Sunday, April 26, 2020

Novelku Terbaru : NURHAYATI (8) : DI RADIO KEMENANGAN

Nur dan Adi mengitari beberapa warung di sekeliling lapangan pakir. Nur mencari-cari barangkali ada warung Coto Makasar. Waktu di Makasar di sepanjang pantai Losari banyak ditemukan di mana-mana. Nur sering diajak ke sana dan ia mulai menyukai makanan berbaur ketupat itu. Setelah makan, biasanya dihidangkan es palubutung sebagai penutup. Tapi di sekeliling lapangan parkir itu hanya ada soto Madura dan beberapa warung Tegal.. Hari itu kali kedua Adi menemani Nur ke Tanah Kusir. Ziarah ke makam kedua orangtuanya. Waktu datang pertama seminggu sebelumnya mereka hanya bisa menabur kembang. Pada kedatangan kedua itu mereka lebih teliti memperhatikan kondisi makam. Sesudah itu mereka berbincang dengan para pegawai pengelola makam. Minta penjelasan tentang status makam, perawatan dan kewajiban ahli waris para almarhum. “Kupikir, pusara kedua almarhum itu perlu dipugar Nur”, kata Adi sementara mereka menunggu pelayan restoran mengantarkan pesanan mereka. “Di sekeliling kedua makam sebaiknya diberi pembatas beton yang dilapisi mar-mar. Batu nisannya juga diganti dengan yang lebih bagus. Nama-nama almarhum ditulis berwarna kuning emas”. Nur hanya menyimak saja. Sesekali ia menatap mata Adi dan mengangguk tanda menyetujui. “Tetapi......,” katanya kemudian, “Adi kan tahu keadaan Nur sekarang. Tentu memerlukan biaya besar. Sedangkan Nur belum bekerja”. “Ya Nur....., aku kan temanmu sejak dulu. Tentu saya akan membantumu sebisaku”, kata Adi, nampak sungguh-sungguh. “Tapi, apa katamu tadi ? “, tanya Adi cepat. “Bekerja.....! Mau ingin bekerja....? Nur hanya mengangguk. “Gimana dengan kuliah mu dulu. Tidakkah sebaiknya kau selesaikan dulu ?” “Tidak. Stop dulu ! ”, jawab Nur. ”Otak masih sumpek nih”, sambungnya sambil tangan kanannya menekan ke dahinya. “Jadi bekerja saja dulu. Nur juga tidak ingin membebani keluarga Wati terus-menerus. Bukan saudara tetapi mereka sangat baik”. “Ya ya ya. Aku paham”, Adi manggut-manggut. “Apa pernah dengar ada lowongan Di ?“ Adi menatap wajah Nur, yang ketika itu mulai agak ceria lagi. Rambutnya yang seminggu lalu sedikit kusut, kini telah tertata rapih kembali. “Benar-benar kau serius mau bekerja Nur ?”, tanya Adi mau meyakinkan diri. “Ya benar. Nur serius...”. “Maunya kerja apa ?”. “Sekarang belum ada pilihan. Bagaimana mau milih. Pokoknya kalau pekerjaannya cocok, saya ambil “. “Baiklah kita coba usaha. Tapi saya tidak janji”. Kata Adi lalu menambahkan, “Ada teman, sebagai staf pimpinan di sebuah stasion televisi di wilayah Jakarta Selatan. Satu lagi sebagai Direktur perusahaan Studio Radio Siaran di kompleks Taman Ismail Marzuki Cikini. Mau pilih mana ?”. “Kalau tampil sebagai penyiar atau pembawa acara di layar televisi, Nur belum siap”, katanya tertawa. “Muka masih berantakan”, sambungnya. “Bagaimana kalau di Radio saja dulu”. “Kau ada-ada saja Nur”, sahut Adi sambil mengeluarkan telepon genggam dari dalam tas pinggangnya. “Hallo....! Ini Radio Kemenangan ?” “Ya ya, benar. Maaf, dari mana ini pak ?”, terdengar suara wanita dari seberang sana. “ Bisa bicara dengan pak Budi ? Ini Adi teman beliau”. “Hallo Adi. Apa kabar, Kau di mana ini ?”, terdengar suara pria yang tak asing lagi di telinga Adi. “Kabar baik boss ! Saya lagi di Tanah Kusir nih.” “Di Tanah Kusir ....? Ada berita duka ?, suara pak Budiman merendah. “Bukan...” Adi tertawa kecil. “Lagi menemani adik yang baru tiba dari Makasar. Ziarah ke makam orangtuanya.” “Oh....ya. Tapi kau bilang tadi adik, lalu kau bilang lagi , orangtuanya. Bingung aku. Mestinya kalu bilang orangtua kami”. Adi tertawa. “Adik cewek ketemu gede kali ini”, Adi tertawa lagi. “Tahu saja kau Bud”. “Begini Bud”, suara Adi kini terdengar lebih serius.”Kau bilang kemarin kau butuh tambah pegawai administrasi. Sudah dapat atau belum ? Kalau belum, adik ini berminat. Budi tidak menjawab tapi langsung saja bertanya. “Pendidikan jurusan apa dia....?”. Adi menoleh sebentar ke Nur dan bertanya setengah berbisik. “Akunting !”, jawabnya kemudian singkat. “Baiklah. Boleh datang kapan saja. Kapan kau bisa antar adikmu itu ?” “Ok Bud, nanti kutelpon dulu. Terima kasih atas kebaikanmu”. “Baik, auf wieder sehen, sampai ketemu lagi”, suara Budi mau mengakhiri pembicaraan. “Sampai ketemu”, jawab Adi kepada teman sekelasnya di SMA itu dulu. Mereka memang sama-sama menyukai pelajaran bahasa Jerman. Nur yang sedari tadi mengikuti pembicaraan telepon itu hanya tersenyum-senyum. Sekali-sekali ia mencubit pundak Adi sambil menahan tawa ketika Adi mengaku-ngaku ia sebagai adiknya. Sekembali dari Radio Kemenangan, Nur nampak lebih gembira. Gelak tawa Nur dan Wati sore itu kerap tedengar. Adi sesekali menimpali melebih-lebihkan kata-kata Nur dengan guyonan membuat semua tertawa. “Tadi Adi bilang sama Pak Budi, saya adiknya”. “Adik apaan”, kata Nur menertawai Adi. “Tapi pak Budi mengerti. Dia bilang, adik ketemu gede kali”. Adi nampak hanya senyum-senyum kecut. Tapi Adi tidak berdiam diri.Dia mau membalas. “Tadi waktu pak Budi baca-baca surat lamaran, Nur bilang di Makasar ada kakaknya. Kakaknya itu baik sekali. Dialah yang menemaninya sampai Jakarta.”. “He ! apa kau bilang ?”, tukas Nur cepat sambil mencubit tangan Adi yang duduk di sampingnya. “Bohong dia !”, teriaknya kepada Wati. Wati hanya tertawa geli. Ia mengerti, mungkin Adi ingin - Nur memperjelas hubungannya dengan Husni. Sebab Adi tahu betul Nur anak tunggal. Agaknya Nur pun dapat menangkap maksud sindIrman Adi. “Oh......, itu masalahnya”, katanya. “Nanti Nur ceriterakan”, katanya sambil tangannya menepuk lutut Adi.“Ini sudah urusan rumahtangga. Orang luar tidak boleh ikut-campur”, selah Wati tertawa sambil melangkah masuk ke dalam. “Memang ini perlu dijelaskan supaya tidak salah paham. Benar Husin yang mengantar saya ke Jakarta. Karena tidak ada orang lain bisa menolong. Dan dia mau.”, kata Nur. “Dia memang bukan keluargaku. Tetapi dia orang baik.”, Nur melanjutkan. “Semula dia memang mengharapkan aku membalas cintanya. Tetapi kubilang , aku akan balik ke Jakarta. Aku rindu dan mau kumpul lagi dengan ayah ibuku. Kukatakan, aku juga kehilangan seseorang ....”. Sambil berpaling ke Adi, Nur berkata, “Tentu Adi tahu siapa yang Nur maksudkan”. Adi hanya mengangguk. “Telah kubilang kepada Husin, hati saya masih tetap di Jakarta dan tidak ada pikIrman lain. Karena itu kuminta kepada Husin agar menganggap Nur sebagai sahabat saja, bahkan seperti adik”. Kata Nur, merasa seperti sedang membela diri. “Husin ternyata berjiwa besar. Ia memahami dan setuju dengan permintaan saya. Malahan ia menawarkan dapat mengantarkan saya ke Jakarta. Ya saya mau. Jadi, Nur yang sekarang adalah tetap Nur yang dulu ! Tidak berubah “. Tiba-tiba Adi bertepuk tangan. “Hebat....”, katanya. “Sebelum kutanya sudah jelas semuanya”. Jawab Adi. “Kau barangkali yang berubah sekarang Di”. “ Ya, memang banyak perubahan”. “Maksudmu ?”, tanya Nur was-was. “Bukan Adi yang berubah. Yang berubah, keadaan dan kita. Kita tambah pengalaman. Sekali dua kali, kita mungkin harus memberi pengorbanan untuk suatu cita-cita”, kata Adi. “Maksudmu ?”. “Contohnya Nur dalam mempertahanankan hubungan kita. Kau beda pendapat dengan ayahmu dan kau pergi. Kau jatuh ke tangan orang-orang tidak benar dan membawa kau ke tempat yang engkau tidak tahu sebelumnya. Orang-orang itu malah menyalahgunakan keterangan Nur waktu ditahan. Malam itu mereka merampok rumah orangtuamu. Dan akibatnya sudah kita tahu.” Adi tak mau melanjutkan, bahwa ayahnya mengalami depresi yang mendalam kemudian sakit dan meninggal akibat kehilangan Nur dan peristiwa perampokan itu. Apalagi Nur sudah menunduk sedih. “Waktu kau pergi dulu, semua orang sibuk mencarimu. Tapi tak ada informasi samasekali. Begitu pula ketika aku keluar dari rumah skit. Tanya di kantor-kantor polisi, mereka tidak tahu. Rupanya tetangga dan orangtuamu dulu hanya melapor soal penculikannmu ke piket TNI di Gambir. Karena kata perampok, Nur ditahan dan aman di Garnisun. Tapi Polisi rupanya hanya konsentrasi soal perampokan. Mengenai pengusutan penculikanmu tidak jelas kelanjutannya. Nur terdiam, menyimak setiap kata-kata Adi. Sedih, tersentuh hatinya, membayangkan beban derita kedua orangtuanya saat itu. Adi juga sejenak terdiam. Ketika berbicara mengenai pengorbanan, ia juga teringat Irma. Menghadiahkan dua set pakaian wanita yang dibelinya disebuah butik di Megaria saat ulang tahun.Menonton film di bioskop kelas satu. Bahkan untuk mengusahakan tiket untuk Irma yang akan pulang kampung ia harus mengutang. Sebab bukankah Irma akan menjadi calon isterinya ? Namun begitu, Adi tak pernah menyesal. Ia menganggapnya wajar saja. Sebagai biaya suatu percintaan yang tulus. Kalau tak mau berkorban, jangan pacaran. Nur pun teringat kepada Husin. Meskipun ia telah menolak cintanya, tetapi dengan ikhlas Husin tetap rela mengorbankan waktu dan biaya mengantarkannya pulang ke rumah orangtuanya di Jakarta. “He he ini pada diam-diaman ini. Kenapa ?“, tiba-tiba Wati keluar membawakan dua gelas teh hangat. “Terima kasih Wati”, jawab Nur dan Adi barengan. “Gimana, semua baik-baik saja ?”. Nur hanya mengangguk. “Ayo minum”, Wati mempersilahkan lalu balik lagi ke dalam. “Sekarang kita akan mulai dari awal yang baru”, kata Adi melanjutkan. “Awal ketika kita terpisah dahulu. Itu kalau kau masih mau Nur”. “Kalau masih mau, apa maksudmu ?” “Melanjutkan niat kita dahulu. Tapi dalam situasi baru”. “Dulu kita ada masalah karena ayah tidak merestui. Sekarang masalah itu sudah lewat. Tapi mungkin akan ada tantangan lain”, Adi menambahkan. “Apa kau sudah siap Di ?”, mata Nur menatap mata Adi. “Kenapa tidak. Dulu siap, sekarang juga siap”. “Sekarang apa rencanamu ?” Nur lanjut bertanya. “Bukan rencanaku tapi rencana kita”. Lonceng jam dinding antik di atas pintu berbunyi. Adi menengok jam tangannya, sudah jam sembilan malam. “Bisa kita sampai di sini dulu ?”. Nur mengangguk. Adi bangkit berdiri mau pamit pada tuan rumah didampingi Nur. Hari berganti hari. “Bagaimana rasanya kerja di Studio. Pak Budi nakal, nggak ?”, begitu Adi memulai pembicaraan. Mereka melangkah ke tengah taman. Lalu duduk di kursi beton berlapis keramik yang menghadap ke Jalan Imam Bonjol. Sore itu Adi memang sudah menelepon Nur akan menjemputnya pulang selepas jam kerja. Sampai di Taman Surapati, mereka memutar dan parkir di samping taman. Dulu mereka memang sering mampir ke situ ketika Adi menjemput Nur pulang dari senam kebugaran di Cikini. “Ya menyenangkan, bercanda di radio memutar lagu-lagu baru dan banyak lagi. Teman-teman baru juga menyambut baik. Pak Budi menurut saya baik dan humoris. Memangnya kenapa ?”. ”. Adi hanya manggut-manggut saja. “Jadi Nur sudah merasa betah di sana dan mau jadi penyiar ?” “Ya.. itu soal nanti. Cuma sekarang bagaimana dengan rencana kita ke depan seperti yang kau katakan ?”, Nur balik bertanya. “Hubungan antara kita nampaknya tidak ada masalah lagi. Kecuali mungkin dalam hal pilihan”. “Pilihan apa ?” “Nur kan tahu, kita beda keyakinan. Saya pikir ini harus kita pikirkan. Kita sepakati dulu bagaimana solusinya”, kata Adi. “Mungkin orang luar nanti akan ikut mempersoalkan. Karena itu sebaiknya kita mantapkan dulu sikap kita bersama. Kalau sudah sepakat, kita akan satu suara dalam menjawab mereka.” “Menurutmu bagaimana ?”, tanya Adi. Tapi sebelum Nur menjawab ia melanjukan : “Kebanyakan orang berpendapat, kalau seagama itu lebih ideal. Sebagian lagi menyebut pasangan yang berbeda agama bisa membina rumah tangga yang rukun dan bahagia. Syaratnya, harus ada toleransi dan saling menghormati pebedaan. Saya tidak ingin menanyakan apakah pendapat yang pertama dapat kita ikuti. Pilihan yang mungkin adalah yang kedua. Soal bagaimana pelaksanaannya, agar diakui sah di mata hukum dan diterima di mata umum, perlu kita lakukan konsultasi dengan tokoh-tokoh yang lebih paham. Bisa juga kita dengar pengalaman dari keluarga-keluarga pasangan yang berbeda agama tetapi tetap langgeng”. “Bagaimana pendapatmu Nur ?” “Sama. Sependapat”, jawab Nur yang sedari tadi hanya tekun mendengar. “Cuma,” kata Nur lagi; “yang saya belum tahu, bagaimana dengan anak-anak kita nanti”. “Anak-anak kita ? He he he, belum menikah saja sudah bilang anak-anak kita”, Adi memotong. Keduanya tertawa. “Maksud Nur kalau sudah menikah. Adiyuni, Adiyuni..hi.”, Nur berpaling mencubit pipi Adi sambil mengatupkan giginya keras-keras. Adi hanya tertawa memegang tangan Nur. “Kupikir begini... Agama ini adalah hak asasi setiap orang. Termasuk anak kita....nanti.” Sejenak ia melirik Nur, barangkali ia mau balik membalas sindIrmannya tadi. Tapi Nur diam saja. “Bagaimana kalau kita serahkan saja kepada pilihan masing-masing. Nanti mau ikut Nur atau ikut Adi terserah mereka.” “Mengenai pendidikan agama ?” “Kita harus menjelaskan bahwa kita berasal dari keluarga yang berbeda agama. Karena itu memang fakta. Meski begitu kita bisa selalu hidup bersama rukun dan damai. Dan itu harus kita tunjukkan dan buktikan kepada anak-anak”. “Tapi anak-anak biasa lebih dekat kepada ibunya. Apa kau tidak keberatan kalau semuanya mengikuti Nur ?” “Tak masalah. Yang penting kita memberikan penjelasan yang jujur kepada anak-anak. Kita harus memberikan penjelasan bahwa kedua agama kita mempunyai banyak persamaan meski ada juga perbedaan. Terutama persamaan harus kita tanamkan di hati semua anak-anak kita dan.......”, “Semua anak-anak kita.... Memangnya kau menginginkan berapa anak ?, Nur menyelah. “Ah, kau ini. Ini serius Nur...dengar dulu”, Adi sedikit gusar. “Baik boss, terus...” “Kita harus bilang bahwa semua agama itu mengajarkan kebaikan. Hormat kepada Tuhan, hormat kepada orang yang lebih tua terutama orangtua sendiri dan menjaga hubungan baik dengan semua orang tanpa membeda-bedakan.” “Kalau ada yang bertanya, agama mana yang lebih benar...?” “Setiap pemeluk agama akan mengatakan agama yang dianutnyalah yang paling benar. Karena itu anak-anak harus kita ingatkan dari awal. Jangan pernah mengatakan kepada orang tidak seagama, agamanyalah yang paling benar. Kalau di lingkungan seagama tidak masalah”. “Kalau misalnya Nur ditanya mengenai suatu ajaran agama Kristen, bagaimana ?” “Sebaiknya Nur suruh menanyakannya kepada saya. Kalau perlu akan saya minta bantuan Pendeta. Begitu juga kalau anak-anak ada yang bertanya kepada saya tentang ajaran Islam akan saya suruh menanyakannya ke Nur . Bila perlu ke Ustad. Jadi mereka harus mendapat pemahaman yang benar”. “Jadi di rumah kita Natalan dan di bulan Ramadhan kita puasa dan berlebaran ?” “Ya, Natalan bisa dIrmayakan, asal tidak telalu menyolok. Bisa pasang pohon terang. Tapi bisa juga tidak kalau ada yang keberatan. Pada bulan puasa, yang tidak berpuasa menghormati dan menyediakan semua yang diperlukan bagi yang puasa. Setiap orang harus ikut membantu dalam penyiapan perayaan agama. Dan memberi keleluasaan dan menciptakan suasana yang baik dalam menjalankan ibadah. Seperti mengaji, sholat, membaca kitab suci dan yang lainnya. Mungkin pengajian atau ibadah keluarga. Sambil semua ini berjalan, akan tiba saatnya setiap anak dapat memutuskan pilihan agamanya sendiri”. “Ya, kedengarannya memang semua dapat dilakukan.” Nur menyelah. “Mudah-mudahan kita dapat melakoninya dengan baik”, Nur menambahkan seraya menyandarkan tubuhnya ke Adi. “ Tahu ndak Nur.” “Apa..”, tanya Nur manja. “Waktu aku sakit dulu, ketika kau berbaring menindis aku untuk menghangatkan badanku, bukannya demamku turun malah tambah merinding...” “Kenapa ?” “Soalnya kan, saya masih sangat muda saat itu. Masih belum pernah menyentuh seorang gadispun. Apalagi belum pernah dIrmangkul wanita muda dan cantik seperti itu. Jadi gemetaran aku.” Nur tertawa sambil merangkul Adi lebih rapat. “Makanya urus cepat”, bisiknya. Adi balas memeluk dan mengecup bibir Nur. Lampu-lampu taman mulai menyala. Tanda sudah mulai malam. Adi menggandeng kekasihnya ke mobil mengantarkannya pulang ke rumah Wati.(bersambung-INDAH PADA AKHIRNYA)

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *