Sunday, April 26, 2020

Novel Terbaru : NURHAYATI (2) AYAH NUR DICULIK

Kira-kira jam 11.30 malam, di depan rumah orangtua Nur berhenti dua jeep hijau militer. Yang satu Nissan Patrol sedang yang satu lagi mobil Gaz. Penumpangnya sekitar 9 orang. , Tujuh orang berpakaian sipil dan lainnya berseragam hijau loreng dengan senjata lengkap. Kedua orang yang berpakaian sipil turun lalu mengetuk pintu pagar. Ketika melihat ada mobil militer berhenti di depan, Haji Sanusi yang tengah duduk termangu menunggu kalau-kalau anaknya kembali - terkejut. Ia segera berdiri keluar menemui mereka. Seorang di antaranya bertanya : “Saudara yang bernama Mohamad Sanusi ?” “Betul”. “Yang mempunyai anak perempuan yang hilang ?” “Ya, betul.” Mendengar pertanyaan terakhir ini, Haji Sanusi segera membukakan pintu pagar. Berharap akan mendapatkan berita mengenai Nur. Yang masuk ketika itu empat orang. Dua orang berpakaian sipil. Sesudah dipersilahkan duduk, orang yang berpakaian sipil yang berambut keriting dan kehitam-hitaman memulai pembi-caraan. “Sebelumnya, saya minta maaf, karena seharusnya saya datang siang tadi. Karena banyak pekerjaan, baru sekarang kami sempat datang”. Tapi , pembicaraan orang itu tiba-tiba beralih pada soal lain. Ia berhenti sebentar dan meraba-raba kantong celananya seperti hendak mengambil rokok. Tetapi tidak jadi. Selanjutnya ia bertanya : “Apakah Pak Saleh masih sering kemari ?” “Pak Saleh yang mana ?”, potong isteri tuan rumah yang ketika itu baru muncul. Saat bersamaan muncul salah seorang dari kawanan itu dari belakang memberitahu situasi aman. “Chaerul Saleh”, jawab lelaki keriting kemudian. “Saya rasa tidak. Saya tidak kenal”, jawab Haji Sanusi seperti berusaha mengingat-ingat. “Apakah Saudara masih ingat peristiwa Aden ?”. “Peristiwa Aden apa. Saya tidak mengerti”. “Menurut laporan yang kami terima, Saudara terlibat. Beberapa tersangka sekarang sudah kami tahan.” “Saya tidak kenal dan tidak punya hubungan apa-apa dengan mereka. ” “Kami ini dari Garnisun. Saudara Sanusi jangan berbelit-belit. Sekarang Saudara akan kami bawa dan akan diperhadapkan dengan orang-orang itu .” Suasana jadi tegang. “Boleh saja. Saya tidak takut”. “Betulkah Saudara punya senjata api ?” “Tidak ada”. “Sekarang begini saja. Bilamana Saudara memang memiliki senjata gelap, secara kekeluargaan lebih baik serahkan saja kepada saya. Dan saya tidak akan melaporkan. Kami ini dari Garnisun. . Anak Saudara yang bernama Nur sekarang aman di Garnisun.” “Betul tidak ada Pak. Saya tidak pernah menyimpan atau memiliki senjata api.”, jawab Haji Sanusi. “Saudara jangan berbohong ! Kami akan mengadakan penggeledahan.” “Tidak perlu”, kata orang itu sambil berdiri. “Kalau toh akan dilakukan penggeledahan, saya minta agar ada petugas RT-RW yang ikut menyaksikan”. “Saudara tidak perlu mengatur tugas kami. Ya. sebelum kita berangkat, terlebih dahulu kami akan mengadakan penggeledahan di rumah ini. Menurut info ada senjata gelap. Juga dokumen-dokumen rahasia” “Silahkan.....”, jawab Haji Sanusi, merasa yakin tidak menyimpan barang-barang berbahaya itu . Dia juga belum curiga kalau orang-orang itu kawanan penjahat. Dia mengIrma si keriting itu perwIrma intelijen. Setelah diperbolehkan melakukan penggeledahan, mulailah mereka keluar-masuk kamar. Membuka lemari-lemari, buffet, sambil berpura-pura akan mencari senjata gelap, dokumen dan barang bukti. Tuan rumah ikut mengawasi si keriting. Yang lain mulai pula mengadakan pemeriksaan di kamar-kamar lain diikuti isteri Sanusi. Waktu lewat kamar tengah, mereka melihat si gemuk anak buah si keriting sedang menghitung lembaran-lembaran uang rupiah disaksikan seorang temannya. Sesudah dihitung, uang itu dimasukkan ke dalam tas berwarna hitam milik tuan rumah. Ketika membuka lemari dalam kamar, mereka menemukan sebuah bungkusan kain yang belum diketahui apa isinya. Mula-mula si gemuk tidak terlalu memperdulikan. Tetapi seketika isteri tuan rumah berkata : “Itu pusaka dari orangtua saya”. “Ini apa ?”, tanya si gemuk tidak sabar. “Dua buah pending emas,” Mendengar jawaban itu si gemuk segera membuka bungkusan itu. Matanya terbelalak melihat benda di dalamnya lalu memanggil bossnya dengan gembira. “Nah, ini dia antara lain barang bukti yang disebut-sebut orang-orang itu,” ujar si keriting sambil memperhatikan kedua benda kekuning-kuningan itu lalu memasukkannya ke dalam tas yang berisi uang tadi. Dalam tas itu sudah ada barang-barang perhiasan lain berupa dua ban emas, satu gelang emas 30 gram, gelang keroncong emas, dua butir berlian dan sejumlah uang real kelebihan belanja sewaktu Sanusi dan isteri naik haji. Merasa puas dengan hasil “penggeledahan” mereka, si keriting berkata kepada Haji Sanusi : “Barang-barang ini berikut Saudara akan kami bawa ke kantor.” “Boleh saja...” “Saudara boleh ganti pakaian, karena kita akan segera berangkat.” Ketika Haji Sanusi berganti pakaian, lewat jendela kaca, ia lihat samar-samar ada beberapa orang lagi di sekitar rumahnya berjaga. Selesai berpakaian, si keriting beserta Sanusi keluar dan naik ke mobil Nissan disusul anggota-anggota lainnya. Isteri Sanusi, minta diijinkan ikut menyertai suaminya, tetapi ditolak. “Tidak perlu”, jawab si keriting sambil mobil meluncur. Haji Sanusi menghitung orang-orang itu semuanya berjumlah sepuluh orang. Lima orang berseragam hijau. Diantaranya ada yang bersenjata api, sedangkan lima lagi yang berpakain sipil bersenjata pestol. Begitu keluar dari Kebayoran Baru, kendaraan bukannya menuju Garnisun di Gambir tetapi belok ke arah Cawang lalu ke jurusan Matraman. Sampai di Jalan Pramuka Haji Sanusi bertanya : “ Saya mau dibawa ke mana, Pak ? Garnisun kan di Gambir. Kenapa menuju ke sini ?” “Saudara mau dibawa ke Kodim Tanjung Priok.” Pembicaraan sejenak terhenti dan kendaraan terus meluncur. Setibanya di persimpangaan Jalan Pramuka-Bypass terus langsung ke arah timur. Haji Sanusi bertambah curiga dan semakin tidak mengerti maksud orang-orang ini. Ia lantas bertanya lagi : “Katanya mau ke Tanjung Priok. Mestinya kan belok kiri bukan langsung.. Saya mau dibawa ke mana ?”. “Saudara Sanusi mau kami bunuh”, jawab si keriting pelan tapi senyum sinis. Mendengar jawaban ini barulah Haji Sanusi sadar, siapa sebenarnya orang-orang ini. Ia kaget mendengar ancaman itu. Tetapi ia berusaha tenang dan mencari akal. “Kalau bisa, jangan saya dibunuh Pak. Saya mempunyai isteri dan anak. Saya mati tidak apa-apa, tapi kasihan keluarga yang saya tinggalkan”. “Tuan harus mengerti dengan harta yang ada pada kami”, jawab si keriting. Rupanya ia memang pemimpin kawanan perampok ini. “Bagi saya, harta tidak jadi persoalan, asalkan jangan saya diapa-apakan”. “Baiklah. Tidak apa-apa, kalau tuan tidak mau dibunuh. Tapi saya minta dua syarat. Pertama, tuan tidak akan mengadu pada polisi. Kedua, tidak akan memberitahukan apa yang terjadi ini pada kawan-kawan tuan terutama kepada alat-alat negara. Kalau tidak memenuhi kedua syarat ini maka keselamatan Tuan tidak akan saya jamin”. Terpaksa Haji Sanusi menerima kedua syarat itu. Ia diturunkan di tempat gelap di Jalan Rawamangun. Sesudah diturunkan, ia lihat kawanan penjahat itu melarikan kendaraan balik menghilang ke jurusan Jalan Pamuka. Ketika itu sudah hampir jam 24.00 malam. Jalan sudah sepih menyeramkan. Setiba di Jalan Bypass suasana juga sepih. Tak ada manusia ataupun kendaraan melintas. Di kejauhan di kawasan Kota, nampak lampu-lampu bercahaya terang. Tetapi di tempatnya sekarang berjalan hanya nampak beribu-ribu bintang di langit sebagai satu-satunya alat penerangan jalan Jakarta Bypass ketika itu. Haji Sanusi agak bernapas lega sekarang meskipun sudah terasa letih berjalan. Telah lepas dari maut meskipun tetap sedih atas raibnya sebagian harta kekayaannya.Sementara terus melangkah di pinggIrman jalan dan berharap akan ada kendaraan lewat untuk dia minta menumpang, ia mengingat-ingat kembali harta benda yang dibawa perampok. Kalau merasa lelah sekali-sekali ia duduk beristahat sejenak lalu berjalan lagi. Sudah menjelang subuh, ketika sebuah becak membunyikan bel dan berhenti di depannya. Saat itu jam malam memang sudah hampir berakhir. Dengan perasaan kacau, akhirnya ia pulang dengan becak itu ke rumahnya. Setiba di rumah, di sana telah berkumpul banyak orang. Ketua RT, tetangga, sejumlah tentara dari Garnisun dan polisi dari Seksi Kebayoran Baru. Mereka menyambutnya dengan ucapan takbir. Istri Sanusi dibantu para tetangga malam itu berangkat ke Garnisun mau menyusul suaminya dan menemui Nur yang dikatakan ditahan di Garnisun. Tetapi perwIrma piket di sana malah terkejut. “Malam ini kami tak ada gerakan. Tak melakukan penahanan”, katanya. Dikiri mlah pasukan ke tempat kejadian dan berusaha melakukan pengejaran tetapi malam itu hasilnya nihil.(bersambung - Kisah cinta Adi dan Nur)

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *