Sunday, April 26, 2020

Novelku Terbaru : NURHAYATI (4) : MALAM SEPERTI DITEROR

Selain banjir keringat ada yang lebih aneh. Malam hari merasa seperti diteror. Terlalu menakutkan. Datangnya malam berarti akan datangnya saat-saat mencekam. Adi merasa takut menghadapinya seorang diri. Ia merindukan sekali pada saat-saat seperti itu ada orang yang dipercayai mendampinginya agar dapat tidur tenteram. Tetapi siapa ? Selama ini, hanya Nur saja yang sekali-sekali datang membesuknya. Tapi sekarang sudah lama tidak muncul. Adi tidak tahu mengapa. . Kalau Nur datang, ia ingin sekali mengadukan apa yang dirasakan setiap malam. Namun pikirnya percuma juga. Sebab Nur tak bakal diijinkan orangtuanya keluar malam. Adi merasa, musuh-musuhnya ada di mana-mana. Termasuk perawat-perawat yang kini mulai dicurigai bersekongkol dengan roh-roh jahat yang tak terlihat. Roh-roh ini seperti dapat mendengar. Melihat dan mengawasi Adi melalui kabel-kabel listrik yang tersambung ke rumah sakit ini. Bahkan melalui jendela dan sela-sela lobang angin. Mereka seakan mengancam,”awas kalau berani mengadu. Sebentar malam tunggu balasannya”. Pernah Adi bertengkar dengan seorang perawat. Hanya karena persoalan garpu. Pikirnya, tentu para perawat lainnya dan para dokter akan membela rekan sekerja mereka. Semuanya lalu membencinya. Adi benar-benar merasa terasing. Teman-teman sekantor maupun pimpinan, hanya sekali datang menjenguk Mungkin karena banyak kesibukan. Semua kekalutan pikiran ini terbawa ketika mau tidur. Sering Adi memeriksa sekeliling tempat tidurnya. Adakah suatu alat yang dipasang yang membuat dia tak bisa tenteram setiap malam ? Tidak ada. Tak ada kabel dan memang tidak ada apapun. Adi tidak mengerti. Dia tidak melihat apa-apa. Tetapi setiap malam seperti dicengkeram sesuatu yang mengandung arus listrik. Suatu malam, pernah seperti ia mendengar suara kakak sepupunya datang dari kampung hendak menjumpainya dengan motor Vespa. Tetapi petugas-petugas rumah sakit tidak mengijinkannya masuk. Ia dengar mereka bertengkar hebat dengan petugas-petugas rumah sakit. Tentu saja membuat Adi marah. Tetapi dia tidak berdaya, seperti disandera. Pernah juga seperti ia mendengar suara ibu dan kakak perempuannya bertengkar dengan petugas rumahsakit di luar. Mereka datang dari kampung hendak membesuknya. Mereka sudah masuk halaman rumah sakit, tetapi tidak diperkenankan masuk ke ruang perawatan. Dari dalam, jelas dia dengar mereka memanggil-manggil namanya sambil menangis. Mereka mengetok-ngetok jendela, memohon kepada para perawat untuk diperkenankan masuk menemuinya. Tetapi petugas-petugas rumah sakit tetap berkeras, tidak mau membukakan pintu. Dari dalam, Adipun tidak tinggal diam. Ia memprotes. Karena tidak dikabulkan, ia mendesak minta pulang malam itu juga. Dia mengemasi barang-barangnya ke dalam ransel. Sambil berkemas, Adi mendengar banyak suara hiruk-pikuk melalui pengeras suara. Diantara suara-suara itu seperti ada suara anak-anak yang memanggil namanya sambil mengejek.. Adi melangkah keluar dengan marah. Tetapi para perawat dan Mantri mencegahnya. Ia meronta, tapi tidak mempunyai kekuatan lagi. Pandangannya tiba-tiba gelap. Tak sadarkan diri. Tak tahu apa-apa lagi. Ketika sadar, ia menemukan dirinya, duduk di ruang jaga. Ranselnya ada di rak. Seorang lelaki berseragam putih-putih, usia sekitar limapuluh tahun duduk dihadapannya. Tidak jelas apakah ia dokter atau mantri. Dengan nada lembut laki-laki itu mula-mula bertanya, “Nur itu siapa ?”. “Mengapa ?”, Adi balik bertanya sambil mengangkat muka. “Kau sering memanggil-manggilnya ketika tidur”.“Itu teman baik saya”, jawab Adi merendah. I “Ibu dokter sebetulnya tidak memarahimu. Ia malahan sedih melihat keadaanmu. Sampai-sampai ibu dokter menangis”. Kata-kata ini membuat hati Adi menjadi lebih tenang. Ia menuruti saja bujukan laki-laki berseragam putih itu agar kembali ke tempat tidur. Begitulah setiap malam. Adi seperti diteror atau dikejar-kejar oleh orang atau suara-suara bising yang mengganggu. Sering ia ketakutan seperti dikejar-kejar orang jahat. Pada saat-saat seperti itu, ia terkadang ingat pada ibunya. Beliau selalu penuh perhatian pada anak-anaknya. Apalagi kalau sakit. Ibunya sibuk sekali kesana-kemari mencari obat. Beliau pasti akan sedih sekali kalau melihat keadaannya seperti ini. Tapi sudah sejak awal Adi tak ingin membuat sedih orangtuanya. Ibu yang sudah mulai memutih rambutnya. Takut kedua orangtua itu terus-terusan mencemaskan dia. Tubuh Adi terus menyusut dan menyusut. Dia perhatikan, kedua lengan dan kakinya. Benar-benar tinggal tulang berlapis kulit. Ia raba pula bahu, belikat dan dada. Tulang-tulangnya bertonjolan. Tak dapat dibayangkan bagaimana saat itu wajahnya. Disitu dia tak pernah melihat cermin. Waktu sakit dan dirawat di rumahsakit Poso dahulu, ia pernah bersebelahan dengan seorang pasien muda berbadan tinggi tetapi sangat kurus.. Demikian kurusnya sehingga nampak sudah bagaikan kerangka hidup. Pasien itu akhirnya meninggal. Menurut beberapa pasien, itu akibat kecobohannya sendiri. Sore sebelumnya diam-diam ia pergi keluar rumah sakit dan meminum jamu. Adi membayangkan tubuhnya kini seperti itu. Padahal ketika masih di SD, dia pernah merasa gusar melihat di kaca badannya yang terlampau gemuk. Kalau bergerak, lapisan pada kedua pipinya bergerak. Begitu pula pada paha di atas lutut. Tapi kini sebaliknya. Badan lemah. Tak diperkenankan lagi turun dari tempat tidur. Andaikatapun diperbolehkan rasanya ia tak akan kuat lagi. Untuk mandi setiap pagi disediakan air dengan lap kain basah di tempat tidur. Untuk buang air senantiasa disediakan pispot. Penurunan kondisi badan yang demikian cepat, memang merisaukan juga. Diam-diam mulai timbul kekecewaan Adi pada rumah sakit ini. Ketika masuk, keadaan tubuhnya belum sekurus ini. Mengapa setelah di rumah sakit ini berat badannya turun dengan sangat cepat ? Salah satu sebabnya, Adi pikir, karena takaran makanan yang terlampau sedikit. Makan siang selalu terlambat diantar. Tak jelas apakah pengaturan waktunya memang begitu. Umumnya sesudah jam dua siang. Sudah lama menunggu, yang datang tetap menu itu-itu juga. Bubur susu dan sari pepaya. Adi mulai iri melihat pasien-pasien sekamarnya. Makanan mereka beraneka macam. Dari tatakan alminium yang dibagi-bagikan, ia lihat, selain nasi, ada telor rebus, sayur, hijau, daging atau entah apa lagi. Pikir Adi, biarpun pengantaran makanan selalu terlambat, mereka belum akan lapar. Ia lihat diatas lemari mereka selalu tersedia banyak makanan selingan seperti roti, biskuit, apel dan pisang yang dibawakan keluarga mereka. Aku ?, kata Adi dalam hati, biskuit saja tidak boleh. Sekalipun dicelup dahulu dalam gelas susu supaya lembut. Ia mau usul agar ia dapat makan nasi lagi. Sudah lama merasakan makan nasi.Tapi ibu dokter, ahli gizi yang mengatur makanannya tak mengijinkan. Seminggu kemudian baru diberi bubur beras. Itupun sangat lunak seperti makanan bayi. Mungkinkah mereka mengira ia tak akan mampu membayar biaya rumah sakit seperti pasien-pasien lain ? Tapi selama ini belum pernah ada yang mempermasalahkan uang atau biaya, keluh Adi. Ia mendongkol sekali. Ketika seorang karyawan sekantor datang membesuk, ia minta dibelikan ubi rebus. Dan ketika datang lagi, teman itu datang membawa sekantong singkong rebus.. Adi tak perlu menunggu lama sampai malam karena jam besuk cuma sampai sore. Tengah malam, ketika semua perawat berada di ruang jaga, singkong rebus itu dilahap Adi satu per satu. Dikunya halus-halus secara sembunyi-sembunyi sambil berbaring dalam kelambu. Rasanya nikmat. Selera makannya saat itu sudah timbul lagi. Berbeda jauh ketika baru masuk. Siang hari merupakan jam-jam yang cukup tenang. Tak ada gangguan-gangguan yang menakutkan seperti pada malam hari. Pada saat-saat begini, baru Adi menyadari keadaannya yang sesungguhnya. Tubuhnya telah demikian kurus, tangan dan kakinya tinggal tulang berbalut kulit. Ia menduga mungkin penyakitnya telah mengakibatkan gangguan psikhis sehingga menimbulkan halusinasi-halusinasi yang mencekam itu. Ataukah karena pengaruh obat hampir segenggam sehari yang harus diminumnya ? Adi tidak tahu apakah ia masih dapat sembuh. Adakalanya Ia berandai-andai, bagaimana kalau Tuhan yang Mahakuasa memanggilnya dalam keadaan demikian. Tapi kemudian ia sadar tak perlu terlalu memikirkannya terlalu jauh. Itu urusan Tuhan. Karena itu ia selalu pasrah saja pada Tuhan. Tak ada perasaan takut. “Kalau waktunya telah tiba Tuhan akan memanggil, aku harus menerima, katanya dalam hati. Dia selalu meyakinkan diri, bahwa Tuhan tidak akan membiarkan umat yang berharap kepadaNya berlama-lama menderita dan akan segera melepaskan pada waktuNya. Jadi hanya dibutuhkan kesabaran menanti pertolonganNya. “Ya, hidupnku hanya tergantung pada Tuhan. Sejak kecil aku memang selalu ingin mencari kebenaran Tuhan dengan belajar Alkitab.”, Adi seperti berkata pada dirinya sendiri. Karena itu setiap ada ulangan pelajaran agama di sekolah nilainya selalu tinggi. Ia selalu tertarik membaca Alkitab. Awalnya karena ia senang dengan ceritera-ceritera perang dan film perang. Dalam Alkitab banyak kisah-kisah perang dengan pahlawan-pahlawannya yang perkasa. Seperti Musa, Gideon, Simson, Debora, Daud, dan para panglima-panglimanya. Banyak membaca Alkitab ini makin lama makin membuatnya lebih mengenal Tuhan! “Ternyata Dialah sesungguhnya yang berperang di balik semua keperkasaan itu. Dia ternyata bukan hanya kuat perkasa, tetapi juga mahakuasa dan maha kasih. Selalu menyertai umatNya. Lebih-lebih yang menderita seperti aku sekarang. Aku percaya Yesus selalu menyertai dan menolong”, Adi merenungkan sejenak kisah-kisah Alkitab seperti yang pernah dibacanya.. Siang itu Adi kembali tekun membaca Kitab Suci. Alkitab yang diberikan kakaknya seorang bintara sebelum berangkat ke garis depan di saat perang Dwikora. Adi terkesan membaca Kitab Mazmur pasal 139 : 1-12. Mazmur ini memberitakan, Roh Tuhan selalu menyertai umatNya. Baik ketika duduk, berdiri, berbaring, di kegelapan, diujung laut, di langit bahkan di tempat orang mati. Adi membaca ayat-ayat ini berulang-ulang bahkan menghafalnya. Luar biasa. Kalau begitu disinilah makna nama Imanuel, Tuhan beserta kita. Nama yang disampaikan malaikat Gabriel kepada Maria, untuk Anaknya,. “Oh, kalau begitu Ia juga menyertai aku dan tahu keadaanku. Apalagi aku senantiasa menyeru namaNya.” kata Adi dalam hatinya. Ketika tangan-tangannya yang lemah dan matanya yang kurang tidur malam hari makin redup, Adi tertidur. Alkitab tetap didekap di dadanya. Wajahnya menampakan kedamaian dan ketenteraman. Di pagi hari yang cerah Adi diijinkan keluar duduk-duduk di taman. Kepala masih pening-pening. Semua bangunan sekeliling nampak masih seperti bergerak turun naik. Tetapi tidak lama setelah cahaya matahari pagi menyelimuti tubuh Adi, tiba-tiba sesuatu yang aneh dia rasakan ! Segala sesuatu seperti terdiam. Bangunan, pohon-pohon tak lagi turun naik. Seperti laut berombak, tiba-tiba berubah tenang. Burung-burung kutilang beterbangan. Bercumbu di sela pohon pepaya yang banyak terdapat di sekitar rumahsakit. Di salah satu pintu rumah sakit, nampak banyak orang keluar-masuk. “Mereka adalah orang-orang yang masih sehat dan bebas. Bisa kemana saja seperti burung-burung itu”, pikir Adi. Ia ingin segera keluar dari rumah sakit ini. Ingin menikmati kebebasan. Ia ingin makan lebih banyak untuk memulihkan kembali tubuhnya yang sangat kurus agar bisa normal seperti semula. Dan ingin segera mengejar keterlambatan kuliahnya. Juga praktikum - praktikum mikrobiologi dan kimia analisa. Kesehatannya memang sudah berangsur membaik. Ia tahu sebenarnya ia belum akan sanggup merawat dirinya sendiri. Tapi ketika perawat datang memeriksanya, ia menyampaikan pesan dokter, Adi boleh pulang. Tetapi di rumah harus tetap minum obat dan menjaga pola makan dan tidak lupa balik kontrol ke rumah sakit Pagi-pagi, Adi mengemas pakaian dalam ransel dan diberikan persediaan obat. Ia melangkah meninggalkan rumah sakit yang penuh misteri itu. Soal biaya rumah sakit tak jadi masalah karena untungnya telah diselesaikan petugas kanto sebelum koran Pelopor dilarang. Untuk keperluan sehari-hari, belum ada masalah. Gaji yang diterima sebelum dan selama dirawat masih utuh. Ditambah enam puluh persen gajinya selama dua bulan dirawat. Ia sengaja mengambil jalan belakang sebab biasanya jalan depan selalu ditutup. Di gang menuju zal tempatnya dirawat ada peringatan tertulis “awas typhus abdominalis ! Berbahaya”. Mungkin ini sebabnya orang enggan ke zal mereka.. Berbeda dengan pasien-pasien lain, tak ada yang menjemput. Semula ia berharap sekali Nur akan datang menjemputnya. Tapi lagi-lagi tidak muncul entah mengapa. Dengan ransel tergantung dibahu Adi menuju jalan raya, melintasi halaman rumah sakit yang luas. Lututnya terasa kaku. Rasanya belum terlalu kuat menopang tubuhnya yang juga masih lemah. Napasnya agak sesak. Telinga seperti bergema dan kepalanya pening. Bayang-bayang yang menakutkan di rumahsakit, mulai timbul kembali di kepalanya. Apakah mahluk-mahluk aneh di rumah sakit itu dapat memantau keberadaannya ? Melalui kabel-kabel listrik dari rumah sakit itu ? Di sebuah warung Tegal ia lihat ada mentimun muda. Segar, pikirnya. Ia singgah. “Sudah lama aku terbelenggu dengan diet yang keras”, katanya dalam hati. Entah berapa jam Adi duduk disitu. Dan tak ingat lagi berapa buah mentimun dan ubi rebus yang sudah dia habiskan. Dari warung ia langsung naik oplet kemudian bertukar bus dekat pangkalan Blok M.. Bus penuh sesak. Penumpang berdiri berdesak-desakan dengan anak-anak yang baru pulang sekolah. Ditambah pegawai yang baru pulang kerja. Adi tahu badannya masih sangat lemah. Tapi mana ada bus yang penumpangnya sedikit lengang. Semua penuh penumpang berjejal. Adi terpaksa. berdiri. Goncangan bus membuat kepalanya tambah pusing. Dan ketika kondektur akan menyerahkan pengembalian uang karcis, penglihatannya gelap dan keseimbangan tubuhnya hilang. Sisa-sisa kesadarannya ia gunakan untuk cepat-cepat melorotkan badannya ke bawah. Duduk jongkok diantara kaki-kaki orang agar tidak terjatuh menimpa penumpang yang duduk di kursi di belakangnya. Melihat rubuh, ada tangan seseorang menahan pundaknya. “Duduk di sini mas”. Ada suara perempuan samar-samar terdengar. Saat bersamaan, penumpang laki-laki yang memegangnya tadi membantunya duduk. Ia merunduk terus. Keringat mengalir di pipi dan membasahi bajunya. “Sakit Mas ?”, tanya perempuan yang memberikan kursinya tadi. “Ya Bu”, jawab Adi sambil menyekah keringat di mukanya. “Terima kasih. Baru keluar dari rumah sakit”.. Ia menatap orang yang menolongnya. Oh, wanita yang menawarkan kursinya ternyata seorang perempuan hamil tua. Pembicaraan terhenti karena bus telah menepi di halte depan Unversitas Indonesia. Adi turun dan istrahat sebentar di bawah pohon rindang. Adi lelah, lapar dan haus. Ada sebuah warung di dekat tempat itu. Ia segera pesan makanan. Tapi, ah, makanan ini pedas, terlalu pedas. Dokter, mantri sampai perawat-perawat telah berpesan jangan makan yang pedas-pedas. Sebenarnya ia ingin mematuhi pesan ini, tetapi makanan ini sudah telanjur dihidangkan. Sayang kalau dibuang. Lagi pula ia harus berhemat. Akhirnya dia makan juga. Selesai makan kemana ? Ke rumah yang dikontrakan suratkabar Pelopor di Paseban ? Tapi sebagian barang-barangnya masih di Grogol. Maka Adipun memutuskan tetap ke pondoknya di Grogol.. Adi merasa lelah dan terus tidur. Tetapi badannya terasa panas dan kepalanya seakan berputar-putar. Seluruh anggota tubuhnya terasa kaku. Malam tiba tetapi ia tetap tak dapat tidur. Bayang-bayang mahluk yang mengejarnya kembali menghantui pikirannya. Di luar seperti ada orang memanggil-manggil. Adi keluar. Dingin dan becek. Tanah menempel pada sandalnya menandakan baru habis hujan. Akhirnya terang matahari pagi mulai nampak lewat lubang-lubang angin. Adi mencoba bangun tetapi kekuatan badannya hilang samasekali. Kepalanya masih pusing. Ia menyadari keadaannya kembali sangat buruk. Ia merintih dan air matanya terasa panas membasahi pipinya. Tetapi tak ada gunanya menangis. Badannya semakin lemas, mungkin karena lapar. Mau tak mau harus mencari makanan. Dengan hanya memakai kaus, celana panjang dan sandal jepit Adi memaksakan diri datang ke sebuah warung kecil. Hanya ada pisang goreng dan kopi. ia sangat lapar dan terpaksa makan apa adanya saja. Kepala semakin pusing. Adi teringat pesan dokter, hari itu dia harus membawa obat suntik untuk disuntikkan.di rumah sakit . Tapi rumah sakit Fatmawati terlalu jauh. Dan kondisi tubuhnya makin lemah. Karena itu Adi putuskan ke Rumah Sakit Tjiptomangunkusumo saja di Jalan Diponegoro. Ia tak sempat lagi pulang mengganti pakaian dan kebetulan obatnya ada dalam kantong celananya’. Sampai di depan rumah Sakit, loket belum buka maka ia putuskan langsung saja ke rumahsakit Fatmawati. Naik oplet dari Blok M, ia merasa benar-benar sudah kepayahan sehingga minta diturunkan. Maksudnya mau balik pulang saja tidur di pondoknya. Tapi Grogol sudah terlampau jauh. Kaki rasanya sudah seperti lumpuh. Pagi itu dia hanya duduk diam, jongkok pas di depan pintu pagar sebuah rumah. Seorang ibu melihat dan kemudian memanggil suaminya. Keluarga itu nampaknya menaruh belas kasihan. Mereka mempersilahkan Adi masuk. Tetapi sebelum itu ia ditanyai beberapa pertanyaan. Mungkin ingin tahu apakah Adi masih waras atau tidak. Akhirnya keluarga baik hati itu mengantar Adi ke sebuah kamar kecil di belakang dekat kamar mandi pembantu. Bibi tua pembantu disitu disuruh merawat Adi. Tiap hari dimasakan bubur halus dengan sayur bayam. Mereka melihat ada resep obat di kantongnya. Maka mereka pun lalu mengurusnya ke rumah sakit Fatmawati. Setelah seminggu kesehatan Adi terasa mulai ada perubahan. Hanya malam hari gangguan-gangguan seperti di rumahsakit terkadang masih ada. Malam hari pertama seperti ada yang membawa Adi memanjat tembok setinggi sekitar dua meter di belakang rumah lalu melompat ke bawah. Jatuh di semak-semak di tanah kosong. Adi berjalan sampai di ujung jalan. Suasana masih gelap. Belum ada lampu penerangan jalan. Tetapi lampu-lampu jalan besar sudah nampak terang benderang di kejauhan. Adi merasa kedinginan. Tiba-tiba sadar dimana ia berada. Ia cepat-cepat pulang. Untung pintu pagar tidak terkunci dan ia bisa masuk lagi lewat teras samping. Bermimpi ? Rupanya tidak. Karena sandal yang dipakainya dan bekas-bekas jejaknya berlumpur. Bukti bahwa ia memang benar-benar keluar malam itu karena sebelumnya turun hujan. Ketika mulai membaik ia menemui suami isteri yang baik hati itu. Mengucapkan terima kasih dan mohon pamit. Kini ia akan langsung ke rumah kontrakan suratkabar Pelopor sebelum dilarang terbit. Masa kontrak rumah itu masih setahun lagi. Kondisinya lebih baik. Lagi pula di situ sudah tinggal beberapa teman sekerjanya di Pelopor dahulu. Koran Pelopor dilarang terbit setelah ada pergantian penguasa. Wartawan-wartawan dan karyawan lainnya ditampung di koran yang baru diterbitkan. Tapi pengelola suratkabar baru itu tak bersedia lagi menerima Adi bekerja. Alasannya semua lowongan sudah terisi. Tapi untunglah pada suatu hari ia berkenalan dengan seorang mahasiswa di kawasan Salemba. Anak Padang, namanya Ardi, mirip-mirip namanya. Dalam ngobrol mengenai daerah asal masing-masing, Adi mengatakan keinginannya untuk bekerja – dan apakah Ardi pernah mendengar ada lowongan ?. Ardi tidak memberikan jawaban pasti. Tetapi ia mengajaknya ke kantor suratkabar yang sedang dibacanya. Sekretaris perusahaan koran itu sangat ramah. Suatu sifat khas orang Solo. Namanya Satyagraha Hurip. Tapi biasanya ia lebih akrab dipanggil Oyk oleh teman-temannya sesuai nama samaran dalam buku-buku novelnya. Singkatan dari ‘Orang yang kecil’ Ternyata di koran itu memang sering berdatangan para penulis terkenal dan Budayawan. Jawaban Oyik ternyata diluar dugaannya. Jauh melebihi dari yang diharapkan. Langsung diterima .”Kalau bisa mulai bekerja hari ini”, kata wong Solo itu ramah. Bukan main bersyukurnya Adi. Tanpa pikir panjang lagi ia langsung setuju diajak ikut naik mobil pik up ke percetakan. Tiga tahun kemudian kejadian serupa tapi tak sama terulang. Suratkabar Harian Kami bersama beberapa suratkabar lainnya dilarang terbit. Terpaksa Adi menganggur untuk kedua kalinya. Ia masih dalam status rawat jalan dan harus membeli obat suntik setiap minggu. Untunglah masih ada sedikit sisa gaji selama dirawat. Tiba-tiba Adi teringat Nur. Heran mengapa gadisnya itu tidak pernah ada kabarnya lagi. Iapun pergi ke rumah Nur. Tapi alangkah kecewanya. Penghuni rumah itu sudah berganti orang lain. Rumah sudah dijual. Dan penghuni baru itu tidak tahu pemilik lama pindah ke mana. (bersambung – Drama cinta Nur dan Husni)

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *