Sunday, April 26, 2020

Novelku Terbaru : NURHAYATI (1) GADIS MINGGAT SAAT JAM MALAM

Tengah malam, Nur diam-diam mengemasi semua pakaiannya. Ia meraih selembar kertas dan menulis : “ Pa, ma,... ampuni Nur papa, karena tidak dapat mengikuti nasehat papa. Nur rasanya tak bisa lagi dipisahkan dengan Adi. Karena itu Nur harus pergi. Maafkan Nur mama....” Surat itu diletakannya terbuka di atas meja belajarnya. Ia membekali diri dengan beberapa potong roti yang ada di mejanya lalu pelan-pelan melangkah keluar. Mereka hanya bertiga di rumah itu. Kedua orangtuanya rupanya sudah tertidur. Pintu rumah dibuka lalu dikunci kembali dari luar. Demikian juga gembok pintu pagar. Sudah itu anak kunci dlemparkannya agak kedalam. Kemudian ia mulai melangkah mengikuti trotoar dengan tas pakaiannya menggantung di bahunya. Ia berjalan sambil menunduk seperti sedang berpikir. Malam itu ia bermaksud ke tempat Adi di Jalan Paseban di kawasan Jakarta Pusat . Sebenarnya ia ragu. Apakah Adi masih berobat jalan dan ada di rumah atau jadi dirawat?. Dia juga lupa hari-hari itu militer setiap malam memperlakukan jam malam. Penduduk dilarang keluar malam. Jadi dia berjalan saja tanpa kepastian. Kendaraan umum tak ada lagi yang berani keluar mencari penumpang. Demikian pula taksi. Sesekali hanya nampak melintas cepat mobil-mobil patroli militer. Ada juga sekali-sekali mobil plat hitam, tetapi semuanya ditempeli kertas tanda khusus di kaca depan. Namun mereka lewat saja tak memperdulikannya. Mungkin karena tak mencurigakan. Nur juga tak berusaha menghentikan. Tak nampak ada sosok manusia lain. Baik di halaman rumah ataupun di jalan-jalan. Tapi Nur masih saja keluyuran dan telah sampai di jalan Setia Budi.. Ketika itulah ia dipanggil seorang tentara berseragam loreng. “Hei mau kemana kau !”, tukasnya sambil berjalan menghampiri Nur. “Apa kau tak tahu ini jam malam . Mau ke mana “, tanya tentara itu lagi. Di ujung senjatanya terpasang bayonet yang mengkilap. “Ayo pulang ke rumah. Bahaya jalan malam-malam begini. Perempuan lagi ! Siapa namamu ?”. “ Saya Nurhayati pak.” jawab Nur sedikit merinding.”Saya tidak mau pulang pak. Saya baru ribut dengan orangtua. Saya mau pergi ke rumah teman”, jawab Nur. “ Rumah temanmu di mana ?” “ Di daerah Paseban pak “. “Wah jauh itu..... dan jam malam begini tak ada kendaraan umum”. Tentara itu membawa Nur menghadap atasannya. Komandannya memerintahkannya mengantarkan Nur ke Pos Penjagaan untuk menginap malam itu. Besok pagi agar diantarkan pulang ke rumah orangtuanya. Di Pos penjagaan pemeriksaan masih dilanjutkan. Semua barang-barang Nur diperiksa dan ditanyakan perihal keluarganya. “Siapa nama ayahmu ?” “Haji Sanusi pak “ “Pekerjaannya ?” “Pengusaha pak” “Kenapa kamu ribut dengan orangtuamu ?” “Saya dilarang bertemu dengan pacar saya pak. Padahal dia lagi sakit”. “Ya, kamu istrahat saja dulu di sini. Besok saya antar. Rumah kamu di mana ?” Tanpa curiga sedikitpun, Nur menuliskan alamat lengkap rumah orangtuanya di kawasan Kebayoran Baru lalu diberikan kepada petugas. Duduk di bangku penjagaan, ia membayangkan kembali pertengkaran dengan ayahnya yang diketahuinya sedang mengidap penyakit darah tinggi.. ”Benarkah apa yang baru kulakukan ini ?”, ia coba memikirkannya kembali. Masih terngiang-ngiang kata-kata ayahnya yang mengharapkan pengertian. "Nur, coba kamu pikirkan lagi”, kata ayahnya, Haji Sanusi, menasehati, “dia itu tidak seiman dengan kita. Nanti muka kami, papa dan mamamu taruh di mana. Sekolahmu juga belum selesai. Selesaikan dululah” Tapi Nur hanya duduk sayu bersandar beralaskan bantal di tempat tidur. “Tapi saya sudah dewasa pak.”, Nur menimpali nasehat ayahnya. “Sudah mulai mikirkan masa depan Nur sendiri”. Sudah itu ia hanya diam terisak. Dari pagi ia tidak mau makan. “Tetapi.....”, suara ayahnya terputus karena tiba-tiba Ibunya membuka pintu, membawakan segelas susu.. Sambil mengusap-usap kepala puteri tunggalnya ia berusaha menenangkannya.. “Minum nak. Makan, kau juga tentu lapar”. Tetapi Nur tak menyentuhnya. Ia memeluk leher ibunya sambil terisak, menangis.. Ibunya sebetulnya lebih menyerahkan kepada anaknya untuk memilih mana yang terbaik menurut pikirannya. “Mama tahu perasaanmu Nak. Tapi pertimbangkan juga pendapat Papa”, ibunya menasehati. Kedua suami-isteri itu kemudian keluar kamar. Sesaat Nur mendengar keduanya bertengkar. Kemudian ada suara pintu dibanting. Ayah Nur masuk kamar dan terus tidur. Kesehatannya ketika itu memang sedang menurun. Di sekujur kepalanya mulai nampak uban, menandakan usianya sudah mendekati lanjut. Tak lama kemudian isterinya juga masuk. Ia tertegun sejenak melihat suaminya yang berbaring membelakang dengan muka menghadap ke dinding. Sudah duapuluh tahun ini ia hidup bersamanya. Pergi tidur dalam suasana kemarahan tentu tidak menyenangkan. Ia prihatin, tetapi ia tidak berbicara apa-apa. Tidak ingin mengganggu ketenangan tidurnya. Tapi sebelum tidur ia bangun kembali. Perlahan-lahan ia membuka pintu kamar anaknya dan kepalanya melongo ke dalam. Lampu tetap menyala. Ia lihat Nur berbaring menghadap dinding. Biarlah dia istrahat tidur, katanya dalam hati. Padahal Nur ketika itu tak dapat tidur. Memikirkan Adi dan juga menyesali diri tadi telah menyakiti hati ayah yang sangat disayanginya. Ingin rasanya ia bangun sujud mencium kaki ayahnya. Tadi, ketika mendengar bunyi sandal mendekat, ia lekas-lekas merebahkan diri berbaring pura-pura sudah tertidur. Ibunya balik kembali ke kamarnya, berbaring disamping suaminya yang sudah mulai tidur lelap. Lampu ruang tamu sudah dimatikan. Besoknya, Nur kembali menolak dipulangkan ke rumah orangtuanya. Tentara yang diperintahkan mengantarkan Nur, Sanip, menawarkan untuk mengantarkannya ke rumah saudaranya yang sudah berkeluarga. Nur tidak menolak. Sang Komandan juga tidak keberatan. Ia tidak tahu kalau anggotanya itu mempunyai rencana lain. Ia tidak tahu kalau oknum anggotanya itu telah terlibat dalam berbagai aksi kejahatan di Jakarta. Yang menyasar rumah-rumah mewah yang mereka yakini penghuninya pasti orang orang kaya. Ketika mendengar ceritera Nur mengenai ayahnya yang pengusaha dan terbilang kaya di Kebayoan Baru, Sanip berpikir “ wah, info bagus nih. Orangtua Nur ternyata orangkaya. Dapat kita jadikan sasaran”. Makanya, pagi harinya Nur tidak jadi diantar ke tempat Adi setelah menolak balik ke orangtuanya. Alasannya kepada Nur, atasan melarang. Karena Adi belum berkeluarga. Lagi pula bukan famili. Kalau terjadi apa-apa, komandan tak mau disalahkan, katanya. Lalu Nur dibawa Sanip dan dititipkan ke rumah kakaknya. Sedangkan suami kakaknya, Nasikin, sudah lebih dahulu terlibat dalam kawanan perampok. Maka mulai saat itu jatuhlah sudah anak perawan itu ke tangan kelompok penjahat. Namun begitu Nur tetap diperlakukan baik dan sopan. Hanya saja dia tidak diperbolehkan ke mana-mana. “Akhir-akhir ini Jakarta semakin tidak aman”, kata Nasikin kepada Nur di hadapan isterinya. Itulah sebabnya maka selalu diberlakukan jam malam, katanya menambahkan. Kedengarannya masuk akal. Tapi alasan sebenarnya - Nasikin khawatir Nur akan kabur ke tempat Adi atau balik ke rumah orangtuanya. Takut rahasia mereka ketahuan. Apalagi kalau Nur sampai tahu mereka telah merampok orangtuanya di Kebayoran Baru. Polisi, terutama Resimen II Brimob Jalan Prapatan ketika itu mulai gencar melakukan penyelidikan terhadap para pelaku kejahatan di Jakarta. Dua orang telah tertembak mati dalam pengejaran di Jalan Jakara Bypass. Maka Nasikin memutuskan untuk segera menyingkir jauh-jauh. Pulang kampung ke Makasar. Nur harus ikut karena kata Nasikin, Nur sekarang menjadi tanggugjawab mereka. Padahal sebenarnya ia memang ditugaskan komplotannya untuk mengamankan Nur. Di Makasar Nur berkenalan dengan seorang pemuda. Nasikin pun sebenarnya senang kalau Nur segera menikah. Sebab kehadirman Nur membebani mereka juga. Mereka setuju, apalagi Husni seorang putera juragan kapal kaya di Makasar. Termasuk seorang pemuda yang baik hati. Tidak suka foya-foya dan bukan peminum. Husni pun nampaknya tertarik dan sungguh-sungguh. Tetapi Nur bersikap biasa-biasa saja. Ia masih sering teringat pada kekasihnya Adi . Pemuda yang baik hati, yang selama ini selalu membantu dia, menemani dan mengantarnya ke manapun ia mau.. Dia membayangkan bagaimana kalutnya Adi sesudah dia tinggalkan. Tiba-tiba dia menghilang dan tidak memberi tahu keberadaannya. Adipun ketika itu belum pulih benar. Masih sakit-sakitan. Terakhir mereka sepakat agar Adi dirawat kembali di rumah sakit. Tiba-tiba mereka terpisah. (bersambung, Orangtua Nur Dirampok).

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *