Monday, August 11, 2014

KPU DIOBOK-OBOK


Pada awal-awalnya lembaga KPU dan BAWASLU bagai diposisikan sebagai lembaga yang sangat disegani. Baik pada masa kampanye, pendaftaran Capres/Cawapres, pengumuman hasil pemeriksaan kesehatan para calon, dan masa kampanye.

Setiap kata dan ucapan para pimpinan KPU disimak dengan penuh perhatian dan hati-hati oleh  para peserta pemilu dan berupaya agar   tidak mengeluarkan ucapan dan sikap yang bertendensi blunder. Karena kalau melanggar, secara serta-merta akan dapat sanksi atau teguran dari KPU atau BAWASLU. Contohnya ketika Capres nomor 2  Joko Widodo pada undian nomor peserta mengacungkan simbol “dua jari”, yang oleh beberapa pihak sudah dianggap kampanye sebelum masa kampanye.

Akan tetapi citra KPU dan BAWASLU itu kemudian berbalik seratus delapan puluh  derajat ketika Kelompok Merah Putih menarik diri dari proses Pilpres dan menginstruksikan saksi-sak sinya walkout dari sidang rekapitulasi akhir suara di KPU pusat. Nampak pihak KPU seperti sangat terpukul, mungkin karena merasa gagal menyelesaikan tugas mereka yang hampir rampung secara damai.

Puncaknya ketika pada akhirnya Kelompok Merah Putih mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Jadilah KPU dan BAWASLU menjadi pihak yang defensif sebagai tergugat.

Lepas dari bagaimana aturan-aturan positif yang kini berlaku, kita sangat prihatin melihat keberadaan KPU dan BAWASLU kini, terutama fungsionaris-fungsionaris pimpinannya. Baik tingkat pusat maupun Daerah.

Pada saat sibuk menghadapi persidangan di MK, pada saat yang sama juga harus mengikuti persidangan di DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu). Terkadang sampai malam hari. Sebagian lagi diperkarakan ke polisi, ada yang diancam mau diculik. Di mana manusiawinya ???

Ada pengacara-pengacara, yang tidak puas dengan berargumentasi di persidangan MK, masih aktif lagi berdebat bak kampanye di forum televisi. Untunglah belum ada hakim sidang yang ikut-ikut dan diharapkan jangan sampai terjadi. Sementara sidang MK, terjadi pengerahan massa demonstran di sekitar  persidangan MK. Di mana etikanya  ???

Satu-satunya segi positif dari penggugatan ke MK ini mungkin sebagai pembelajaran untuk masa depan. Agar UU Pemilu lebih disempurnakan lagi. Agar para penyelenggara Pemilu lebih hati-hati, netral dan cermat. Tapi yang dikhawatirkan, jangan-jangan nanti tidak ada lagi yang mau terlibat dalam penyelenggaraan Pemilu !!! Kapok.

Hal lainnya yang membuat prihatin, hajatan pemilu kita merupakan proses demokrasi yang sangat sangat boroooos. Boros uang rakyat, boros waktu, boros energi. Semula kita mengira, bahwa dengan penetapan MK, Pilpres cukup satu putaran, akan menghemat biaya  Rp 1,3 trilyun. Tetapi dengan adanya gugatan ini, berapa lagi uang rakyat yang terpaksa harus dihabiskan. Biaya sidang, biaya hakim para  pengacara, akomodasi, saksi, pengamanan  oleh ribuan aparat dan seterusnya.

Masih lumayan kalau proses persidangan-persidangan itu bermutu dengan argumentasi yang berkwalitas sehingga rakyat yang menyaksikan mendapat pembelajaran. Sayangnya pada sidang ini yang ditampilkan  banyak saksi-saksi “ kebingungan”, padahal semula diharapkan orang-orang pilihan yang terbaik. Ya, bagaimana lagi...? Mudah-mudahan para pemimpin ke depan dapat memperbaiki semua ini. ***



No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *