Sunday, April 26, 2020

Novelku Terbaru : NURHAYATI (7) : "HARUS SARJANA"

Kemana saja kau bung?”, tanya Drs. AMS, Rektor Peguruan Tinggi Publizistik (PTP) mendahului bertanya ketika Adi datang menghadap ke kantornya di Menteng.“Biasa pak, sibuk dapat tugas kesana-kemari”, jawab Adi, sebab mengerti Rektor yang juga Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi suratkabar Abadi itu paham bagaimana sibuknya bertugas sebagai wartawan. Di PTP beliau memberi mata kuliah Sejarah Pers. Perawakannya kecil, murah senyum. Kepada mahasiswanyapun ia senang guyonan. Tetapi sebagai pemimpin suratkabar, ia tegas dan berani menentang kebijakan penguasa yang dianggapnya sewenang-wenang. Karena itu suratkabarnya dilarang terbit dan ditutup. Menyusul Harian Indonesia Raya yang getol membongkar korupsi di Perusahaan minyak negara. “Saya ingin lanjut kuliah lagi pak. Meneruskan kuliah saya dulu.”, katanya. “Sudah lulus untuk beberapa mata kuliah dan saya ingin menyelesaikan yang belum selesai”. “Tapi anda sudah lama tak ikut kuliah. Berapa tahun itu”, jawab Rektor. “ Sekitar tiga tahun pak”, jawab Adi. “Sebetulnya tidak bisa. Tetapi kita bisa beri dispensasi dengan satu syarat. Anda harus membayar semua uang kuliah hingga saat ini, termasuk tahun-tahun Anda tidak mengikuti kuliah”. “Apa tak bisa diberi keringanan pak ?”, tanya Adi. “Ya, kebijakan perguruan memang begitu”, jawabnya. Ia tahu Adi agak kecewa, tetapi ia tetap senyum. “Baiklah pak, akan saya pikir-pikir, terima kasih”, jawab Adi sambil berdiri pamit. Ia kecewa tak diberi keringanan. Namun ia mengerti bekas almamaternya itu sedang membutuhkan banyak dana untuk pembangunan kampus baru di kawasan Lenteng Agung Depok. Ia teringat kembali saat ia pertama ikut bergabung sebagai calon mahasiswa PTP. Ia pikir saat itu, sebagai wartawan ia bisa mendapatkan mendapatkan dispensasi untuk tidak ikut masa perkenalan mahasiswa yang sangat menyebalkan itu. Sebab rekan sekantornya, mas Subekti, bukan saja sebagai Ketua Panitia Mapram ketika itu tetapi juga sebagai Ketua Senat Mahasiswa PTP. Tentu pikirnya, ia akan bersedia memberikan dispensasi sehingga ia tetap dapat menjalankan tugas kantornya meliput berita. Tetapi ini tidak. Segera setelah selesai apel, Adi dan rekan-rekan mahasiswa baru terus disuruh jongkok oleh para senior. Mereka disuruh mengenakan rompi karung, menggunakan topi murahan dan mengisap dot. Rambut calon mahasiswa laki-laki diguntang-gunting sembarangan sedang yang puteri di ikatkan beraneka warna tIrmas-tIrmas kain, menjadikan mereka nampak seperti perempuan sakit ingatan. Kurang ajar ini, gerutu Adi dalam hatinya. Kalau begini mendingan saya tidak jadi ikut. Celakanya ia diperintahkan senior memperlihatkan diri ke kantornya. Menjadikan dirinya jadi tertawaan seperti badut di hadapan seluruh rekan sekantor. Celakanya lagi, si Ed juru photo jangkung yang kemudian beralih pindah ke Majalah Tempo menyuruhnya duduk jongkok membelakangi bak sampah kemudian jepreet...dan dimuat lagi di koran kami. “Keterlaluan kau Ed. Awas kau....”, gumamnya pada Ed yang hari-harinya banyak dihabiskan di kamar gelap. Malam hari di halaman kantor PWI Jalan Merdeka Selatan, semalaman mereka disuruh berjoget dengan iringan musik keras. Salah seorang rekannya pingsan dan nampak dibaringkan di atas meja panjang. Untung tak lama kemudian siuman. Siang harinya mereka disuruh keliling menjual majalah dengan tetap menggunakan pakaian dinas berompi karung. Setelah itu disuruh mengayun sepeda ke Senayan pulang pergi. Sebetulnya Adi belum mahir betul naik sepeda. Masih suka melak-melok ke kiri ke kanan. Siang itu ia terpaksa menyewa sepeda di depan pertigaan Jalan Raden Saleh dengan menitipkan uang jaminan. Alangkah cemasnya ketika mau berangkat dari Jalan Merdeka Selatan. Ia disuruh membongceng seorang cama puteri. Namun dengan segala upaya menjaga keseimbangan, akhirnya ia mampu juga mengayu sepeda sewaan itu ke Senayan. Saat mendaki di Jalan Blora, melintas sebuah truk militer Angkatan Laut disamping kanannya. Para penumpangnya tertawa-tawa ramai-ramai meneriaki dan memanggil-manggil namanya sambil melambai-lambaikankan tangan. “Wah kena lagi aku”, gerutu Adi sambil terus mengayu. Rupanya keluarga Pak Sabar, calon mertua sepupunya yang tinggal di Cilandak. Plonco ini rasanya jauh lebih berat daripada acara mapram (masa prabakti) mahasiswa baru yang dijalani Adi waktu masuk ke Universitas Pancasila di Jalan Borobudur beberapa tahun sebelumnya. Namun semua derita itu akhirnya terobati ketika Adi bersama Nurlela dinobatkan masing-masing sebagai King dan Queen. Dua mahkota kuning menghiasi kepala mereka. Mengelilingi api unggun diiringi lagu Sine Aun Sin terasa sungguh hikmat malam itu. Sore hari, ketika keluar untuk kuliah perdana dengan memakai jaket almamater berwarna biru dengan simbol universitas, ia malah ditertawakan pemilik rumah kontrakan mereka di Paseban. “Putih kayak Cina”, katanya, melihat kepala Adi yang botak. Sebelumnya ia berambut agak gondrong bergelombang. Terpaksa harus dicukur habis setelah sebelumnya digunting sembarangan oleh para senior saat mapram. Sampai saat mau tidur, Adi menimbang-nimbang. Untuk memenuhi persyaratan kampus, ia harus menumpulkan uang cukup besar. Dari mana bisa dapat uang seanyak itu. Jangankan untuk tiga tahun, untuk setahun atau dua belas bulan saja, akan sulit mengadakannya. Lanjut kuliahpun, ia khawatir akan mengalami halangan seperti sebelumnya. Ia tak akan mungkin menolak penugasan ke luar Jakarta. Kalau masih di Jakarta, masih bisa. Karena kuliahnya malam hari. Belum lagi masalah hubungannya dengan Nur yang baru kembali ke Jakarta. Meski belum jelas kelanjutan hubungan mereka, namun Adi merasakan, sikap Nur pada dirinya tidak berubah. Disamping rasa cintanya yang tak mau hilang-hilang, ia juga merasa prihatin dengan keadaan Nur yang kini tinggal sebatang kara - ditinggal meninggal oleh kedua orangtuanya. Nur, teman belajarnya sewaktu kursus bersama. Gadis yang selalu diantarnya ke mana-mana, gadis yang merawat dan peduli atas dirinya sewaktu sakit, - masakan ia akan meninggalkannya begitu saja ? Ia berharap, halangan yang pernah mereka hadapi dahulu, dapat mereka bicarakan lagi jalan keluarnya. Sekarang menjadi urusan hanya mereka berdua. Sampai disitu, Adi merasa, hubungan khusus dengan Irma agaknya memang agak sulit dilanjutkan. Kecuali keluarganya melonggarkan persyaratan mereka. Ini harus dibicarakan baik-baik dengan Irma. Sampai saat itu, Adi belum pernah membicarakan kepada Irma masa lalunya bersama Nur. Minggu sore itu, Irma ada di rumah kontrakan mereka. Adi datang dengan sepeda motor baru, yang diberikan kantor untuk keperluan tugasnya sehari-hari. Obrolan mulanya hanya yang ringan-ringan. Seperti ceritera lucu-lucu tentang psikotes yang tengah dilakukan Irma menguji orang-orang yang akan mengajukan lamaran ke perusahaan. “Bagaimana dengan rumah yang akan dibangun di Cipinang ?”, tanya Irma. Kapling itu adalah tanah hibah yang diberikan Pemerintah Daerah kepada para anggota PWI (Persatuan Wartawan Indonesia ) karena Pemda merasa para wartawan telah ikut berjasa mengkomunikasikan segala kebijakan mereka kepada masyarakat. Kompleks perumahan itu dibangun Departemen Pekerjaan Umum dengan pembiayaan salah satu bank negara. Tapi tiba pada tahap ketiga, prosesnya terlalu lama. Maka Adi memutuskan untuk membangun sendiri rumahnya. Ketika Irma diajak ke tempat Adi, mereka pernah membicarakan rencana pembangunan rumah itu, - yang akan mereka diami setelah menikah nanti. Adi meminta Irma ikut merancang tata ruangan nya. “Dengan demikian, rasa ikut memiliki mulai ada sedari sekarang”, kata Adi ketika itu. “Lumayan. Rumah kecil di atas tanah dua ratus meter cukup untuk sebuah rumah tangga baru”, ia menambahkan. Tetapi Irma hanya tertawa. Malu, karena katanya - mereka akan melewati rumah kenalannya sesama orang Dayak se-gereja. Rupanya Irma sudah pernah ke kompleks wartawan itu mengikuti acara paguyuban warga asal daerahnya di Jakarta. Sesaat, Adi ingin mengejar apakah kenalan itu pria atau wanita. Dan kalau pria apakah sudah berkeluarga atau belum. Kalau belum apakah ia teman biasa atau lebih dari pada itu ?. Tetapi niatan itu kemudian diurungkan. Bukan saja malu kalau ditertawakan dan dikatakan cemburu - tetapi pikirnya - kalaupun ia pacarnya, adalah wajar. Seorang gadis berkulit putih mulus dengan hidung rada mancung mirip miliknya Lady Diana, wajar saja kalau banyak pemuda semacam dirinya ingin memilikinya. Yang penting, hubungannya dengan Irma akhir-akhir ini semakin dekat. Ia membayangkan dirinya bak seorang satria dalam pewayangan yang penuh percaya diri - dan siap setiap saat bertarung dalam suatu perang tanding yang jujur untuk memperebutkan putri raja nan jelita. “Sekarang sudah dimulai dengan pembangunan fondasinya”, jawab Adi kemudian setelah terjaga dari lamunannya. Keduanya diam sejenak. Lalu Adi memulai. “Sebenarnya saya ingin membicarakan soal persyaratan orangtua kemarin.”, kata Adi dengan wajah serius. “Susah Irma...”, katanya melanjutkan. “Persyaratan kampus terlalu berat.Terus terang saya sulit memenuhinya. Mereka minta saya membayar lunas dulu uang kuliah selama tiga tahun. Meskipun tak mengikuti kuliah. Karena itu saya tak berani memberikan janji”, Adi menjelaskan. “Apakah persyaratan itu tak bisa dibicarakan lagi dengan orangtua ?”, tanya Adi kemudian. Sebab pikIrnya, kalau sudah saling menyintai, segala rintangan macam apapun akan mereka hadapi bersama. “Saya tak berani menanyakan. Karena itu sudah hasil musyawarah keluarga besar”, jawab Irma. “Kalau begitu, bagaimana pendapatmu Irma”, tanya Adi kembali. “Justeru saya mau balikkan pertanyaannya. Menurutmu, bagaimana ?” “Saya tak tahu. Kalau begitu, nampaknya sudah takdir. Kita harus menjalani jalan hidup kita masing-masing”, kata Adi dengan nada sedih. “Namun demikian tidaklah berarti persahabatan harus putus, bukan ? Disaat salah satu menghadapi kesulitan, kita bisa saling membantu”, Adi menambahkan. “Hidup masing-masing katamu ! Lalu, Adi mau ke mana. Adakah calon lain ?”, Irma bertanya. “Dahulu memang ada, sekarang hanya kau Irma”. “Sudahlah kalau begitu. Kembali saja lagi ke pacarmu dulu itu”, jawab Irma dengan nada meninggi. Ia mengalihkan pandangannya ke luar. “Terima kasih atas segala perhatian dan bantuan Anda selama ini”, kata Irma menambahkan. Sekarang ia menyapa Adi dengan kata Anda. “Kok jadi begitu jawabnya, Ir ?” “Ya, memang. Sekarang, apakah saya harus mengganti biaya tiket pesawat dulu itu ?” “Oh tidak”, jawab Adi cepat. Kedua tapak tangannya digerak-gerakannya mengarah ke Irma yang nampak mulai marah. Tak menyangka soal tiket itu diungkit lagi. “Bagi seorang pria - itu adalah suatu tanda pengorbanan yang ikhlas buat seorang yang dicintainya. Dan tidak dapat dibayar kembali dengan uang”, kata Adi tetap tenang. “Suatu harga diri. Kalau dikembalikan, itu suatu penghinaan”. Setelah itu Irma diam saja. Tak lagi bertanya ataupun memperdulikan pertanyaan Adi. ButIrman-butIrman air nampak jelas mengalir di pipi putih tertangkap oleh sinar lampu minyak yang terletak di atas meja. Rupanya ia menangis. Rumah kontrakan itu rupanya rumah baru, belum sempat dipasangi instalasi listrik. Sehingga untuk sementara Irma dan temannya menggunakan lampu minyak. Di kompleks Akademi tempat tinggal mereka dahulu, biasanya Irma menemani Adi mengobrol di sebuah teras lebar dan terbuka. Tidak ada lampu menyala di situ atau memang sengaja dimatikan. Cahaya lampu hanya datang dari lampu samping rumah di sebelah sehingga suasananya jadi romantis dan remang-remang. Mereka biasa bertemu di situ setiap malam minggu. Karena pada malam-malam lainnya mereka perlu istIrmahat yang cukup untuk tidak terlambat masuk kerja besoknya. Pada malam-malam rendesvouz seperti itu mereka bisa mengobrol bebas bahkan sampai jam sepuluh malam. Padahal, Irma sebenarnya sering agak terganggu oleh nyamuk-nyamuk nakal yang terkadang juga tertarik dan berusaha menyelinap masuk mendarat di kedua kaki yang putih mulus di bawah rok Irma. Terkadang Adi mesti ikut menunduk mengusir para pengganggu itu – dan Irma hanya tertawa geli ketika sekali sekali tangan Adi – sengaja atau tidak sengaja – menyentuh kaki yang berkulit halus itu. “Soalnya kulit saya putih”, kata Irma, “kalau digigit nyamuk nanti bekasnya hitam dan kelihatan jelek”, ia menambahkan sambil tertawa. “Ya ya ya tuan Putri”, sahut Adi ikut tertawa. Kadang-kadang mereka pergi menonton film dan setelah itu makan ke restoran Cina yang tak begitu jauh dari situ. Irma biasanya suka memesankan Capcay atau Mie Goreng buat mereka. Meskipun Adi sebenarnya lebih menyukai Masakan Padang, seperti nasi rendang, cingcang dan kepala ikan kakap, namun ia menurut saja. Adi tak pernah mengajaknya ke rumah makan yang menghidangkan semua jenis makanan itu sebab pikirnya, mungkin Irma tidak suka makanan pedas-pedas. Dalam soal film, Irma rupanya menyenangi film-film romantis dan misteri. Semisal film “Anjeliq and the Sultan” yang kisahnya mirip-mirip “Romeo and Juliet” karya William Shakespeare yang terkenal itu. Irma juga mengajak menonton film “The Miracle” mengenai penjelajahan seorang relawan yang berani dikecilkan sebesar sebuah sel kemudian dimasukan ke tubuh seorang relawan lain sahabatnya melalui kelenjar mata. Relawan sebesar sel manusia itu kemudian diminta menjelajah dengan membawa kamera mini ke seluruh organ tubuh sahabatnya, memotret dan terus-menerus mengirimkan gambarnya ke pusat Monitor yang terus mengikuti dan mengarahkan pergerakannya. Semua itu divisualisasikan pada sebuah layar lebar. Waktunya jelajahnya sudah diprogramkan. Banyak rintangan dan terkadang mendapat serangan sel darah putih yang mengIrma relawan penjelajah itu sebuah sel asing yang jahat pembawa penyakit. Bila terlambat kembali ke tempat pemberangkatan di mata , ia akan kembali pada ukuran normal, membesar dalam tubuh sahabatnya - yang berarti kematian bagi sahabatnya itu. Memang menegangkan dan Adi juga ikut menikmati. Namun Adi sebetulnya lebih menyukai film-film perang modern semacam Pear Harbour, Raid on Rommel, Normandy, Mereka Kembali, Janur Kuning, Rambo dan Pemberontakan G.30.S/PKI. Meski demikian ia juga tak pernah mengajak Irma menonton film-film seperti itu sebab pikirnya mungkin ia merasa ngeri melihat film-film kekerasan. Tetapi semua kenangan itu akan segera tinggal hanya kenangan. Karena Irma akhirnya buka suara juga. “Anda boleh pulang sekarang,” . Suaranya lemah, tapi bagi Adi kedengarannya seperti vonis hakim. Ia tak berani lagi membujuk Irma mempertimbangkan kembali keputusannya. Adi khawatir dalam kemarahannya Irma akan histeris seperti yang pernah terjadi ketika si Ningsih sekretarisnya yang cantik tiba-tiba mengamuk menangis di kantor akibat pertengkaran sebelumnya dengan pacarnya. Rumah panggung kontrakan Irma berdiri menghadap lapangan kIrma-kIrma seluas lapangan tennis. Di sekelilinginya berdiri rumah penduduk yang semuanya menghadap ke depan. Pada saat sore-sore seperti itu biasanya mereka kumpul duduk-duduk bersantai ngobrol di teras. Dan kalau mereka membuat keributan, akan sangat memalukan. Lingkungannya tidak seperti di kompleks Akademi dahulu ketika mereka bisa bebas berdiskusi. Tak tahan berlama-lama dalam situasi seperti itu, Adi akhirnya mohon pamit untuk pulang. Tak ada pilihan lain. Ia bangkit berdiri - mengulurkan tangan dengan ragu-ragu untuk bersalaman. Irma dengan sopan ikut berdiri menjabat tangan Adi. Bahkan ia tidak menolak ketika Adi merangkul bahunya. Adi pulang dengan pikIrman galau. Apakah aku baru saja berbuat kesalahan ? Menyakiti hati seorang wanita yang sebetulnya aku mulai mencintainya ?. Apakah mestinya ada jalan lain ? Apakah Irma sebetulnya berharap ia tidak harus cepat putus asa untuk menyelesaikan studinya ? Dan untuk itu ia mau menunggu sampai kapan pun ? Tapi semuanya sudah terjadi. Ini tidak boleh terulang lagi, begitu Adi bergumul dalam hati dan pikIrmannya sampai akhirnya tertidur di kamarnya. (bersambung – Nur di Radio Kemenangan)

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *