Friday, May 1, 2020

Peristiwa Paling Mengesankan sebagai wartawan (3): MASUK DAFTAR HITAM KOPKAMTIB

Pada awalnya kebebasan pers nampaknya akan terjamin dalam pemerintahan baru. Koran Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis dan Pedoman pimpinan Rosihan Anwar yang dahulu dilarang diijinkan terbit kembali. Undang-Undang Pokok Pers diterbitkan. Meskipun adanya Ijin terbit dan Ijin cetak dari Pemerintah tetap diwajibkan, namun pemanggilan terhadap wartawan tidak lagi sembarangan. Hanya Jaksa Agung yang boleh melakukannya, dan itupun hanya boleh terhadap Penanggung Jawab suratkabar. Tetapi lama-kelamaan, pemerintah mulai lagi memperketat pengendalian terhadap pers. Pejabat-pejabat pemerintah sering melarang pemuatan berita-berita tertentu. Surat kabar yang dianggap melanggar dihentikan penerbitannya dengan mencabut ijin cetak atau sekaligus dengan ijin terbitnya. Koran Indonesia Raya yang gencar memuat berita-berita korupsi dibreidel lagi . Menyusul Pedoman, Nusantara, Majalah Ekspres, Majalah Tempo dan beberapa media lainnya termasuk Harian Kami.. Karyawan-karyawan mulai dari wartawan, pegawai administrasi, agen dan pengecer koran, kolportir iklan sampai petugas percetakan terpaksa menganggur. Keluarga mereka kehilangan sumber nafkah. Tidak ada forum pengadilan untuk mengajukan pengaduan. Kami, karyawan Harian Kami seperti dibunuh plan-pelan. Ijin Terbit baru dicabut enam bulan setelah pencabutan Ijin Cetak. Ketika itu harapan untuk dapat terbit kembali tetap ada selagi yang dicabut hanya ijin cetak. Selama itu setiap hari kami hanya datang ke kantor, menunggu dan menunggu dan tidak mengambil keputusan apapun karena berharap ijin cetaknya akan diberlakukan lagi. Selama penantian yang tidak pasti itu, sisa pengha-silan untuk kehidupan sehari-hari mulai habis. Karena itu kami masing-masing mulai memikirkan cara mendapatkan sumber penghasilan tambahan sambil menunggu jawaban pemerintah atas kelanjutan penerbitan koran kami. Apalagi bagi teman-teman yang sudah mempunyai tanggungan keluarga. Ada yang mulai mencoba nasib melalui usaha batu kapur dan ada yang buka warung. Aku sendiri menemui Bapak Ismid Hadad yang sudah menjadi Pemimpin Umum/Redaksi Majalah Prisma, sebuah majalah ilmiah. Ia memberi aku pekerjaan mengoreksi hasil cetakan naskah dan memberi aku sekedar honor. Aku menghubungi Pak Goenawan Muhamad, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo. Disana telah bergabung juga teman-teman dari ex. Harian Kami seperti Fikri Jufri, A. Bastari Asnin, Lukman Setiawan, Christianto Wibisono, Bandoro, dan fotografer Ed Zulverdi. Aku menghadapi kendala. Sebagai wartawan bekas koran yang dibreidel harus memperoleh rekomendasi dari Kopkamtib untuk dapat bekerja kembali sebagai wartawan. Kabarnya aku termasuk yang masuk daftar hitam Kopkamtib. Tetapi aku ogah datang memohon-mohon ke lembaga itu. Aku masih merasa sakit hati atas perlakuan terhadap kami. Pada saat itu pula Pak Zulharman dan beberapa bekas pengurus Yayasan yang menerbitkan Harian Kami berhasil mendirikan PT. Enam-Enam. Perusahaan ini dimaksudkan untuk menampung para ex karyawan Harian Kami yang belum bekerja. Kegiatan awalnya adalah usaha klipping berita koran, biro iklan dan bantuan Hukum. Pak Erman dan E. Subekti menangani klipping, Pak Abdi Kusumanegara dan Pak Abbas Ali menangani Biro Iklan sedang Bantuan Hukum dirangkap Pak Erman. Erman adalah alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan selama masih kuliah merupakan kontributor berita Harian Kami. Untuk mendukung usaha clipping mereka membeli mesin fotocopy yang sekaligus juga melayani umum. Meskipun aku telah aktif sebagai koresponden lepas di Majalah Tempo, aku masih ke kantor ex. Harian Kami, bertemu teman-teman. Aku boleh tetap menggunakan fasilitas kantor seperti mesin tik bahkan sepeda motor. Aku tergugah melihat inisiatif, solidaritas dan perjuangan keras teman-teman untuk bangkit lagi dari bidang usaha yang sama sekali baru. Datang subuh-subuh, memborong koran, menandai berita-berita, menggunting, menempel, memfotocopy dan memperbanyak, menjilid, mengirim, mencari langganan dan melakukan penagihan. Mula-mula hasilnya tak seberapa. Tetapi adalah lebih baik ada kegiatan dengan suatu harapan, daripada menunggu saja tanpa kepastian. Mulai timbul keinginanku untuk kembali bergabung. Teman-teman di Majalah Tempo Jalan Senen Raya 83 rupanya berhasil mengusahakan surat rekomendasi dari Kopkamtib untukku. Aku dipanggil lalu Pak Goenawan Mohamad memperkenalkan aku ke Direktur Perusahaan. Sejak itu aku sebetulnya sudah menjadi wartawan tetap. Tetapi keinginanku untuk kembali bergabung dengan kawan-kawan di Jalan Kramat VIII/2 makin bertambah kuat. Tiba-tiba datang instuksi dari Kopkamtib agar semua majalah Tempo terbitan minggu itu ditarik semua dari peredaran dengan alasan tulisan mengenai salah satu tradisi di kraton Jogya di majalah itu dinilai melanggar tata susila. Aku bertanya pada Pak Goenawan, apakah majalah ini dapat betahan selama lima tahun ? Pak Goenawan menjawab, “bukan lima tahun tetapi lima puluh tahun !” Namun jawaban optimis ini belum meyakinkan aku. Akankah kami akan mengalami lagi perlakuan seperti Harian Kami, Indonesia Raya, Pedoman dan lain-lainnya ? Karena itu mantaplah keputusanku untuk berhenti meninggalkan profesiku di bidang kewartawan yang selama ini kutekuni. Beralih ke bidang lain, setidak-tidaknya selama masih ada ancaman pemberangusan tehadap dunia pers. Aku mengundurkan diri dari Tempo dan bergabung dengan teman-teman mengembangkan Clipping Service Agency. Meski keputusanku disesali dan mengherankan teman-teman terutama Pak Ismid Hadad, namun aku sudah berketetapan hati. Aku bersedia masuk kerja setiap subuh bersama teman-teman bahkan siang hari ikut mengantarkan hasil klipping sampai-sampai ke Cilicing dengan sepeda motor sambil mencari pelanggan baru.

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *