Sunday, September 27, 2020

Dibalik Akademi Jurnalistik Lawan Korupsi (AJLK) dan mundurnya Febri Diansyah

 Menarik juga mengikuti pemaparan Febri Diansyah mantan Jubir KPK Kamis malam hingga subuh tanggal 24 September 2020 lalu di salah satu TV swasta mengenai pembentukan Akademi Jurnalistik Lawan Korupsi (AJLK) 2020. Menariknya, bukan hanya karena topiknya “Memahami Oligarki, Ketatanegaraan, Ekonomi & Politik”, yang memang tepat waktu untuk sekarang, tetapi juga karena yang ditampilkan sebagai narasumber cukup kompteten. Independensi mereka  tak diragukan. Sebutlah Jeffrey Winters, dari Northwestern University, AS yang banyak menulis tentang Indonesia, Zainal Mochtar dari FH-UGM, ekonom Faisal Basri dan Najwa Shihab, jurnalist senior yang juga populer dengan acara “Mata Najwa”-nya saat ini.

Tambah menarik lagi karena penayangan itu dilakukan justeru pada saat-saat Febri Diansyah baru saja diviralkan telah mengajukan surat pengunduran diri dari komisi anti korupsi itu. Apakah Febri sedang memanfaatkan sisa waktunya melaksanakan apa yang dapat dilakukan untuk pemberantasan korupsi di KPK sebelum keluar keputusan mengenai pengunduran dirinya ? Yaitu menjadi moderator  webinar pembentukan AJLK 2020 itu ?

Mengikuti pemaparan para narasumber diatas, telah membuka kesadaran bahwa hingga masa pemerintahan Jokowi inipun rupanya jaringan mafia korupsi, bukanlah makin berkurang tapi malah makin menjadi-jadi. Apalagi setelah KPK dilumpuhkan dengan adanya revisi Undang-undang KPK yang lama.

Rupanya telah terladi kolaborasi kejahatan  tersamar yang sistematis, yang melibatkan oknum-oknum berpengaruh di semua lini. Mulai dari para pengusaha hitam, oknum-oknum pembuat peraturan perundang-undangan di lembaga legislatif, oknum pejabat di lingkungan pemerintahan (eksekutif) maupun oknum-oknum di lembaga penegak hukum.Ungkapan mantan Wakil Presiden Adam Malik, “semuanya bisa diatur”, seperti yang diucapkannya ketika menjadi Ketua Sidang Umum PBB di New York, telah disalahgunakan. Bahwa dalam melakukan korupsipun segala sesuatunya bisa diatur. Melalui suap, draft produk hukum DPR bisa diatur sehingga kemudian memberi peluang koruptif  bagi para pengusaha hitam, oknum-oknum dan oknum-oknum di pemeritahan maupun penegak hukum. Undang-undang bisa disetir agar para koruptor yang tertangkap bisa tak dituntut ataupun kalaupun dituntut. cukup dengan hukuman ringan saja.

Maka dengan menyimak pemaparan para narasumer diatas, dapatlah dipahami mengapa banyak lembaga-lembaga negara yang mestinya independen tetapi tak berdaya. Seperti berbagai Komisi dan Dewan Kehormatan di lembaga-lembaga negara atau Komisaris di perusahaan-perusahaan negara. Mereka tak bisa berbuat apa-apa. Tak memiliki wewenang menjatuhkan sanksi, sehingga keberadaan mereka hanya merupakan pemborosan. Demikian juga lembaga-lembaga pengawasan internal seperti Inspektorat mulai dari tingkat Kementerian sampai lembaga pemerintahan daerah terendah, terbukti juga tidak mampu membendung praktek suap yang akhirnya juga berujung pada tindak pidana korupsi. Pertanyaan, kemana mereka berada ketika kasus korupsi terjadi di depan hidung mereka ?

Ketika hal itu terjadi, mestinya pimpinan lembaga pengawas internal itu langsung dicopot. Meskipun tidak terlibat secara langsung, tetapi secara fungsional ia harus bertanggung jawab. Menurut penulis, sudah demikian banyak teori-teori dan teknik-teknik mengungkap tindak pidana korupsi. Tidak kurang-kurang pula ahli-ahli managemen dan ahli hukum dengan titel-titel kesarjanaan bertengger diawal dan akhir nama mereka. Tetapi korupsi tetap saja ada. Masalahnya, rupanya bukan pada tingkat pengetahuan, tetapi pada sikap mental. Orang-orang berpendikan tinggi tetapi bila mentalnya bobrok justru berbahaya. Lebih baik memilih orang yang berpendidikan pas-pasan saja tetapi jujur. Memang idealnya  orang pintar  sekaligus juga jujur dan bermental baik. Sekarang orang-orang seperti Bung Hatta sudah langka. Meski sebagai Wakil Presiden dan Perdana Menteri, bahkan membeli mesin jahitpun isterinya tak mampu. Ada juga orang seperti Ahok (BTP). Tapi orang ini, belum apa-apa sudah mendapat tantangan. Terutama dari mereka yang menginginkan jaringan korupsi terselubung ini tetap berjalan langgeng. Kalau Febri Diansyah kecewa dengan kinerja KPK sekarang sehingga memilih mundur dan Ahok Komut Pertamina yang pernah mengaku sebagai Auditor kecewa terhadap kebijakan Direksi yang tetap menggaji tinggi orang yang tak jelas kerjanya,  dapat dimengerti. Penulispun sebagai auditor internal, pernah mengalami kekecewaan serupa. Pegawai yang telah berbulan-bulan tidak masuk kerja dan telah direkomendasikan untuk diberhentikan, malah gajinya selama menghilang tetap dibayarkan. Bahkan memperoleh kenaikan pangkat lagi !

Sebenarnya kita menaruh harapan tinggi kepada pemerintah dan partai berkuasa saat ini. Partai yang dominan di lembaga legislatif seyogyanya bersama presiden pilihannya sekarang mestinya mampu menata kembali kondisi ketatanegaraan kita saat ini. Mengevaluasi kembali semua peraturan perundang-undangan yang membuat lembaga negara benar-benar dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Tidak lagi hanya bagaimana melanggengkan kelangsungan kekuasaannya semata yang hanya bersifat sementara. Tetapi menciptakan peraturan penundang-undangan yang benar-benar dirasakan menguntungkan dan dapat dinikmati seluruh rakyat.

Partai berkuasa dengan keunggulan suaranya yang dominan, pasti dapat melakukannya bersama Presiden. Kalau mau.***

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *