Tuesday, April 28, 2020

Peristiwa Paling Berkesan Sebagai Wartawan : (2) NONTON LENONG SEMALAM SUNTUK DIATAS REL

Sebagai orang baru di Jakarta, aku belum mengetahui seluk-beluk sewa-menyewa atau mengontrak rumah. Seorang ibu yang memasang iklan di koran aku surati tetapi tidak memberikan balasan. Akhirnya seorang pekerja di percetakan memberi tahu ada tetangganya di Gang Sinyar Grogol akan menjual bangunan warungnya. Kondisinya sangat tidak memenuhi syarat kesehatan. Terbuat dari gedek dengan atap daun sagu. Luas lantainya yang berupa tanah hanya berukuran dua kali tiga meter. Tidak ada jendela samasekali. Disamping kiri dan depan terdapat parit yang lumpurnya hitam tergenang. Baunya menyengat, terkadang menusuk hidung sampai ke dalam. Tidak ada halaman, tanpa pagar. Hanya parit kecil itu saja yang membatasi dinding dengan jalan. Rupanya gubuk ini bekas warung sayur. Ada sumur tanpa dilapisi beton disamping gubukku, tapi airnya hampir-hampir kering. Tidak cukup untuk mandi, apalagi harus berbagi dengan tetangga, sebuah keluarga dengan seorang anak di belakang gubukku. Ruang tertutup untuk mandi juga tidak ada. Disebelahnya terdapat jamban yang digunakan bersama. Demikian dekatnya sehingga air sumur di sebelahnya bisa tercemar. Karena itu aku lebih suka mandi di kantor. Sedangkan untuk minum dan masak, aku membeli air kalengan yang dijual tukang pikul keliling.Pakaian-pakaian kotor juga kucuci di tempat kerja lalu kubawa pulang. Kujemur dalam gubukku karena di luar tak ada tempat menjemur pakaian. Demikian sulitnya mendapatkan air, pada suatu petang dengan handuk di bahu aku menuju Kali Grogol untuk mandi. Dari atas jembatan kereta api aku lihat air kali besar itu kuning warnanya dan sesekali kulihat benda menjijikan hanyut. Di sepanjang tepinya banyak saja orang yang mandi dan mencuci. Tetapi aku tetap enggan turun menyentuh air itu. Aku berbalik untuk pulang. Tiba diujung gang, nampak orang-orang ramai menonton pertunjukan lenong. Tanpa baju dan hanya berselimutkan handuk, aku ikut bergabung. Duduk diatas rel kereta api. Kian lama lakon-lakonnya kian mengasyikan. Sesekali kami terganggu dan harus menyingkir ketika kereta api akan lewat. Tanpa terasa hari telah menjelang pagi. Ruang yang sangat sempit hanya mampu menampung sebuah velbed tentara titipan kakakku, sebuah koper kecil pakaianku dan sebuah kompor. Disitulah aku berkurung setiap pulang kerja. Tak ada sama sekali ruang terbuka untuk bergerak santai. Sebelah kiri diapit pagar dan parit. Sebelah belakang dengan dinding rumah tetangga, dan didepan diapit parit kotor dan gang yang persis di muka pintu masuk gubukku. Apa boleh buat. Dengan penghasilan yang masih terbatas aku harus menerima keadaan apa adanya. Untuk menghemat, pergi pulang kerja harus berjalan kaki sejauh sekitar sepuluh kilometer setiap hari, dari Grogol ke Jalan Hayam Wuruk. Aku amat tertolong ketika kakakku memberi surat kuasa untuk mengambil jatah berasnya setiap bulan di Sukabumi. Ada juga jatah kacang hijau dan sabun. Saat itu kesatuannya, dari Divisi Siliwangi, sedang bertugas operasi di Sulawesi Selatan, kemudian Ambon dan Pakanbaru. Meski terbantu, kebutuhan sehari-hari belum mencukupi. Untuk mencukupinya, aku sering mengumpulkan sobekan-sobekan kertas gulungan dan koran cetakan percobaan yang tak terpakai. Semuanya kujual kiloan kepada seorang pedagang langganan di pasar. Uang tambahan ini kugunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Lauk yang sudah matang di warung, sarapan pagi, minyak tanah, arang untuk setrika pakaian, uang pendaftaran dan uang kuliah, jaket mahasiwa, biaya praktikum dan transportasi.***

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *