Tuesday, May 5, 2020

SISI LAIN DARI LAGU “SOLO-BALAPAN”NYA ALM.DIDI KEMPOT

Mendengar judul lagu “Solo-Balapan” lagu terpopuler dari alm. Didi Kempot yang baru saja meninggalkan kita, saya teringat kisah seorang sahabat yang juga berjudul “Solo-Balapan”. Hanya kalau lagu ciptaan almarhum berkisar pada tema patah hati, maka kisah sahabat asal Jogya ini bertema asmara yang “happy end”. Singkat ceritera, Mas Tijo adalah teman senasib saya bersama rekan-rekan lain dari suratkabar Harian Pelopor. Ketika saya dirawat di rumahsakit tahun 1965, suratkabar kami tersebut diberangus penguasa baru sehingga semua karyawan menganggur. Beruntung Mas Tijo dapat bekerja kembali sebagai wartawan di suratkabar Pelopor Baru. Koran ini satu dari dua suratkabar yang sengaja diterbitkan untuk menampung para karyawan ex. suratkabar Pelopor. Tetapi dengan versi baru dibawah kontrol militer. Koran lainnya adalah Pelopor Jaya yang di bawah kontrol Kodam V Jaya. Keluar dari rumahsakit, saya tak diterima di kedua koran baru itu dengan alasan lowongan sudah tutup. Maka sayapun terpaksa tetap menganggut. Padahal saya masih dalam status rawat jalan akibat penyakit berat yang baru menimpah saya. Tapi Puji Tuhan, kemudian saya dibukakan kesempatan masuk di koran tabloid Harian Kami. Mulanya seperti koran amatiran. Maklum saja dikelola oleh para mahasiswa, aktivis yang ketika itu sehari-harinya hanya demonstrasi karena semua perkuliahan dihentikan. Saat itu redaksinya dipimpin Nono Anwar Makarim. Sekarang beliau menjadi konsultan terkenal. Ia adalah juga ayah dari Nadiem Makarim Menteri Pendidikan Kabinet Jokowi sekarang. Kembali pada ceritera awal, menjelang bulan puasa tahun itu, Mas Tijo mudik dan naik kereta api dari Stasion Gambir dan turun di Stasion Solo Balapan. Dalam perjalanan itu sahabat yang masih lajang dan lumayan tampan ini, rupanya kasmaran dengan seorang gadis Solo. Sepanjang jalan asyik ngobrol. Rupanya ketika sampai di Stasion Balapan Solo ceritera belum habis. Mereka harus berpisah. Rumah sang gadis memang di Solo. Tetapi Mas Tijo masih harus lanjut lagi ke Jogya. Untuk menyambung ceritera yang belum tamat, mereka berjanji untuk melanjutkan lagi bila balik ke Jakarta nanti. Balik kembali ke Jakarta, ba’ Arjuna yang kena panah asmara, ia mengarang ceritera perjalanan Stasion Gambir- Solo Balapan lalu dimuat di suratkabarnya, Harian Sore Pelopor Baru. Setelah terbit, beberapa eksemplar dikirimnyalah ke alamat gadis Solo di kawawan Kramat Jati Jakarta Timur melalui kolportir. Besoknya, kawan ini menerima surat yang isinya puitis. Harap maklum, ketika itu belum ada HP. Apalagi WA. Salah satu kalimatnya berupa pertanyaan : “ Kalo tak salah, gadis Rini itu saya kan Mas ?”. Membaca pertanyaan itu, teman ini tak menjawab. Kami hanya tertawa geli karena jawabannya kami sudah paham sendiri. Ketika Hari Lebaran tiba, ia mengajak saya berlebaran sekaligus berkenalan dengan gadis yang ketika itu sudah menjadi pujaannya. Dapat dibayangkan, bagimana asyiknya kedua pasangan yang sedang terpikat asmara itu. Rupanya sejak itu mereka tak perlu menunggu lama-lama. Mas Tijo pamit dan pulang mudik untuk menikah. Tinggal saya seorang diri di rumah kontrakan yang disediakan koran Pelopor sebelum dilarang untuk kami karyawan bujangan.***

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *