Dalam berbagai debat tentang Pilpres di televisi, khususnya dari tim
pemenangan kedua pasangan 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan 02
Prabowo-Sandi, sering terlontar kata-kata kasar seperti “pembohong”.
Kedengarannya tidak etis lagi dan tak sesuai dengan budaya Indonesia yang
mestinya santun dan hormat kepada para pemimpin. Terasa lebih sadis lagi ucapan
itu dilontarkan kepada seseorang yang sesungguhnya baik dan telah berbuat
banyak untuk orang banyak. Dan perbuatan yang demikian – kalau pengadilan dunia
tidak mampu memberi keadilan, pasti yang Maha Adil kelak akan menunjukan
keadilanNya. Kalau yakin tuduhan mereka ada buktinya, mengapa tidak berani
melapokannya ke aparat hukum untuk diproses ?
Saya agak merinding melihat dan mendengar di televisi seseorang dengan
lantang dan tak sungkan-sungkan berteriak menuduh Capres dan sekarang masih
Presiden negeri ini Joko Widodo sebagai pembohong ! Apa tidak akan kualat ? Dan
bagaimana jadinya nanti negara ini kalau pencaci seperti ini duduk dalam
pemerintahan.
Tapi rakyat Indonesia, sekalipun mereka yang masih berpendidikan rendah,
tetap mempunyai akal budi, bahkan mereka malah lebih murni, belum
terkontaminasi dengan berbagai kepentingan, Mereka bukan saja mendengar apa
yang dikatakan, tetapi juga memperhatikan dan menilai kelakuan seseoang ketika berbicara.
Orang yang kasar cara bicaranya, seperti tak mempunyai tata krama dan nampak seperti begajulan tentu tak akan
dipilih sebagai pemimpin mereka.
Tuduhan yang terkesan pidana itu
diragukan apakah ada faktanya atau hanya asumsi ? Sengaja mengacaukan
antara janji dan target dan kemudian dilemparkan ke masyarakat.
Seseorang yang akan memulai tugas umumnya mempunyai rencana dan target
yang ingin dicapai. Mengapa harus mempunyai target ? Karena akan menjadi acuan
dalam menggerakan seluruh potensi yang dimiliki agar target itu tercapai. Semua
sumber daya manusianya akan didorong supaya terus ekerja keras untuk pencapaian
target itu.
Pemimpin yang menginginkan hasil maksimal akan memasang target yang
tinggi, tidak mau memasang target asal-asalan. Bung Karno selalu menganjurkan, “gantungkanlah
cita-citamu setinggi bintang”. Padahal siapapun pasti tahu seorangpun tak akan
mampu mencapai itu.
Pemimpin yang pesimistis atau yang pemalas biasanya akan memasang target
rendah. Seperti pimpinan kantor pajak
misalnya. Dia memasang target penerimaan pajak hanya Rp 100 juta setahun. Baru
enam bulan sudah tercapai. Sesuah itu kerja santai-santai. Dan akhir tahun
boleh sesumbar, hasil melampaui target sampai 200 persen !
Lalu apakah target sama dengan janji ? Target umumnya dinyatakan dengan
angka dan kemudian capaiannya diukur dengan prosentase terhadap target itu.
Sedangkan janji menurut saya adalah suatu yang akan dilakukan dan diucapkan
kepada pihak lain. Entah kepada Tuhan, entah kepada calon isteri atau siapapun.
Dalam janji bisa memuat target tetapi bisa juga tidak. Kalaupun ada, sifatnya
nisbih atau relatif.
Mengapa relatif, karena kecuali rumus-rumus Ilmu Pasti, segala sesuatu di
dunia ini akan selalu berubah karena
pengaruh berbagai hal. Begitu juga janji, apalagi target. Maka bagi saya adalah
aneh, bila seorang calon pemimpin adakalanya didesak membuat “janji politik”.
Ketika SBY memulai pemerintahannya dahulu, menjelang seratus hari
sejumlah LSM sudah siap-siap menagih janji janji capaian 100 hari. Tapi
tiba-tiba tsunami besar melanda Aceh dan semua perhatian dan sejumlah besar
daya dan dana dikerahkan ke sana. Menyadari posisi SBY dalam hal ini, maka
tagihan janji capaian 100 hari pertama itu diurungkan.
Mestinya perlakuan terhadap SBY itu dipelakukan sama juga terhadap
Presiden Jokowi. Kalau ada target yang tidak mencapai target, harus dilihat
pula-faktor apa penyebabnya. Kita tidak boleh menutup mata terhadap berbagai
bencana alam yang juga banyak nterjadi di jaman pemerintahan pertama Jokowi.
Seperti tsunami di Palu dan sekitarnya, tanah longsror dan banjir di mana-mana.
Semuanya menyedot dana yang besar sehingga ikut memperlambat upaya peningkatan
kesejahteraan rakyat pada umumnya. Belum lagi dampak dari perang dagang beberapa
negara besar.
Mestinya lagi, kita tidak dapat menutup mata terhadap prestasi tak
terduga yang tak pernah dijanjikan Jokowi dalam kampanye : seperti terusirnya
semua kapal pencuri ikan asing dari bumi Indonesia. Juga semaraknya pos-pos lintas-batas
di perbatasan yang dahulu sering
memalukan Indonesia. Begitu pula kereta api bawah tanah, yang sebelumnya hanya
angan-angan telah menjadi kenyataan. Bagaimana pendapat Anda ? ***
No comments:
Post a Comment