Monday, September 14, 2020

Sejarah perjuangan suku Mori Bahono versi TBB (12): Asal Mula warga Bahono ramai-ramai memeluk Kristen


Bersamaan dengan berakhirnya perang, penyebaran agama Kristen oleh para penginjil khususnya dari Zending Belanda mulai giat dilaksanakan. Dua ahli peneliti Belanda yang telah menjadi pendeta, Dr. Albert C Kruyit dan Dr. N. Adriani kembali lagi meneruskan penelitiannya. Mereka sangat menguasai Bahasa Mori dan Bahasa Pamona (Bare’e).

Mereka membuka sekolah-sekolah Zending dan mulai membangun jemaat-jemaat Gereja Protestan. Alkitab diterjemahkan ke dalam bahasa Mori dan Bahasa Pamona (Bare’e) lalu dibagi-bagikan kepada setiap jemaat. Perjanjian Lama bahasa Mori yang dilengkapi dengan gambar-gambar ilustrasi, sampul tebal dan ukuran kwarto diberi judul “Toetoeloedo Mia nse’elu” (Riwayat Orang-orang Jaman Dahulu), dan Perjanjian Baru dengan judul “Dandi Wo’ohu”(Janji Baru).

Di seluruh tanah Mori, termasuk Mori Selatan, semuanya sudah berdiri jemaat-jemaat Kristen dan Sekolah Zending Tiga Tahun, tetapi.di antara Suku Bahono belum dibuka satu sekolahpun dan jemaat Kristen akibat pengaruh Ue Lagasi.

Ia tidak mengijinkan rakyatnya mengikuti agama yang dibawa orang-orang Belanda karena khawatir ditipu. Ia selalu mengatakan, siapa-siapa yang bersekolah atau masuk gereja nanti akan dibunuh Belanda atau dibawa ke negerinya.

Ia tidak pernah lupa peristiwa beberapa tahun sebelumnya ketika ia dan pengiringnya ditembaki  di Benteng Lasi oleh tentara Belanda yang katanya mau datang dengan maksud damai. Saudara iparnya hampir terkena peluru. Sejak itu ia tidak percaya lagi bahkan benci kepada orang-orang Belanda !

Tetapi pandangan Ue Lagasi ini kemudian berubah ketika mencoba mencari penyebab gagalnya panen rakyatnya pada tiga tahun terakhir. Sedangkan hasil kebun padi suku-suku sekitar yang telah mengikuti agama Kristen selalu bagus. Ada kemungkinan, kata Ue Lagasi, seperti pernah diucapkan Ue Wainugi, isterinya kepada penulis,”Ue Lahumoa, dewa matahari, sudah tidak memperdulikan mereka lagi”.

Lalu kedua suami isteri tu menyuruh dua orang anak muda yang tinggal bersama mereka, yaitu Mabeangi Dempe dan Podusu pergi membeli padi sambil mengamati cara hidup orang-orang gereja suku Ulu “uwoi di kampung Dolupo. Ketika kedua orang suruhan itu kembali, mereka membawa padi yang memang terbukti benar bagus, bulir-bulirnya berisi dan berat diangkat.

Setelah bermusyawarah dengan tua-tua kampung lainnya, diambillah keputusan bahwa “mulai sekarang kita akan mulai mominggu (ke gereja)”.

Dan pada suatu hari, Pendeta Dr. Albert Kruyt dan Dr. N.Adriani yang tengah dalam perjalanan ke Kawata, singgah bermalam di Goda (Persenggrahan/Rumah Singgah) Ulu’anso. Ue Lagasi datang menemui mereka dan berkata dalam bahasa Bahono :”Pandita, kami mingki mpominggu ma mpesikolah”, artinya, “kami ingin masuk gereja dan bersekolah”. Jawab Pendeta, “Humbee, aku lumako paresae ari sikolah ma raha mpominggua (gereja) i Kawata. Pekule kupo maku amba montena guru ma pandita inso i Pendolo iwa i ndi’ai”, artinya, “ Ya, saya setuju, saya akan pergi memeriksa dulu sekolah dan gereja di Kawata. Sekembali saya, saya akan mengutus guru dan pendeta dari Pendolo ke sini”

Ue Lagasi dengan isterinya Ue Wainugi menyuruh anak mereka yang paling tua, Simpugi (Malau), pergi memberitakan kepada seluruh warga suku Bahono yang sehari-harinya berdiam di rumah kebun-kebun mereka. Supaya menyadari bahwa sekarang sudah tiba waktunya semua warga Bahono masuk Gereja dan bersekolah. Boleh dikata, putra pertama beliau inilah yang menjadi pengabar injil pertama dari kalangan suku Bahono.

Tanggal 3 Maret 1922 mulailah dibuka gereja dan Zending School 3 Tahun di Ulu’anso untuk penduduk Ulu’anso dan Kumpi. Khusus untuk orang-orang dewasa diadakan kursus PBH (Peberantasan Buta Huruf).

Orang Bahono merasa bahagia. Tiap tahun, baik di Ulu’anso maupun Kumpi, hari itu selalu diperingati dengan melakukan kebaktian syukur di gereja. Tahun 1926 seluruh orang tua-tua dewasa dan anak-anak mengikuti baptisan air massal pertama di Ulu’anso. Dengan demikian berakhirlah pemujaan kepada dewa Lahumoa matahari. Tetapi kepercayaan atas hukum karma, bahwa yang berbuat kejahatan akan mendapat ganjaran yang berat dari Yang maha Kuasa tetap diyakini.

      Ayah, ibu dan paman Malau (Simpugi) Lagasi serta kawan-kawannya mengikuti sekolah malam. Mereka diajar guru Wendur menulis di atas daun pisang muda dengan menggunakan lidi.

Pada hari Minggu mulai diajarkan dasar-dasar agama Kristen. Antara lain bahwa Tuhan Allah bekerja selama enam hari dan hari ketujuh, yaitu hari Minggu Dia berhenti. Hari ketujuh adalah “ileo mempori” (hari suci). Karana itu hari Minggu adalah hari bergereja. Tidak boleh bekerja dan harus beribadah kepada Tuhan Allah.

Guru-guru yang berjasa merintis pendidikan bagi masyarakat Bahono, adalah :

1920-108 : Wendur, asal Manado, merangkap Guru Jemaat. Tahun 1926 ia mengadakan baptisan massal yang dilayani Pendeta K. Riedel, misionaris dari NZG (Nederlandsche Zending Genootschap).

1926-1931 : Musa Larope, asal Lembobelala.

1931-1935 : Garanti Lagarense, asal Lembobelala

1935-1941 : Laemadi Lengkono, asal Lembo Manente,

1941 : Dansenga, asal Tinompo. Hanya tiga bulan diganti.

1941-1943: Lamale Kurami Tumakaka, asal Tinompo.

1943-1944 : Herling Rabeta, asal Tomata,

1944-1945 : Naigame Peuru, asal Pandiri/Pe’onea,

1945-1947 : Masimuda Porotu’o, asal Korowalelo;

1947- pensiun : Legalia Mandake, asal Wawopada.

Tahun 1950 L. Mandake memindahkan sekolah ke Kumpi karena sering diganggu gerombolan TII/DI dari Nuha/Malili. Ketika orang Bahono mulai mengungsi ke Beteleme tahun 1953 ia pindah lagi ke Undoro. Dan ketika orang Ulu’anso memangun kampung baru di Mora, SR-GKST 3 Tahun Ulu’anso diaktifkan lagi. Ditingkatkan menjadi SR-6 Tahun Ulu’anso dan tetap dipimpin Guru L.Mandake sampai pensiun. Ia selanjutnya digantikan Samuel (Sudaeli) Lapoliwa sebagai Kepala Sekolah.

Keluarga-keluarga suku Ture’a/Bahono yang masih tinggal di Lintumewure sering juga dikunjungi dan diajak mominggu oleh Guru Wendur yang merangkap sebagai Guru Jemaat. Kemudian dilanjutkan penggantinya Musa Larope dan Garanti Lagarense. Demikian pula ketika keluarga-keluarga itu pindah ke Pangempa. Tetapi ketika Garanti Lagarense digantikan Laemadi Lengkono tahun 1935, kunjungan pelayanan itu tidak dapat dilakukan lagi. Mulai saat itulah keluarga-keluarga Ture’a di Pangempa yang semula sudah mendengar Injil tak terlayani lagi sehingga akhirnya mereka beralih memeluk Islam. ***

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *