Wednesday, May 6, 2020

Peristiwa Paling mengesankan sebagai wartawan (10): DAMPINGI KOMANDAN KEPUNG MARKAS MUSUH

Tahun 1967, tak lama setelah perubahan politik di Indonesia, aku dikirim meliput operasi tempur KKO (sekarang Marinir) ke Paloh Kalimantan Barat. Aku berangkat ke sana memakai fasilitas dari Markas Besar Angkatan Laut (MBAL). Singgah beberapa hari di Mess Perwira AL di Pontianak, kemudian aku seorang diri berangkat naik truk ke Singkawang. Menjelang malam hari berikutnya, aku menumpang kapal kayu menuju Paloh suatu desa kecil di pesisir pantai Kalimantan Barat. Suatu pelayaran yang sangat mendebarkan. Angin topan dan ombak yang besar. Air laut berulang kali menyembur ke atas dek tempatkku berbaring. Tempatku mendekam seraya berpegang pada tali kapal. Takut terlempar keluar. Sekeliling kapal gelap. Hanya suara debur hempasan ombak dan tiupan angin kencang yang terdengar. Sesekali ada bunyi drum yang saling berbenturaan. Awak kapal tak ada yang kelihatan. Entah di mana mereka. Suara merekapun tak ada. Bagi mereka, mungkin ini hal biasa. Maka akupun berusaha tenang. Namun aku terus berdoa mohon perlindungan Tuhan. Aku samasekali tak bisa tidur dan berusaha agar tidak tertidur. Takut kalau tertidur bisa terlempar keluar dari kapal yang terus-menerus oleng. Baru ketika, ombak agak mereda, barulah aku mulai berani memejamkan mata. Itupun setelah aku mengikatkan perkelangan tanganku ke tali kapal. Menjelang pagi merapatlah kami ke kade pelabuhan. Di sana telah berdiri beberapa anggota KKO. Tak kuduga, disitu juga ada Prasetio rekan wartawan dari suratkabar El Bahar. Rupanya ia sudah datang lebih dahulu. Pasukan KKO (Marinir) ditugaskan melakukan pengamanan pantai. Jangan ada penyusupan gerilyawan PARAKU dari laut serta menahan musuh yang terdesak ke pantai dari operasi pembersihan pasukan AD di pedalaman. Gerilyawan PARAKU ini dahulu adalah binaan pasukan khusus TNI sendiri dalam rangka konfrontasi melawan Inggeris-Malaysia. Tetapi mereka menolak ketika diminta membubarkan diri setelah tercapai perjanjian damai. Berkali-kali aku ikut dalam patroli laut dengan menggunakan perahu motor cepat. Seringkali kami gagal mendekati untuk memeriksa kapal-kapal besar yang melintas di kejauhan. Ombak laut lepas begitu besar. Pernah seorang anggota sampai muntah-muntah kuning tak tahan oleh goncangan ombak. Sesekali lembaran air seperti mau menutupi kami. Kalau sudah begitu tak ada pilihan lain kecuali menghindar. Suatu hari ada info terdengar tembakan dari arah hutan di pedalaman. Maka pasukan pun segera dipersiapkan. Sekitar satu peleton di bawah pimpinan Letnan Leo. Aku coba menggunakan seragam loreng lengkap dengan topi baja. Meski kata rekan dari El Bahar cukup “seram”, namun terasa berat. Maka kulepas dan cukup menggunakan pakaian dan topi biasa. Namun sang Komandan memberikan pestolnya agar kupakai dan minta agar aku selalu berada disampingnya. Satu setengah hari kami berjalan melintasi hutan. Sempat bermalam di sebuah rumah kosong. Anjing pelacak yang dibawa pasukan nampak kepayahan. Terpaksa harus dipanggul. Ketika beristrahat tidur, seorang anggota mengeluh lelah kepada temannya. Komandan mendengarnya dan marah besar. Letnan asal Timor ini berkata keras : ”Kalau kamu memang benar anggota Korps Komando Angkatan Laut Republik Indonesia, besok senjataku kau pikul, rangkap dengan senjatamu”. Sang prajurit hanya diam tak berani menyahut. Sekitar jam sepuluh siang berikutnya, sesudah berjalan penuh waspada beberapa kilometer, kami mulai merangkak maju. Sang Komandan mulai mengatur posisi pasukan. Sebagian bersyaf, sebagian lagi dibawah pimpinan seorang Sersan diperintahkan memisahkan diri dan memutar. Saya sedikit mengerti isyarat-isyarat teknik tempur itu karena dahulu memang pernah mengikuti latihan teknik tempur sebagai sukarelawan Pembebasan Irian Barat. Setiap mengambil posisi, dua prajurit bersenjatakan Bren Yuliana mengawal Komandan dengan moncong senjata berkaki dua itu diarahkan ke belakang. Tak berapa lama merangkak, tibalah kami di sekitar sebuah gua batu besar berbentuk bundar. Mirip gedung Stadion Utama Senayan. Komandan segera mengatur steling sekeliling mulut gua. Mengawasi setiap ada gerakan dari dalam gua. Semua senjata, rata-rata senjata otomatis AK-47, sudah dikokang, siap memuntahkan peluru.Konon, sekali tembak dapat memuntahkan enampuluh butir peluru. Di tengah lantai gua yang rata masih terlihat asap di bekas api unggun. Petanda baru saja ada orang di situ. Bahkan mungkin orangnya masih ada bersembunyi. Tiba-tiba dari dalam bermunculan orang-orang berseragam loreng dengan senjata siap tembak. Aku yang hanya mengenal anggota KKO dari baret merah ungu mereka tak cepat mengetahui siapa mereka. Karena semuanya memakai topi baja. Tetapi sang Komandan segera mengenal. Mereka anggota-anggotanya. Ia lalu berdiri dan melepaskan beberapa kali tembakan. Kode, situasi telah aman. Tak lama kemudian seluruh pasukan sudah berkumpul dan siap-siap kembali ke Markas. Sebagian besar menduga semua ini hanya ulah para pemburu. ***

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *