Tuesday, April 28, 2020

Novelku Terbaru : NURHAYATI (3) : Menanti kekasih di Taman Surapati

Adi mendengar kabar hilangnya Nur setelah meninggalkan rumah sakit. Iapun ikut berupaya mencari informasi. Tapi tak berhasil. Apalagi kejadiannyya sudah lama. Sudah ditanyakan ke kantor-kantor polisi tetapi mereka juga belum berhasil menemukan.Ia ke rumah Nur di Kebayoran tapi rumah itu sudah dijual. Dan mereka tidak tahu kemana Nur dan orangtuanya pindah. Pantas saja Nur tidak muncul-muncul saat-saat kritisnya di rumah sakit. Kini ia merasa kehilangan. Untuk menghilangkan kekalutan pikirannya ia beberapa kali pergi menyendiri ke Taman Surapati Menteng. Duduk di bangku marmar tempat mereka biasa duduk bersama dahulu. Dia bisa duduk di situ merenung berjam-jam. Dulu mereka kerap mampir istrahat di situ sewaktu mengantar atau menjemput Nur pulang dari tempat senam kebugaran di Cikini. Sekarang dia sendirian saja. Sambil senyum-senyum sendiri ia mengenang kembalu ke belakang ketika suatu kali ia menjemput dan mengantar pulang Nur pulang. Sebelum pulang, mampir dulu ke tempat tinggalnya di Paseban. Keluar dari rumah dengan naik motor . Sekelompok anak muda mengganggu mereka. “Cihuuui.... montok !”, teriak salah seorang, sementara yang lainnya tertawa.Ia tidak marah. Sebaliknya ia tersenyum dan melambaikan tangan. Memang Nur ketika itu tidak sempat berganti pakaian. Tidak juga memakai jaket. Bentuk tubuhnya yang montok memang nampak begitu jelas dalam baju kaosnya yang hitam lengan panjang namun ketat. Di bawahnya ia memakai celana jean warnah putih.. Suatu waktu Adi pernah pura-pura mau menggoda ketika Nur berbaring di tempat tidurnya yang hanya pas-pasan untuk satu orang. Adi meraba pinggangnya yang masih terbungkus baju kaos senam, tapi Nur mengingatkan : “Awas dosa”. Dan Adi memang tidak berniat sungguh-sungguh. Hanya tertawa. Nur sangat dicintainya dan pikirnyya, kelak akan menjadi isterinya. Seorang isteri yang terhormat. Ia yang akan melahirkan anak-anaknya. Ia tak mau menodai calon isterinya. Apalagi kalau kelak ia juga memiliki anak-anak perempuan. Ia mau menjaga kesucian pernikahan. Makanya ia selalu berusaha membatasi diri. Semula hubungan Adi dan Nur biasa saja. Mereka pertama berkenalan di sebuah perpustakaan. Kedua-duanya memang senang membaca. Terutama Novel hasil karya para sasterawan. Adi menukai novel-novel karangan Buya Hamka, Nur Sutan Iskandar, Armin Pane dan lain-lain. Demikian juga karya-karya pengarang asing seperti William Shakespeare. Demikian juga ceritera Wayang seperti Mahabrata dan Barata Yudha. Meskipun Adi sudah duduk di kelas terakhir SMA dan Nur dibangku terakhir SKP (Sekolah Kepandaian Putri), namun mereka juga rajin mengikuti kursus-kursus. Mulai dengan Kursus Kader Masyarakat A (KKMA) kemudian KKMB yang diselenggarakan Jawatan Pendidikan Masyarakat . KKMA diakui setingkat dengan SMP sedangkan KKMB setingkat dengan SMA. Mata pelajarannya umumnya ilmu Sosial seperti etika, norma-norma pergaulan, kepemimpinan dan ilmu pendidikan. Selama kursus itulah hubungan pribadi Nur dan Adi makin erat. Mereka sering belajar bersama dan saling membantu. Semula Adi tinggal bersama kakak perempuannya, Weli. Suaminya bekerja di sebuah perusahaan konstruksi dan banyak menerima borongan membangun perumahan. Kakaknya menempati rumah sederhana yang dibangun bersama teman suaminya di atas sebidang tanah kosong di kawasan Cilandak Jakarta Selatan. Rumah itu dibangun kemudian dibagi dua untuk ditinggali keluarga masing-masing. Letaknya tidak terlalu jauh dari rumah sakit Fatmawati. Suatu hari kakaknya menerima surat dari kampung di Sulawesi. Ayahnya sakit keras. Kalau bisa mereka pulang. Rupanya ayah mereka hanya sakit malaria dan segera dapat disembuhkan. Meskipun ayahnya sudah sembuh, Weli dan suaminya memutuskan tidak akan kembali lagi ke Jakarta. Mereka akan tetap di kampug menemani orangtua serta mengolah tanah persawahan. Tinggallah Adi sendiri. Bagaimana kelanjutan sekolahnya ? Kepada siapa lagi ia berharap.? Namun Adi bertekad untuk tetap sekolah dengan berusaha mencukupkan kebutuhan sendiri. Apalagi sudah di kelas tiga SMA. Setahun lagi diharapkan selesai. Baik nafkah sehari-hari, pakaian, biaya sekolah dan kebutuhan lainnya harus dicari sendiri. Untung ada rumah sendiri serta kebun singkong dan pisang peninggalan kakak dan pamannya. Itulah yang menjadi modal dasarnya. Dengan itu dia dapat tetap makan. Ubi kayu dapat di rebus untuk dimakan. Dapat juga diparut dan dijadikan sagu. Sagu adalah makanan pokok penduduk nomor dua di kampung Adi sesudah beras. Soal makan, Adi merasa tidak kekurangan. Malah berkelebihan. Maka ia berpikir bagaimana kalau dijual. Namun ia enggan memikul singkong ke pasar. Pikirnya tentu penjualannya memerlukan lebih banyak waktu. Sebagai gantinya ia ke beberapa warung kue yang biasanya menggunakan singkong sebagai bahan bakunya. Ia berani menawarkan harga yang lebih murah. Lagi pula masih segar. Usaha ini ternyata berhasil. Bahkan pada akhinya mereka sendiri yang datang ke kebunnya. Mereka senang karena Adi menjual per pohon. Disamping mendapat singkong mereka juga boleh mengambil daunnya untuk sayur atau untuk dijual lagi. Pisang Ambon dan pisang sepatu cepat laku di pasar. Karena itu, kalau sudah masak, Adi memikulnya ke pasar ketika hari masih subuh. Ia letakkan dagangannya di lantai pasar terbuka itu. Dekat-dekat dagangan tidak sejenis milik orang lain yang mempunyai alat penerangan. Lalu ia berdiri agak jauh. Kalau ada yang tertarik, ia cepat-cepat datang melayani. Adi khawatir ada teman-teman sekelasnya datang belanja ke pasar dan memergokinya berjualan di pasar. Ia malu bila dijadikan olok-olokan di sekolah sebagai pedagang pasar. Karena itu, bila hari sudah mulai terang, sisa dagangannya diobral. Atau dibawa pulang untuk dibawa kembali ke pasar hari berikutnya. Kadang-kadang Adi memakai pakaian penyamaran. Layaknya pedagang-pedagang biasa. Ia selalu berharap jangan kiranya ada orang mengenalnya secara pribadi, khususnya teman-teman sekolah. Apalagi teman puteri. Teman-teman sekelas Adi sebenarnya sudah tahu kalau Adi mempunyai kebun. Awalnya, ketika direktur sekolah menganjurkan membuka kebun sekolah. Dan yang praktis kebun singkong. Soal bibit ? Adi menyanggupi berapa saja. Teman-temannya minta diajak ikut mengambil bibit ke kebunnya. Sebenarnya Adi malu kalau teman-teman, datang ke pondoknya. Mereka semuanya dari keluarga berada. Apalagi di situ ada puteri seorang Bupati. “Musim hujan ini jalannya berlumpur “ , kata Adi. “Boleh, tapi cewek-cewek jangan karena licin”. “ Eh, ngana so bisa kawin kalau bagini”, kata teman sesama asal Sulawesi sesampai di kebun dan pondoknya. Adi hanya tertawa saja. “Tapi dalam hati ia berpikir, mungkin juga”, ia teringat pada Nur. Sejak itu jadilah Adi sebagai pemasok singkong setiap kali teman-teman sekolahnya ingin makan kolak. Biasanya sehabis kerja bakti atau berolah raga. Melihat hasilnya memuaskan, Adi memperluas lagi kebunnya. Bukan saja diperluas tetapi juga ia coba menanam tanaman lainnya yang laku dijual seperti kacang tanah. Di kampungnya, kacang tanah merupakan salah satu sumber menghasilkan uang yang bagus. Dijual berupa kacang kulit per kaleng minyak tanah. Dalam tempo tiga bulan sudah dapat dipanen. Dia berpikir, kalau hasilnya bagus dapat dijual ke Mines, anak tetangga sebelah yang setiap malam menjual kacang goseng di depan Bioskop Abdi di Blok A Kebayoran Baru. Nampak kacangnya tumbuh bagus. Tetapi sayang. Hama tikus menggerogotinya setiap malam sehingga akhirnya dihentikan. Rumah dan kebun Adi terletak pada tanah terlantar di lereng bukit. Kemiringan sekitar empat puluh lima derajat, banyak ditumbuhi alang-alang dan semak berduri. Di puncaknya yang memanjang, terdapat jalan setapak dan deretan pohon-pohon jati. Tanah ini seperti tidak bertuan. Setelah alang-alang dan belukarnya ditebas dan dibakar, dipacul dan ditanami ternyata tanahnya cukup subur. Rumput alang-alang dan belukar kemudian berubah menjadi kebun singkong dan kebun pisang yang memberi hasil tak berkesudahan. Pulang dari sekolah, Adi seringkali pula mencari buah-buah kelapa jatuhan di antara semak-semak untuk dimasak menjadi minyak. Minyak itu kemudian djual ke warung. Pohon-pohon kelapa yang tampaknya terlantar seperti tidak lagi diacuhkan pemiliknya tidak luput dari perhatiannya. Sekali seminggu, Adi menyusuri semak belukar di bawah pohon-pohon kelapa terlantar itu. Kalau beruntung ia dapat kembali dengan memikul enam sampai sepuluh buah kelapa kering yang jatuh. Kelapa-kelapa itu diparut, diperas minyaknya dengan air dan kemudian santannya dibiarkan semalam agar airnya mengendap. Hari berikutnya minyak diatasnya ia pisahkan. Air dibuang dan minyak masih mentah itu dimasak lagi sebentar untuk mendapatkan minyak goreng. Biasanya tiap tiga butir kelapa dapat dihasilkan satu botol minyak, tergantung jenis kelapanya. Minyak kelapa itu kemudian dijual ke warung yang sudah menjadi pelanggannya membeli singkong. Pemilik warung ini pertama kali dikenalnya ketika baru pulang dari Sukabumi. Suatu hari Adi diajak temannya berlibur ke kota dingin itu. Dalam perjalanan pulang, mereka lewat sebuah desa. Warganya banyak menjual madu. Desa itu yang berhawa sangat dingin diwaktu malam memang terkenal sebagai penghasil madu. Karena harganya murah, Adi membeli beberapa botol. Tentu saja madu asli. Eh, agak tercengang juga Adi ketika dibawanya ke warung langganannya. Pemilik warung berani memberi harga empat kali lipat dari harga pembeliannya. Adi berpikir, mengapa tidak menggunakan kesempatan baik ini. Sayang libur sekolah akan segera berakhir. ”Coba kalau masih libur”, “ Bisa bolak-balik membeli madu”. Di kaki bukit itu terdapat kali kecil. Di kiri-kanannya terdapat pohon-pohon sagu. Sewaktu-waktu pemiliknya datang mengambil daun-daunnya untuk dibuat atap saung. Adakalanya mereka menebang pohon sagu yang sudah tua untuk diambil sagunya. Pelepah-pelepahnya dibiarkan berserakan. Bagi Adi itu merupakan sumber rezeki yang memang selalu ditunggu-tunggu. Melalui perantaraan Pudu, adik tetangga kawan sekerja pamannya dahulu, Adi berkenalan dengan beberapa kontraktor bangunan. Pada hari-hari libur dan selepas sekolah, pemborong bangunan itu mengijinkan Adi bekerja pada poyek-poyeknya dengan perhitungan jam-jaman. Pembayaan upah setiap akhir minggu. Segala macam pekerjaan Adi lakukan. Mengangkut air dari kali untuk menyampur semen, mengikuti truk mengangkut tanah urug , mengaduk semen dan belajar menyusun batu bata. Nah,pemborong-pemborong ini rupanya senantiasa memerlukan eternit untuk plafond bangunan poyek mereka. Dan yang paling disukai yang terbuat dari kulit pelepah sagu. Warnanya coklat mengkilat seperti dipolitur dan tidak luntur. Karena itu harganya lebih mahal daripada eternit bambu. Tahu peluang ini, maka pelepah-pelepah sagu yang berserakan itu dikumpulkan Adi. Kulitnya diambil lalu dianyam menurut motif yang banyak digunakan. Pemborong-pemborong ini mau menampung berapapun dengan hitungan harga per meter persegi. Disamping bekerja bangunan, di hari-hari libur pendek adakalanya Adi juga mengikuti pekerjaan-pekerjaan borongan. Pernah bersama empat temannya mendapat pekerjaan borongan memaras semak-belukar, merintis pembukaan jalan sepanjang beberapa kilometer menuju lokasi tempat akan dibukanya proyek baru. Sekali pernah Adi sendirian menerima kerja borongan dari Kantor Kelurahan, memaras pinggiran jalan raya di kawasan Pondok Labu Jakarta Selatan. Kemudian mengumpulkan batu beberapa kubik dari kali. Namun Adi merasa seperti dicurangi. Hasil pengukuran dari pihak Kelurahan diberitahu selalu kurang dari panjang jalan yang dikerjakan. Padahal Adi merasa telah mengukurnya seteliti mungkin. Dia memang tak diajak ikut menyaksikan pengukuran itu karena sudah mulai masuk sekolah. Tapi Adi tidak protes. Ia tak mau hubungan dengan Kelurahan terganggu. Karena Adi juga sering meminta bantuan mereka. Di rumah , Adi juga memelihara ayam kampung. Ia buatkan kandang dari bambu seukuran kamar. Tapi, sering dibobol musang. Akibatnya ada yang hilang. Yang lainnya beterbangan di tengah kegelapan . Pada malam-malam berikutnya mereka takut untuk tidur lagi di kandang. Mereka naik dan bertengger di atas pohon bambu atau pohon mangga yang tinggi-tinggi. Lama kelamaan menjadi liar dan juga menjadi sasaran pencuri. Untuk peternakan ayam ini sedikitpun Adi tak dapat menikmati hasilnya. Begitulah segala perjuangan Adi untuk memenuhi sendiri kebutuhan dan membiayai sekolahnya sampai tamat SMA. Adi memang sudah bertekad untuk berusaha mandiri. Tidak mau membebani orangtuanya yang sudah tua ataupun saudara-saudaranya di kampung. Saat itu ia telah berkenalan dengan Nur. Adi pernah sekali pulang kampung. Ia didesak ikut pulang kampung. Tapi ia berusaha meyakinkan orangtuanya bahwa ia mampu membiayai hidup dan sekolahnya. Bahkan katanya, ia bisa menambah pengetahuannya dengan mengikuti kursus-kursus seperti Kursus Kader Masyarakat A dan B. Dengan ijazah itu ia sudah bisa menjadi guru kalau mau. Teman-temannya memang pernah ikut praktek mengajar ke beberapa sekolah, tapi Adi tak sempat karena sedang ada ujian-ujian ulangan di sekolah. Orangtuanya khawatir karena Adi masih sekolah dan belum bekerja. Kalau sakit bagaimana.“Apakah tidak sebaiknya pulang dan pindah sekolah di kampung ? , tanya ayahnya pada suatu hari. Permintaan itu memang cukup beralasan. Tapi Adi menjawab sudah tanggung. Tinggal setahun lagi mudah-mudahan SMAnya tamat. Sebetulnya alasan sebenarnya ia tak mau berpisah dengan Nur. Ia merasa bisa mengurus dirinya sendiri selama masih ada Nur. Ia terbayang kembali wajah kekasihnya itu. Yang selalu mengunjunginya ketika dirawat seminggu di rumahsakit Fatmawati karena sakit malaria.. Adi belum memberitahukan hubungannya dengan Nur. Tak ingin melukai hati ibunya yang pernah mau menjodohkannya dengan seorang gadis sekampung. Meskipun gadis itu tak kalah cantik dan baru lulus sekolah guru, tapi hatinya lebih terpaut pada Nur. Suatu hari, Adi merasakan demam tinggi dan sakit kepala. Ketika diperiksa di rumahsakit, ia diminta untuk langsung dirawat. Ternyata mengidap sakit malaria. Nur lah yang sibuk mengurus keperluannya. Mengambil, mencuci dan mengantarkan pakaiannya. Untunglah hanya beberapa hari dirawat dan boleh dilanjutkan dengan rawat jalan.Ketika keluar dari rumah sakit Nur juga yang menjemputnya. Ketika sampai di rumah, demamnya kambuh lagi dan panas. Dicoba dikompres dengan air dingin tidak turun-turun juga panasnya. Obatnya pun sudah diminum. Maka Nur pun berbaring menghimpit tubuh Adi yang tengah meringkuk dalam selimut. “Kutindis kau biar hangat”, katanya pada Adi. Memang tak lama kemudian demam dan panas badannya menurun. Setamat SMA, Adi mulai mencoba mengadu untung melamar kerja. Sebagai lulusan baru dan belum memiliki pengalaman kerja, tidaklah mudah bagi Adi. Ia sempat bekerja di suratkabar Pelopor. Sekitar sebulan kemudian ada masalah. Tanah tempat tinggalnya termasuk kebunnya sudah akan dipakai sendiri oleh pemiliknya. Adi ditawari ganti rugi. Dengan berat hati, Adi menyetujuinya. Namun ia minta waktu sampai ia mendapatkan tempat tinggal baru. Terpaksa Tempat tinggal baru ?. Ada iklan yang menawarkan kamar kost. Dia menulis surat tapi tak ada balasan. Adi memang belum terlalu paham mengenai kos-kosan. Seorang pegawai percetakan memberitahukan akan bekas warung dekat rumahnya Grogol mau dijual. Meski bekas warung itu sangat tidak memenuhi syarat kesehatan, terpaksa dia bayar juga karena sudah mendesak. Parit di depan tergenang dan berbau busuk. Sumurnya berdekatan dengan jamban yang terletak di luar dan juga dipakai bersama tetangga. Adi biasa lebih memilih mandi dan mencuci pakaian di kantor. Sedang untuk air minum dan memasak beli air pikulan. Sejak itulah kesehatannya mulai terganggu lagi. Lebih-lebih setelah bekerja malam di percetakan. Tidak terbiasa terkena angin malam. Selain sakit kepala, perutnya juga sering sakit. Dokter yang memeriksa memintanya untuk segera dirawat. Adi memilih berobat ke RS. Fatmawati tempatnya dulu pernah berobat. Semua diperiksa. Perut, nadi, mata dan dada. Setelah itu contoh darah diambil. Besoknya urine, faeses dan rontgen. Dalam hati Adi bersyukur pada Tuhan dan berterima kasih pada petugas-petugas rumah sakit ini. Karena nampaknya mereka benar-benar bersungguh-sungguh untuk mengetahui secara menyeluruh penyakit yang dideritanya.. Suhu badannya tinggi sekali. Mereka memasangi termometer, mengompres kepalanya dengan es. Mereka menungguinya karena Adi sendirian. Rupanya penyakit Adi cukup serius.Semula ia menduga hanya masuk angin karena kerja malam atau sakit malaria bawaan dari kampung seperti pada perawatan sebelumnya.Atau. Di kampungya memang banyak nyamuk karena dekat sawah. Waktu di Sekolah Dasar dahulu ia sering terserang penyakit itu. Tapi hasil ronsen dan laboratorium kali ini, menunjukkan bukan malaria, tetapi Types Abdominalis dan saluran pernapasan. Bahkan telah menjalar sampai ke paru-paru. Dia perlu dirawat beberapa minggu. Dan setelah keluar pun, perlu berobat jalan selama paling sedikit dua tahun. Makanan Adi diatur ketat. Tidak boleh menerima makanan dari luar. Pada mulanya tidak jadi masalah. Karena Adi memang tidak mempunyai selera makan. Mereka memberinya segelas minuman seperti cendol tapi tak dijamahnya samasekali. Menu rutinnya, seporsi kecil bubur susu kekuning-kuningan dan segelas jus pepaya. Hanya dicicipi sedikit. Terkadang tidak sama sekali. Adi memang tidak ingin makan apapun. Bubur susu dan setengah gelas sari pepaya, itulah menunya, setiap siang dan sore selama tiga minggu pertama, Adi menggerutu. Lama-lama membosankan.juga. Tidak ada variasinya. Lagi pula, bagaimana makanan ini dapat memulihkan kembali tubuhk yang sudah menyusut.drastis. Terasa seperti tidak makan sama sekali. Obat-obat berbagai jenis yang banyaknya segenggam yang harus ditelan setiap kali lebih terasa masuknya dalam perut. Kini timbul pengalaman aneh. Keringat Adi timbul luar biasa banyaknya. Selimut, seprei dan kasur basah. Kasur dibalik dan keringat disekahnya. Tetapi keringatnya lagi-lagi terus keluar membasahinya. Adi menjadi risih dengan pasien-pasien yang lain. Ia pindah ke tempat tidur di sebelahnya yang sudah kosong. Tapi tidak lama kemudian kasur itu basah lagi. ( bersambung : Adi Sakit Keras )

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *