Sunday, April 26, 2020

Novelku Terbaru : NURHAYATI (6) : JUMPA YANG MENGHARUKAN

Sebuah mobil sedan biru metalik suatu sore berhenti di depan rumah Wati. Dari dalam keluar seorang pemuda berpakaian sederhana. Baju putih lengan panjang, celana jean biru dan sepatu kets. Sejenak ia berhenti. Berdiri saja di depan pintu pagar yang tingginya hanya setinggi bahu. Ia tidak mengetuk pintu, mengucapkan salam atau memanggil seseorang. Ia seperti ragu-ragu. Tapi seorang anak kecil membuka pintu rumah, menengok ke depan dan kemudian masuk lagi. “Mbak Wati, ada tamu”., teriaknya. “ He Adi ! Mari masuk”, Wati bergegas ke depan seraya membukakan pintu pagar. Sampai di teras, Wati menghentikan Adi. “Tunggu dulu...”, katanya sambil cepat-cepat melangkah masuk ke dalam mau mendahului. Tapi di depan pintu ia hampir bertubrukan dengan Nur yang sudah pula berlari kecil keluar. “Ada Adi ada Adi”, bisik Wati “Ya ya..”sahut Nur lalu sambil lari keluar memeluk Adi yang memang telah lama dia nanti-nantikan. Adi juga memeluk Nur, seperti layaknya seorang kakak-adik yang telah lama berpisah dapat bertemu lagi. Nur menangis terisak-isak dalam rangkulan Adi. Sedangkan Adi nampak berusaha tegar. Namun matanya nampak ikut berkaca-kaca dan meneteskan air mata. “Kau baik-baik saja, Nur ?”, tanya Adi kemudian. “Ya, lebih baik sekarang.”, katanya sambil keduanya bergandengan tangan masuk ke dalam. Ayah dan ibu Wati serta adik-adiknya semua keluar berdiri menyaksikan perjumpaan mengharukan itu, namun sekaligus juga terbesit rasa sukacita yang mendalam. “Sudah nggak ada..., nggak ada. Mereka sudah pergi....Adi ‘’, Nur menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya sambil menunduk dan menangis. “Ibu dan ayah telah pergi meninggalkan aku”, Nur terus mengeluarkan isi hatinya. “Tega-teganya mereka !”, katanya sambil terisak. “Sabar Nur, semua sudah terjadi. Kita harus menerimanya dengan ikhlas”, Adi mencoba menenangkan. “Itu karena salahku.... Ampuni Nur, Papa.. Ampuni aku Ma”. “Dulu Nur pergi meninggalkan Papa dan Mama. Nur tahu, Papa Mama akibatnya menderita. Sekarang mereka yang meninggalkan aku..”. Suasana sesaat hening. Hanya Adi dan Wati tetap duduk diam menemani Nur, duduk di kiri kanannya. Yang lainnya sudah undur dari ruang tamu. Tiba-tiba Nur mengangkat mukanya yang masih lembam. Sambil menyekah air mata yang masih menggenang di matanya ia menatap Adi. “Maukah Adi menolong Nur...?” “Tentu saja. Tak usah ditanyakan lagilah.Apa yang bisa kubantu ? Katakan saja”, sahut Adi penuh perhatian. “Nur ingin ziarah ke makam Papa dan Mama”, tatap Nur berharap. “Ya siap kapan saja”, jawab Adi sambil merapihkan rambut Nur yang terurai menutupi wajahnya. Lama sekali Nur terpekur, bergantian di pusarah ayah dan ibunya. Keduanya memang berdampingan. Ia menyIrmamkan minyak wangi, menabur bunga seraya mengusap-ngusap batu nisan yang bertuliskan nama kedua orangtuanya. Adi dan Wati yang ikut menemani tetap berdiri mendampingi. Mereka ikut menabur bunga , menyIrmamkan minyak wangi dan mencabuti rumput liar yang mulai tumbuh di pinggIrman pusarah. Sesekali kereta api melintas. Dekat pemakaman itu memang melintas rel kereta api. Disitulah dahulu pernah terjadi tubrukan kereta barang dan kereta penumpang yang mengakibatkan korban jiwa sekitar dua ratus orang. “Nur, sudah mau magrib” , Wati akhirnya membisiki Nur. Nur mengerti. Dengan tubuh lemas, ia berdiri. Sekali lagi ia mengusap nisan ayah dan ibunya sambil bergumam. Sampai di jalan yang membatasi petak-petak makam, ia menoleh sesaat ke belakang. Seakan mau menandai dan mengingat-ingat lokasi makam kedua orangtua yang sangat disayanginya itu. Sepanjang perjalanan pulang dari Tanah Kusir Nur lebih banyak diam Pulang dari rumah Wati, Adi berpikir keras. Apa yang sebaiknya dia harus lakukan. Dan bagaimana hubungannya dengan Irma.Apakah perlu mendekatinya lagi ? Telah kembalinya Nur membuat pertimbangannya harus lebih hati-hati. Sebulan sebelumnya, Irma memintai pertolongannya memesankan tiket pesawat terbang karena dipanggil orangtuanya pulang. Meskipun asisten ahli psikiater terkenal itu berjanji akan mengganti harganya, namun Adi menjawab tak usah. Adi semula memang sudah berniat, setelah lama tidak mendengar kabar mengenai keberadaan Nur, akan lebih serius lagi menjalin hubungan dengan gadis Kalimantan itu. Kalau berjalan lancar ia akan melamarnya sebagai teman hidupnya. Seiman, cukup cantik dan juga terasa banyak persamaan. Memang ada sedikit berbedaan dalam soal selera. Baik jenis makanan maupun jenis hiburan seperti film. Tidak masalah. Tapi sudah dua minggu ini Irma tak ada kabar. Janji hanya pulang seminggu. Namun ketika ditelepon ke kantornya seminggu kemudian, diberitahu belum masuk juga. Tunggu seminggu lagi tak ada berita. Adi ke tempat tinggal Irma di kompleks sebuah kampus akademi di Jalan Kebon Sirih Barat. Tetapi mereka tidak tinggal di sana lagi . Sudah pindah ke kawasan Kampung Bali. Semula Irma tinggal bersama seorang temannya di kompleks akademi itu - berdampingan dengan rumah satu keluarga sessma suku , yang juga menjadi dosen di akademi itu. Kedua gadis itu diijinkan tinggal sementara di situ karena mereka alumninya. Mereka baru saja menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana muda. Suatu sore Adi berhasil juga menemukan tempat tinggal Irma yang baru. Sebetulnya, Adi agak kecewa kepada Irma tidak memberitahukan kepulangannya serta kepindahan mereka. “ Ir, kok pulang tidak bilang-bilang”, katanya. “Padahal, sudah beberapa kali menelpon menanyakan ke kantor”. “Sorry ya. Semuanya serba mendadak. Jadi belum sempat kasih kabar. Inipun masih sibuk bebenah”, jawab Irma sambil sedikit tertawa, memahami perasaan Adi. Memang di ruang tamu masih nampak tersandar beberapa lembar tripleks yang belum sempat dipasang. “Ketika tiba kembali dari Kalimantan, teman saya memberi tahu kami harus segera pindah. Ruangan yang kami pakai sudah akan digunakan kampus untuk perluasan ruang kuliah.” Adi manggut-manggut paham. “Kami diberi batas waktu. Karena itu kami sibuk mencari tempat baru. Dan akhirnya dapat di sini”. Irma menjelaskan sambil buru-buru masuk ke dalam karena temannya memanggil.. Tinggal Adi duduk menunggu. Tiba-tiba lampu minyak besar di atas meja menyala besar. Ada butir-butir jelaga menyembur ke atas. Lewat semprong yang nampak mulai menghitam. Kaget melihat itu, Adi memanggil Irma. “Ir, kenapa ini lampu. Nyalanya membesar”. “Oh, minyaknya habis”, jawab Irma yang datang terburu-buru. Ia segera membawa lampu itu ke dalam. Tak lama kemudian ia balik lagi dengan membawa lampu yang sudah menyala normal. Irma duduk kembali menemani Adi. Kalau di kampus Akademi dahulu – malam-malam mereka biasa duduk berdampingan mengobrol. Tapi di situ mereka duduk di dua kursi yang agak berjauhan. “Bagaimana kabar orangtua. Mudah-mudahan sudah sehat”, Adi meneruskan pembicaraan.. “Syukurlah, Puji Tuhan, mereka baik-baik saja”, jawab Irma. “Ya, ikut bersyukur”, lanjut Adi. Agak lama terdiam, Irmawaty mengakui kalau ia dipanggil sebetulnya ada hubungannya dengan hubungan mereka. “Haaa .....?”, Adi terkejut ingin tahu. Tak mengIrma kabar hubungan mereka secepat itu sampai ke orangtua Irma yang jauh di Kalimantan Tengah. Mungkin dari tetangga Irma yang dosen ? “Lalu bagaimana.....?” Adi sedikit gugup. Kalau orangtua Irma merestui dan minta segera dilaksanakan, bagaimana. Ia merasa belum mempunyai persiapan ! “Prinsipnya, orangtua saya setuju......”, dada Adi tambah berdebar. “Tetapi,...mereka ada syarat.”, sambung Irma. “Syarat apa ?”, Adi cepat memotong. Syarat apa lagi ini. Dulu dengan Nur yang tidak seiman, minta syarat harus seiman. Sekarang sudah dapat yang seiman. Minta syarat apa lagi. Adi bertanya-tanya dalam hatinya. “Mereka minta carilah pasangan seorang sarjana”, jawab Irma pelan. “Sarjana....?”, jawab Adi pelan tak menduga. Namun dia berpikir mungkin ada jalan keluarnya. Faktanya, saat itu ia memang baru memiliki ijazah SMA. Jadi tidak setingkat dengan Irma yang sudah bertitel B.A. Perasaan Adi agak sedikit tersentuh dianggap tak setaraf, meskipun tak diucapkan. Adi ragu, apakah ini hanya alasan karena keduanya tidak berasal dari adat budaya yang sama. Ataukah memang benar demikian harapan orangtua Irma ?. Atau barangkali keinginan Irma sendiri ? “Saya sebetulnya sudah kuliah sampai tingkat sarjana, tingkat V”, kata Adi menjelaskan perihal pendidikannya. Ia memang sudah lima tahun kuliah di Perguruan Tinggi Publizistik (PTP) yang diakui sama dengan perguruan tinggi negeri oleh Pemerintah. Perkuliahannya di Jalan Menteng Raya. Tapi tak sempat-sempat ikut Ujian karena kesibukan pekerjaannya. Sebentar-sebentar ditugaskan ke luar Jakarta. Ke Kalimantan Barat, Sulawesi, Bali dan keliling Jawa. Ada beberapa mata kuliah yang belum diselesaikan sebagai syarat untuk ikut ujian sarjana. Bahkan Ujian sarjana muda saja belum. Padahal, menurut salah seorang dosennya, seorang Kolonel, Kertas kerja yang pernah diajukan Adi untuk lulus ke kandindat Bakareorat, sudah cukup bagus. Bahkan layak diajukan sebagai skripsi untuk ujian Sarjana Muda. Tinggal melengkapinya saja. Optimis masalah studi itu bisa diselesaikan dengan cepat – Adi meminta waktu untuk menyelesaikanna. Irma setuju dan ia akan menunggu Adi menyelesaikannya. Sudah jam sepuluh malam. Karena itu Adi mau pamit pulang. Apalagi setelah Irma berkata, ia sedikit khawatir akan ada dugaan buruk terhadap dia dan temannya. Gadis warga pendatang baru - menerima laki-laki yang bukan keluarga atau suami malam-malam di tempat kontrakannya. Rumah kontrakan itu sebuah rumah panggung dan memang dikelilingi rumah-rumah yang padat penghuninya, kebanyakan penduduk asli. (bersambung – Ada Irma antara Adi dan Nur)

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *