Friday, May 1, 2020

Peristiwa paling mengesankan sebagai wartawan (6) MENYAMAR, MENGUAK PUNGLI DI TANJUNG PRIOK

Suatu hari aku menemui Dra. Trimurti, pahlawan perintis kemerdekaan yang ikut dalam upacara proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Konon, beliau juga termasuk salah seorang pemudi pejuang yang ikut mendesak Bungkarno dan Bung Hata untuk memproklamasikan kemerdekaan sebelum tanggal 17 Agustus 1945 namun gagal. Isteri Sayuti Melik yang ikut menyusun teks proklamasi kemerdekaan ini, biasa akrab dipanggil Bu Tri. Meski sudah mulai dimakan usia, beliau masih tetap aktif menulis. Tinggal di kawasan Jalan Lontar Jakarta Pusat, beliau termasuk penulis tetap di Harian Kami. Bahkan ia juga menerbitkan majalah sendiri, majalah Mawas Diri. Dia juga pernah dipercaya menjadi Menteri Tenaga Kerja di jaman pemerintahan presiden RI pertama Bungkarno. Beliau mengajak untuk membongkar praktek pungutan liar dan penyelundupan administratif melalui pelabuhan Tanjung Priok yang tertutup rapat dan sulit dibuktikan. Ia memperkenalkan aku dengan seorang importir mobil. Dan dengan selembar surat tugas, aku menemani seorang staf kepercayaannya yang sedang mengurus pengeluaran mobil import asal Jerman. Dengan penyamaran itu aku bisa melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana masifnya praktek kongkalingkong di Kantor Bea Cukai Tanjung Priok. Sayangnya aku tak dapat merekam gambar situasi di sana karena tak bisa membawa tustel. Karena dengan menyandang tustel, penyamaranku akan diketahui. Di depan loket-loket pengurusan administrasi barang ekspor import barang itu memang mundar-mandir anggota Polisi Khusus yang berhelem putih, mirip anggota Polisi Militer. Tetapi apa yang dilakukannya, bukannya menertibkan orang-orang yang berurusan di depan loket. Lebih tepat disebut sebagai pelindung praktek kecurangan di situ. Bila ada atasan atau pengawas dari luar melakukan inspeksi, maka dengan terburu-buru ia berlari-lari menyuruh keluar semua orang selain petugas keluar dari dalam ruangan lalu berpura-pura antri tertib di depan loket. Setelah petugas inspeksi pergi, orang-orang itu kembali lagi masuk mengerubuni petugas pemeriksa dokumen. Ada laci yang senantiasa dibiarkan terbuka. Sebelum berkas dokemen ditandatangan, terlebih dahulu ada main mata atau secara terang-terangan tawar-menawar lalu disusul dengan menjatuhkan lembaran-lembaran uang ke dalam laci. Kalau lembaran uang tak jatuh-jatuh juga, si empunya dokumen diancam dokumennya akan dikirim ke Kantor Pusat Bea Cukai. Berarti pengeluaran barangnya akan lama tersendat keluarnya dari gudang. Yang berarti pula sewa gudang akan makin tinggi dan bunga pinjaman bank akan bertambah besar. Hal ini membuat para importir terpaksa harus mengeluarkan uang sogok. Tak hanya itu. Saat pemeriksaan dokumen, importir harus membawa contoh barang. Dan barang itu umumnya tidak kembali lagi pada pemiliknya. Langsung berpindah tangan ke pejabat penerima suap. Hal sama juga terjadi pada saat pengeluaran barang dari gudang. Reportase hasil penyamaranku kemudian dimuat dalam tiga kali penerbitan. Kudengar setelah itu Menteri Keuangan Radius Prawiro ketika itu mengeluarkan aturan penyederhanaan prosedur pengeluaran barang di pelabuhan. Bahkan kemudian, selama beberapa waktu pengurusan dokumen pelabuhan diambil alih dari Bea Cukai ke dan diserahkan kesebuah lembaga independen.***

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *