Sunday, September 27, 2020

Dilema “Jaga Jarak” : Apa Boleh Buat Meski Bertentangan dengan semua tatanan Sosial

Kalau hingga sekarang kita menghadapi banyak tantangan dalam menerapkan Jaga Jarak (JJ) salah satu dari Protokol Kesehatan (PK) dalam rangka membendung penyebaran virus Corona 19 – saya dapat memahami. Mengapa ? Karena kalau dipikir-pikir, JJ ini sesungguhnya bertentangan dengan semua tatanan sosial. Baik pergaulan hidup sehari-hari dalam interaksi sesama anggota keluarga, sesama karyawan di perusahaan, organisasi, keagamaan, ekonomi (pasar), pendidikan, kebudayaan, politik dst dst.

JJ sesungguhnya bertolak belakang dengan kodrat manusia sebagai mahluk sosial (homo socius) seperti dirumuskan filsuf Yunani Aristoteles dan Adam Smith. Bahwa manusia itu selalu cenderung bekerjasama, tak bisa lepas dari manusia lainnya. Jadi, beda dengan lutung, sejenis kera besar di hutan yang selalu cenderung menyendiri.

Kata-kata persatuan, gotong-rorong, mempererat, kerjasama, persahabatan, bergadengan-tangan, silakhturahmi, persekutuan, berjamaah, grup, kesatuan dan seterusnya – konotasinya adalah kedekatan. Bagaimana mungkin ekonomi pasar tradisional bisa lancar kalau para pembeli dan penjual di pasar harus saling berjauhan. Bagaimana mungkin suatu sendratari, paduan suara, konsert, sepakbola dan olahraga lainnya, parade militer atau persekolahan bisa lancar bila harus berjauhan.

Konstitusi negara-negara, piagam-piagam internasional, ajaran agama serta norma-norma sosial lainnya semua mengisyaratkan kedekatan, dan bukan pemisahan. Dan di sinilah dilema mengapa selama ini anjuran JJ mengalami banyak tantangan. Apalagi dalam tradisi berbagai masyarakat Indonesia yang beragam adat-istiadatnya. Orang Jawa bilang “Mangan ora mangan pokoke ngumpul”. Kebiasaan saling mendukung dan menunjukan solodaritas dalam kesusahan sahabat atau kerabat, sangatlah sulit bagi kebanyakan orang Indonesia untuk tidak melayat ke rumah keluarga atau sahabat yang meninggal dunia. Bahkan ketika ada yang sakit akibat penyakit menular, seorang sahabat atau anggota keluarga sampai rela mendampingi si pasien dengan mempertaruhkan hidupnya sendiri. Kalau harus mati, biarlah mati bersama. Hanya sayang, orang demikian, hanya memikirkan dirinya sendiri, emosinya sendiri. Tidak sempat mempertimbangkan keselamatan orang banyak. Apabila ia terjangkit dan tetap bisa bertahan hidup, seperti dalam kasus covid 19 saat ini, dan ketika ia kembali ke tengah-tengah pergaulan umum – maka jadilah ia penyebar virus berbahaya ini.

Mengemukakan fakta-fakta diatas, tidaklah berarti penulis menentang anjuran JJ. Hanya ingin mengajak kita menyadari apa sesungguhnya yang menjadi penyebab psikologis keengganan sebagian warga masyarakat untuk secara sadar mematuhi anjuaran JJ. Sehingga dalam menghadapi mereka, tidak asal hantam kromo. Pokoknya, aturan demikian, laksanakan. Tidak cukup hanya menyebarkan aturan-aturan dan menjatuhkan sanksi bagi yang melanggar. Penjatuhan sanksi yang demikian tanpa si pelanggar memiliki pemahaman yang memadai akan maksudnya, justeru akan semakin banyak meningkatkan penentangan. Peraturan pelaksanaan di lapanganpun harus tegas,  jelas dan masuk di akal.

Contoh kasus, ada dokter yang  menyetir mobil sendirian tanpa ada penumpang. Dikenakan sanksi karena tak menggunakan masker. Si dokter tidak menerima. Mungkin dalam pemahamannya,  penggunaan masker hanya dilakukan ketika akan bersinggungan dengan orang lain. Bahkan bila dengan keluarga sendiri dalam mobil tertutup tak perlu pakai masker. Dari sisi dokter ini sendiri, pemahaman ini bisa benar.

Tapi dari sisi para petugas yang harus mengawasi  ratusan bahkan ribuan mobil yang lalu-lalang, tak mungkinlah memeriksa satu persatu semuanya apakah mobil pribadi atau bukan. Apakah taksi online  yang sebentar-sebentar berganti-ganti penumpang. Dan mungkin diantaranya ada yang terpapar virus covid 19. Maka mungkin, untuk praktisnya  pengendara mobil, sendiri atau membawa penumpang diwajibkan saja semuanya pakai masker. Bila kendala yang dihadapi para petugas ini disadari sedikit saja oleh si dokter tadi, maka tak perlulah ia berkeberatan. Apalagi dokter dan petugas mempunyai misi yang sama.

Penolakan dalam bentuk lain, seperti perawatan , tata cara pemakaman jenazah akibat virus cpvid 19 perlu pula dievaluasi apa penyebabnya. Yang sering dikemukakan adanya penanganan yang kurang layak menurut tata cara agama. Maka untuk ini mungkin perlu pelibatan atau pendampingan tokoh agama dalam tim penanggulangan Covid 19 yang memberi keyakinan bagi keluarga yang berduka atau kerabatnya bahwa semuanya telah berjalan dengan wajar. Sehingga tak terjadi lagi, makam dibongkar dan kemudian jenazah diupacarakan lagi kemudian dimakamkan kembali.

Intinya, pemahaman akan perlunya jaga jarak perlu dilakukan melalui pendekatan budaya. Oleh tokoh-tokoh agama / rohaniwan, budayawan, para dokter, ahli pendidikan, psikolog. Pemahaman yang dilakukan oleh satgas selama ini nampaknya kurang efektif karena mereka juga sekali gus sebagai pelaksana penindakan. Dan dalam penindakan ini terkadang terjadi  tindakan yang dasarnya kurang dipahami. Seperti sanksi sosial menyanyikan lagu Indonesia Raya, push-up, mengucapkan ayat-ayat Pancasila, menyapu jalan, membersihkan kali, bahkan ada petugas-petugas yang seperti main ketoprak di jalan. Katanya untuk sosialisasi. Menurut penulis, semua ini hanya kesia-siaan dan hanya memboroskan waktu dan tenaga para petugas mengawasinya. Yang melaksanakannyapun seperti asal-asalan.

Mengapa tidak tegas saja. Kenakan denda yang berat bagi pelanggar melalui pengadilan yustisi. Mereka yang melanggar ditahan sementara sampai mereka membayar denda. Alasan “tidak tahu”, hanya petugas bodoh saja yang masih mau menerima alasan ini. Karena sekarang, begitu orang keluar rumah, khususnya di perkotaan, dia sudah menemui banyak sekali orang memakai masker.

Agaknya perlu pula ada klasifikasi sanksi dalam pelaksanaan protokol kesehatan. Karena sering terlihat ada orang yang seperti ogah-ogahan memakai masker. Tidak sepenuh hati. Masker hanya dijadikan kalung atau hanya menutupi mulut. Atau hanya dikantongi saja. Baru dipakai kalau melihat ada razia. Yang demikian inipun pantas dikenakan sanksi. Hanya mungkin lebih ringan.

Menurut pengamatan, pemakaian masker di pasar-pasar tradisional masih jauh dari memuaskan. Pengawasan juga hampir tidak ada. Memang ada spanduk-spanduk, atau  psoter anjuran memakai masker. Tapi seperti tak ada artinya. Para pedagang kebanyakan tidak menggunakan masker. Atau menggunakan, tetapi tidak sebagaimana mestinya. Padahal, para pedagang itu melayani para warga yang silih datang berganti dan kemudian pulang di tempat masing-masing di perkampungan. Kalau saja ada pedagang yang  ramai dikunjungi pembeli dan terpapar virus covid 19, maka dapat diperkirakan bagaimana penyebaran covid 19 selanjutnya di perkampungan atau di kompleks-kompleks pemukiman.

Alasan yang sering dikemukakan, adalah agak sedikit mengganggu lancarnya pernapasan dan percakapan. Alasan ini memang ada benarnya, tetapi di atas semuanya yang lebih utama adalah keselamatan orang banyak. Mengapa tidak rela berkorban sedikit untuk keselamatan bersama. Mungkin para dokter bisa memberikan tip bagaimana cara menggunakan masker yang baik sehingga kendala kecil di atas bisa diatasi.

Barangkali kini sudah saatnya pemerintah berani mengumumkan bahwa sekarang sudah hampir tak ada lagi udara yang terbebas dari virus corona sehingga setiap kali berada di luar rumah perlu memakai masker !!.

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *