Sunday, April 26, 2020

Novelku Terbaru : NURHAYATI (9) : INDAH PADA AKHIRNYA

Seorang gadis muda menyambut mereka masuk ke sebuah ruangan yang dingin ber-AC di lantai dua sebuah kantor di kawasan Cempaka Putih. “Sebentar lagi pak Pendeta dan pak Kiai akan datang”, katanya sambil mempersilahkan Nur dan Adi duduk. Sebuah meja bundar ukuran sedang. Dibawahnya beralaskan lembaran karpet berwarna hijau. Pada salah satu dinding, berdiri dua lemari kaca. Penuh dengan berbagai buku. Ada yang tebal-tebal mirip ensiklopedi, ukuran sedang maupun brosur-brosur. “Oh ini rupanya kantor “interfeit”, organisasi komunikasi antar kepercayaan itu”, kata Adi dalam hatinya seraya memperhatikan sekeliling. Tiba-tiba pintu terbuka. “Selamat pagi.....”, seorang laki-laki berjanggut tipis berkemeja putih lengan panjang menyapa. “ Ini Adi yang menelpon kemarin ?” “Betul pak. Saya bersama Nur”, jawab Adi sambil berdiri menyalami diikuti Nur. “Ini pak Kiai Haji Syafei”, kata seorang bapak yang mengikutinya di belakang. “Oh ya, dan ini pak Pendeta Handoyo.” Ganti pak Kiai memperkenalkan. “Apa yang kami bisa bantu”, pak Kiai memulai setelah mereka duduk. Adi dan Nur saling berpandangan. Seakan saling bertanya siapa yang cocok mewakili berbicara. Adi nampak agak gugup. Bagaimana mengawali menyapa pak Kiai. Nur paham, maka ia menjawab : “Assalamu alaikum pak Haji. Saya dan Adi saling mencintai. Kami berniat mau menikah. Tapi ada masalah”. Sambil melihat ke Adi ia menambahkan, “Kami beda agama. Adi Nasrani dan saya Islam. Kami ingin tetap pada keyakinan kami masing-masing setelah menikah”. Pak Kiai dan Pak Pendeta manggut-manggut. “Memang ini masalah pelik. Banyak orang telah mengalaminya.”. jawab pak Kiai. Ia melanjutkan, “Banyak tantangannya. Dari dalam maupun dari luar. Dari dalam, antar sampean berdua sendiri dalam menghadapi berbagai masalah rumah tangga nanti. Sedang dari luar, tantangannya macam-macam. Seperti masalah pengesahan perkawinan oleh Catatan Sipil. Begitu juga lingkungan masyarakat yang berbeda pandangan. Termasuk mungkin dari sebagian kalangan keluarga sendiri. Sampean harus menyepakati dulu bagaimana mengatasi hal-hal yang mungkin terjadi bila sampean jadi berumahtangga nanti. Apa sampean sudah membicarakannya ?”, tanya pak Kiai. “Inya Allah sudah pak Kiai”, jawab Nur. Kedua rohaniwan itu, sejenak bermupakat. Penampilan mereka cukup sederhana. Keduanya nampak akrab, seperti mereka bukan dari latar belakang berbeda. “Baiklah, kami akan membantu memberikan masukan. Mudah-mudahan dapat membantu sampean dalam memilih jalan keluar.”, Sambil menoleh ke pak Pendeta, pak Kiai melanjutkan, “Baiklah pak Pendeta akan memberi penjelasan dulu dari segi pandangan Kristen. Sesudah itu baru dari saya. Kebetulan ada kerja yang perlu diselesaikan”, kata pak Kiai, kemudian mengundurkan diri kembali ke ruangannya. “Baik. Tapi saya ingin tahu dulu sedikit latar belakang keluarga berdua”, kata Pendeta Handoyo yang berpakaian batik lengan pendek. Tak nampak seperti seorang rohaniwan. Lalu dengan perasaan haru dan sedih, Nur meneriterakan kisah keluarganya. Apa yang telah dialami serta kedua orangtuanya yang telah tiada. Adi menceriterakan, kisahnya merantau di Jakarta sampai ia berkenalan dengan Nur. “Saya pertama mengenalnya ketika bertemu di pepustakaan. Kami juga mengikuti kursus yang sama. Bahkan dia juga sering menolong saya ketika dua kali dIrmawat di rumah sakit”. “Begini”, kata pak Pendeta. “Dalam kitab suci Kristen memang dianjurkan, seorang laki-laki hanya boleh memiliki seorang isteri yang seiman. Namun dalam kasus pasangan berbeda iman, masih diberikan kelonggaran. Penganut Kristen, laki-laki maupun perempuan, boleh menikah dengan seorang pasangan yang tidak seiman. Asalkan mereka benar-benar saling menyukai. Isteri seorang Kristen yang tidak seiman akan menjadi kudus karena suaminya. Demikian pula suami yang bukan Kristen akan kudus oleh karena isterinya yang Kristen. “ , “Adi bisa baca itu itu dalam surat Paulus ke Jemaat di I Korintus7 :1-14. Keduanya bisa diberkati di gereja.”, kata pak Pendeta sambil memandang Adi.. “Jadi boleh pak Pendeta ?”, Adi mulai bertanya. “Bisa dari pandangan Kristen.” “Dari pandangan Islam, sedikit berbeda”, lanjut pak Kiyai yang sudah kembali duduk mendampingi Pendeta Handoyo. “Laki-laki Muslim boleh menikah dengan wanita penganut Nasrani. Tetapi seorang wanita Muslim tak boleh menikah dengan pria Nasrani”. “Lalu apa yang dapat kami lakukan pak Kiai ?”, Adi kembali bertanya. “Undang-undang Perkawinan di negeri kita menyatakan. pernikahan dilakukan menurut agama yang akan menikah. Sebagian orang menafsirkan itu bahwa kedua calon mempelai harus seagama. Tapi sebagian lagi menafsirkan tidak harus seagama. Pihak pemerintah rupanya mengikuti penafsIrman pertama. Karena itu Catatan Sipil tidak akan melayani dan akan menolak mengesahkan pernikahan pasangan yang berbeda agama. Ini sudah sering terjadi”. “Jadi tantangannya berat”, pak Kiai menambahkan. “Jadi .....?, Pak Kiai paham yang akan ditanyakan Adi lalu melanjutkan : “Kami pernah menikahkan yang berbeda agama di sini. Tapi kami mendapat banyak protes”. “Kami tak dapat memberi saran. Tapi mungkin dapat memberi contoh bagaimana beberapa pasangan menyelesaikan kasus seperti yang sampean hadapi.”, kata pak Pendeta. “Ada negara yang bersedia mengesahkan pernikahan pasangan yang bukan warganegaranya. Seperti di Singapura, Australia dan beberapa negara lain”, pak Kiai menambahkan. “Jadi, kami bisa seperti itu ?, tanya Adi serius. “Kenapa tidak, kalau sampean mau. Yang pasti pernikahannya sah”, pak Kiai menegaskan. Nur dan Adi saling berpandangan. Nampak keduanya puas dan gembIrma mendapat jawaban terakhir ini. Rupanya mereka telah mendapatkan jalan keluar yang akan mereka jalani. Rasanya mereka ingin berpelukan. Tapi malu di depan kedua rohaniwan menjelang usia sepuh itu. Berrulang-ulang mereka berterima kasih. Kemudian mencium tangan keduanya lalu pamit menuruni tangga. Selesai

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *