindungi kami dari gangguan DI/TII yang memberontak. Tapi meskipun berbeda agama, hubungan warga dengan tentara Aceh ini sangat akrab.

Mereka sering datang ke rumah dan bercakap-cakap dengan ayah. Kadang-kadang dengan membawa oleh-oleh sabun, gula pasir, biskuit, daging kaleng dan sigaret. Ayah adalah pengrajin sinari, yaitu minuman yang manis dari nira enau. Bila diberi buli yaitu sejenis kulit kayu, menjadi tuak yang rasanya seperti bir. Bila disuling akan menghasilkan arak dan sisanya menjadi cuka.

Namun begitu, beliau bukanlah peminum. Ayah sering menjamu teman-temannya dan mengajak aku menemani kerumah teman-temannya, tetapi aku belum pernah melihatnya pulang mabuk. Sudah menjadi tradisi di kampung kami, tamu laki-laki disuguhi sedikit minuman sambil becakap-cakap. Namun bukan kopi atau teh, tetapi sinari, arak atau pongasi minuman dari tape beras. Untuk tamu perempuan, disediakan perangkat makan sirih, yaitu pinang, daun sirih dan kapur sirih.

Demikian juga ketika menerimatamu-tamu prajurit ini. Mereka disuguhi minuman tetapi selalu dibatasi agar tidak mabuk. Kalau memang ada yang mabuk, biasanya komandan mereka mengambilalih senjata mereka agar tak membahayakan. Mereka selalu sopan dan rupanya juga segan kepada ayah. Mungkin mereka tahu ayah salah seorang pemuka kampung kami atau karena kakak sulungku yang telah keluar dari KNIL ketika itu diajak bergabung dalam pasukan mereka.

Kepada kami anak-anak, para pajurit Aceh ini juga cukup akrab. Ketika mereka sedang bersantai atau berpatroli sering mereka memanggil kami dan membagikan biskuit, mengajar membuat tempat sabun dari kaleng bekas ransum mereka dan dibolehkan bermain-main di barak. Bahkan seorang bintara yang biasa kami sapa Pak Udin mengajak kami bermain di tempat tidurnya yang terbuka. Mungkinkah rindu dengan anak-anaknya yang ditinggalkan ? Entahlah.

Para anggota pasukan diperbolehkan melepaskan tembakan di mana saja asalkan tidak mecelakakan warga. Karena itu sebentar-sebentar terdengar tembakan. Baik di sekitar kampung maupun di sekitar barak. Entah mereka menembak burung atau kelapa. Kami selalu senang melihat mereka menembak dan kami bersorak-sorak gembira apabila dapat mengenai sasaran. Setiap pagi dan sore dilakukan penembakan dengan bren ke wilayah musuh. Ketika senjata mesin itu memuntahkan pelurunya kami anak-anak berebut memunguti selonsongnya yang masih panas berjatuhan dari houderbaaknya.

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *