Saturday, September 19, 2009

MAU JADI PILOT PESAWAT TEMPUR ( 3.5)

Ujian SMA usai. Kelas kami, di kelas IIIB Pasti Alam SMA Neger II Poso, lima belas orang, semua lulus. Kami lalu saling bertanya sesudah itu apakah mau bekerja atau melanjutkan sekolah. Ada yang memutuskan akan mencari kerja saja dan ada yang akan terus lanjut.

Bersama beberapa teman sekelas aku pergi mendaftar ke Kodim untuk mengikuti pendidikan calon perwira di Bandung. Syaratnya memang harus lulusan SMA jurusan Paspal dan ukuran tinggi badan juga dapat kami penuhi..

Tiba-tiba kakak Marten memberi tahu, wakil Ketua DPRD Pak James Tonggiro, akan ke Jakarta. Kakak tertua ini mendorong agar aku ke Jakarta. Sebagai orang militer, ia telah menjelajahi hampir seluruh Tanah Air, bahkan sampai di perbatasan Irian Barat yang masih dikuasai Belanda ketika itu. “Dengan merantau kita akan lebih banyak memperoleh pengalaman”, katanya dan aku sependepat sepenuhnya.

Untuk menunjang kelancaran rencanaku, aku memohon surat keterangan dari kantor Bupati sebagai utusan resmi Pemerintah Dati II Poso untuk mengikuti pendidikan di Jakarta. Ada tiga surat. Untuk Fakultas Kedokteran, sesuai cita-citaku di SMP, ke Fakultas Teknik karena sesuai jurusanku dan sudah memiliki sedikit pengalaman di bidang ini, dan Akademi Penerbangan karena kekagumanku akan ke dirgantaraan.

Saat itu para penerbang tempur Mig seperti Aleksander Maukar, Leo Watimena dan Rusmin Nuryadin yang sering mendemonstasikan kemahiran mereka sangat populer. Lebih-lebih ketika mereka berhasil menembak jatuh pilot asing Alan Pope yang disewa pemberontak Aku pernah mendiskusikan dengan kakakku yang pernah bertugas di pangkalan angkatan udara Kalijati akan keinginanku menjadi penerbang tempur. Tetapi ia menyarankan sebaiknya jangan karena ia sudah menyaksikan beratnya resiko sebagai seorang penerbang pesawat tempur. Aku menjawab siap menghadapinya.

Kapal Tindahia perlahan-lahan meninggalkan pelabuhan Poso. Para pengantar di pelabuhan tampak bertambah kecil. Matahari dengan sinarnya yang kuning keemasan mulai masuk ke laut di balik tanjung sebelah barat. Setengah jam kemudian lampu-lampu di sepanjang pantai Jalan Penghibur serentak menyala. Makin lama makin banyak membuat pemandangan dari arah laut sungguh semarak. Alunan ombak yang tidak seberapa besar membuat bayangan lampu-lampu itu tampak di bawah air bagaikan dua rahang buaya raksasa dengan lampu-lampu itu sebagai giginya.

Ketika kapal membelok melewati tanjung dan masuk ke laut lepas, suasana terasa mulai hening. Lampu sudah tinggal satu-satu, terpencar jauh satu dengan yang lain dengan cahaya samar-samar. Suasana aru cerah kembali ketika bulan mulai terbit. Rupanya bulan purnama. Bentangan langit besih, dihiasi ribuan bintang-bintang. Cahaya bulan cukup terang sehingga butir-butir air di buritan kapal tampak jelas. Kota Poso yang damai, tempatku menuntut ilmu selama empat tahun dengan suka dukanya kini tinggal kenangan.

Para penumpang mulai kembali ke tempat masing-masing. Tetapi aku masih tetap berdiri di pinggir geladak. Maklum baru sekali ini aku naik kapal besar mengarungi laut lepas dan aku sungguh mengangumi panorama alam yang indah ini. Angin malam yang dingin mulai menerpa. Aku lalu kembali bergabung dengan penumpang-penumpang lainnya. Semua penumpang ditempatkan di satu dek. Pak James Tonggiro, Wakil Ketua DPRD Dati II Poso yang kuikuti tengah asyik bermain catur dengan seorang penumpang.

Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku. “Mau ke mana ?” “Eh, Pak Bas, mau ke Jakarta Pak,” jawabku. Bas Ali orang Gorontalo seorang Muslim yang baik, pemborong bangunan terkenal di Poso dan selalu memberi aku kesaempatan bekerja sambilan di proyek-proyeknya seusai sekolah. Ia memperkenalkan isteri dan puterinya. Wah, cantik sekali sang puteri ini. Hitam manis, kataku dalam hati. “Di Jakarta di mana ?”, seorang penumpang lain disampingku bertanya, karena ia juga akan ke Jakarta. “Senayan”, kataku. “ Oh, itu tempat orang-orang besar”, katanya.

Lelaki ini ternyata pegawai Departemen Pertanian yang baru selesai melakukan penelitian di Sulawesi Tengah. Aku tak menjawab. Tapi kupikir mungkin saja. Sebab nama alamat yang akan kutujuh, namanya saja sudah kebarat-baratan : Gelora Senayan International Village.

Aku membayangkan ketika itu bagaimana nanti aku harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru di situ. Aku anak desa, melihat kota Jakarta saja sudah seperti mimpi. Ibukota negara, tempat Bung Karno selalu berpidato ke seluruh Tanah Air. Setiap tanggal 17 Agustus pukul sepuluh kami murid-murid, pelajar dan masyarakat kota Poso berkumpul di depan Gedung Nasional hanya untuk mendengarkan pidato Bung Karno melalui pengeras suara. Sekarang aku akan tinggal di daerah elit kota itu.

Dari buku pelajaran aku membaca, di tempat itulah diselenggarakan Asian Games dan Ganefo gagasan Bung Karno belum lama berselang. Maga, kakakku anggota Siliwangi yang bertugas di Sukabumi pernah mengirimkan Kartu Pos yang bergambar stadion utama Senayan. Memang megah.

Pemandangan masih gelap ketika kami tiba di Stasion Gambir dari Surabaya. Kami beristrahat sejenak sambil sarapan pagi di depan Stasion. Inilah perkenalan pertama dengan kota Jakarta. Di sebelah barat nampak benda aneh. Besar menjulang tinggi, hitam remang-remang. Bagaikan pohon rindang yang cabang-cabangnya baru ditebas. Makin terang makin jelas, ternyata itu sesungguhnbya sebuah proyek besar yang sedang dikerjakan. Tiang-tiang menyanggahnya masih terpasang tetapi aku belum tahu kalau kemudian akan berupa tugu Monuman Nasional.

Ke Senayan kami lewat depan Balaikota. Aku pikir kantor Pemerintah Dati II Poso masih lebih bagus dan lebih luas. Di kiri kanan Jalan Jenderal Sudirman masih banyak semak belukar dan pepohonan. Di Jembatan Semanggi, seorang polisi lalulintas membantu menunjukkan jalan masuk ke kompleks Gelora Senayan mencari Jalan Atletik.

Gedung Stadion Utama tentu saja selalu menjadi perhatianku. Stadion ini terletak tidak berapa jauh diujung jalan Atletik letak rumah saudara sepupuku, Di sebelah kiri rumah kakak ini ternyata tinggal Sri Sunan Solo beserta keluarganya. Ke kantor beliau selalu berseragam militer Angkatan Darat. Kalau tidak salah dengan pangkat Brigadir Jenderal. Di rumah, beliau nampak sederhana saja. Aku tahu karena di kompleks ini semua rumah tak ada yang berpagar. Dan teras belakang rumah kami berhadapan. Sri Sunan sering muncul di teras dapur hanya memakai sarung tanpa memakai baju. Tapi para pembatu rumah tangga, kalau mendekat tetap merunduk bahkan beringsut layaknya abdi dalem keraton. (Kutipan dari Buku "Perjuangan Hidup").

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *